by Titikoma
Chapter 9
“Tante Hellen siapa, Sayang?” kejar Kevin. Tapi, kali ini Amely memilih diam. Mulutnya seperti terkunci. “Ayo, cerita sama Papi.”
Sekali lagi Amely menggelengkan kepalanya sembari tetap bungkam.
“Pi, Mommy mau bicara sebentar,” ajak Sarah pada suaminya itu. Kevin lantas berdiri dan mengikuti langkah Sarah yang mengajaknya keluar kamar.
Setelah menutup pintu kamar Amely, Sarah menyampaikan apa yang selama ini menjadi keresahannya. “Benar, kan, Pi. ‘Tante’ itu bukan cuma teman khayalan putri kita belaka. Papi pasti bisa merasakan sesuatu yang aneh, kan?”
Kevin hanya bisa mengangguk. Dan tepat saat itu, tiba-tiba dari dalam kamar, terdengar suara Amely berteriak. “Ampun, Tante. Maafin Amely!”
Suami istri itu seketika panik, apalagi ketika mendapati kondisi kamar putri semata wayangnya itu dalam keadaan terkunci. Padahal jelas-jelas mereka berdua tadi hanya menutupnya pelan.
“Amely … Amely! Kamu kenapa, Sayang!”
Dari dalam, hanya terdengar suara pekikan Amely yang semakin keras dan bergetar saking ketakutannya. Pasti bocah polos itu sedang menangis di dalam sana. “Papi … Mommy, tolong Amel! Tante jahat!”
Kevin menggedor-gedor dengan keras. Tapi, pintu itu tak kunjung terbuka. Sedang di dalam, kini terdengar suara geraman yang begitu menyeramkan. Membikin bulu kuduk sepasang suami istri yang tengah berusaha menyelamatkan putri kecilnya tersebut berdiri.
“Papi … Mommy …!” teriakan Amely makin menjadi-jadi.
Kevin lantas mundur empat langkah dari muka pintu. Mengambil ancang-ancang, lalu dengan gerakan cepat lelaki itu menopangkan seluruh bobot tubuhnya ke daun pintu.
Braaak!
Pintu terkuak, tepat ketika lampu kamar berkedip-kedip hebat. Belum lagi kaki ranjang bergemeretak. Bergoyang-goyang seperti dilanda gempa. Namun, sosok Amely yang dicari Sarah dan Kevin tak ada di sana. Sarah panik. Ia memeriksa sampai ke kolong tempat tidur yang berguncangan tadi. Sedang Kevin mengecek jendela yang lagi-lagi terbuka. Nihil.
Belum lagi kepanikan reda, tiba-tiba apa yang dicarinya menggeram. Entah sejak kapan tubuh mungil Amely sudah berada di atas lemari.
“Amely!” pekik Sarah yang pertama kali mendapati putrinya di atas sana.
Namun, dengan gerakan cepat Amely yang seperti kesurupan melompat ke arah tubuh Kevin. Bocah itu menyerang ayahnya dengan membabi buta. Sebuah cakaran tajam berhasil melukai pipi Kevin yang langsung berdarah. Kevin roboh. Tubuh mungil Amely yang seharusnya ringan, kali ini berasa begitu berat, kuat dan bertenaga. Sungguh, tampak benar kalau bocah kecil itu sedang dirasuki energi negatif. Apalagi dari bola matanya yang terlihat, hanya ada manik bermata putih pucat. Seperti tanpa kornea.
“Amely, hentikan, Sayang!” Sarah mencoba menurunkan tubuh Amely dari atas tubuh Kevin. Namun, nahas, perempuan berkulit putih tersebut belum menyadari kalau putrinya kini memiliki tenaga yang begitu dahsyat. Sontak, dengan dorongan Amely yang begitu kuat, tubuh Sarah terpental hebat. Membentur dinding kamar dan membuatnya kehilangan kesadaran.
Berusaha menyelamatkan istrinya, sekuat tenaga Kevin memberontak. Bibir lelaki itu tak hentinya merapalkan ayat-ayat suci, membuat sosok yang merasuki tubuh putrinya tersebut kepanasan dan sedikit melemah. Setelah berhasil berdiri, Kevin membanting tubuh Amely ke atas tempat tidur yang empuk. Meski Amely saat ini tengah kesurupan dan seperti menjadi sosok lain, tapi biar bagaimanapun Kevin masih ingat kalau ia tetaplah putri kecil yang begitu ia sayangi.
“Siapa kamu? Keluar dari tubuh putriku sekarang juga!” bentak Kevin sambil mencengkram kedua tangan mungil Amely dan menekannya ke kasur. Membuatnya tak bisa berkutik. Hanya menggeliat kuat-kuat.
“Selesaikan apa yang dibuat istrimu. Ungkap semua kebenaran, atau anak semata wayangmu ini akan menjadi milikku ….” Kata-kata yang serupa erangan itu keluar dari bibir mungil Amely, namun suara berat itu jelas bukan suaranya. Melainkan suara sosok yang memasuki tubuh bocah tadi.
“Apa maksudmu?”
Bukannya menjawab, Amely malah menyeringai sinis. Sebelum di detik berikutnya ia pingsan dan hanya diam. Ruang kamar berdinding merah muda itu kembali sunyi. Sepertinya keadaan sudah kondusif. Sosok yang merasuki raga Amely telah benar-benar pergi. Membikin Kevin menghela napas dalam dan mencoba mencerna apa yang barusan terjadi.
***
Batavia, 1834
Seorang perempuan cantik berambut pirang tengah menggoreskan kuas ke arah kanvas. Palet di tangan sebelah kiri ia angkat setinggi dada. Sedang matanya, sesekali terfokus pada objek yang ia lukis, sesekali yang lain mengamati hasil goresan cat beraneka warna yang kini tergores di kanvas tersebut.
Hellen, perempuan itu, tersenyum. Puas dengan karya yang ia ciptakan di hadapannya. Entahlah, diam-diam Hellen begitu bercita-cita menjadi seorang pelukis ternama. Apalagi didukung dengan kemampuan jemarinya yang lentik dan bisa mereplika apa saja yang ia lihat ke dalam bentuk lukisan.
Saking bahagianya Hellen menatapi lukisan yang ia bikin berdasarkan cetakan sebuah foto, ia sampai tidak memperhatikan kalau di belakangnya, di saat bulan menggantung tembaga di kelam malam, ada empat sosok laki-laki yang tengah mengendap-endap. Hingga di satu waktu, ketika posisi keempatnya sudah begitu dekat dengan posisi duduk Hellen, dengan gerakan cepat, mereka membekap mulut dan mengunci tubuh perempuan Belanda tersebut.
Hellen mencoba berontak. Namun, sekuat apa pun ia memberontak, tenaganya bukanlah apa-apa dibandingkan dengan kekuatan empat orang laki-laki yang bersekongkol tersebut. Salah satunya bahkan segera menutup mata Hellen dengan sebuah kain berwarna gelap dan mengikat tubuhnya dengan erat. Berteriak pun, ia tak bisa. Hanya ada suara erangan lemah yang tercipta dari mulutnya yang kini telah terbekap dan disumpal kain dengan warna senada dengan yang menutup mata.
Satu-satunya yang bisa perempuan itu lakukan hanyalah menggeliat. Sedang tubuhnya, ia rasakan terus saja digotong ke suatu tempat yang entah ke mana. Sepertinya tidak jauh. Sebab, beberapa menit kemudian, keempat orang tadi lantas mengempaskan tubuh Hellen ke permukaan lantai yang dingin. Lantai tanah.
“Akhirnya jatuh juga kamu ke tanganku, Hellen.” Suara bariton seorang lelaki terdengar di telinga Hellen, diiringi beberapa kekehan lain di sekitarnya.
Tanpa membuka mata sekalipun, perempuan itu tahu betul kalau lelaki yang sedang berbicara kepadanya tak lain adalah Johan van Back. Sebab ada nada kesombongan dan setengah merendahkan di intonasi bicaranya yang begitu dikenali Hellen.
Sesaat kemudian Johan berjongkok di hadapan tubuh Hellen yang masih terikat kuat. Lelaki itu lantas menurunkan penutup mata Hellen, juga membuka sedikit sumbatan di mulutnya agar perempuan itu bisa bersuara.
“Beraninya kamu, Johan, berbuat sejauh ini. Dasar berengsek!”
“Sudah kukatakan padamu bukan, bahwa kamu akan mendapatkan balasan atas penolakan yang telah kamu lakukan terhadapku.” Johan tersenyum sinis. Membuat Hellen semakin muak menghadapi lelaki di hadapannya ini. Kemarin-kemarin, Hellen hanya mencoba tetap bersikap manis dan masih menghormati Johan sebagai salah satu orang terpandang di Batavia. Tapi, tidak untuk malam ini. Johan sudah keterlaluan dan bertingkah sangat jauh.
“Malam ini, kamu akan menjadi milikku, Hellen.” Johan membuka kancing kemejanya. Sungguh, lelaki itu seperti kesetanan. Dengan beringas ia lantas memperkosa Hellen yang tak berdaya. Berulang kali perempuann tersebut berusaha berteriak di sela jemari tangan Johan yang membekap mulutnya. Namun semuanya hanya menjadi sebuah suara erangan yang teredam. Lantas, di sebuah kesempatan, Hellen pada akhirnya berhasil menggigit telapak tangan Johan bagian dalam. Begitu Johan mengaduh dan melepas bekapan tangannya, perempuan itu lantas berteriak sekencang-kencangnya.
Johan kemudian kehilangan kesabaran. Bukannya panik, laki-laki itu malah semakin menjadi-jadi menikmati tubuh Hellen yang terbuka. Tidak hanya membekap mulutnya, ia juga mencekik leher Hellen dengan kuat. Lama-kelamaan noni Belanda itu lemas dan kehabisan napas. Hingga di satu titik, Hellen tak lagi bergerak. Tak ada lagi denyut nadi di pembuluh darahnya.
Panik, Johan segera memerintahkan keempat ajudannya untuk melakukan sesuatu. Di malam yang telah sempurna pekat, ditemani kerik binatang malam, keempat orang tadi lantas menggantung tubuh Hellen yang sudah tidak bernyawa dengan seutas tali tambang di salah satu tiang gudang.
“Beres, Tuan,” lapor salah satu ajudan.
“Sekarang, masih ada tugas terakhir. Jangan sampai ada yang tahu dengan apa yang telah kita perbuat malam ini. Kalau ada yang tahu, kalian akan menerima akibatnya.”
Dengan suara bergetar, salah satu di antara anak buah Johan itu memberanikan diri menjawab, “Siap, Tuan. Besok, orang-orang akan menganggap Nona Hellen mati bunuh diri.”
“Bagus.” Johan terkekeh. “Ayo, kita segera pergi dari sini!” ajak lelaki itu sambil melangkah pasti. Meninggalkan tubuh dingin Hellen yang tergantung, yang sesekali mengayun ke kiri dan ke kanan.
***