by Titikoma
5. Guru Matematika
Willi membidikan kameranya ke arah kafe. Berulang kali dilihat pun, kafe itu memang tampak menyimpan misteri. Sesekali Willi menembakan kamera ke arah kedua temannya. Fajar sadar kamera, ia langsung pose sok keren. Sakti tampak acuh tak acuh.
"Gue baru tahu ternyata bolos itu menyenangkan," celetuk Fajar.
Ya, kini mereka kembali nongkrong di kursi kayu sebuah warung tenda. Warung tenda seberang kafe kematian yang kemarin lalu mereka kunjungi saat izin dari sekolah. Bedanya, kini mereka sungguhan bolos. Mereka mengendap-endap keluar gerbang sekolah saat jam istirahat. Tentu ada maksud dan tujuannya. Mereka pikir mereka harus bolos untuk dapat menyelidiki kejadian aneh yang menimpa mereka.
"Haruskah kita bolos setiap hari?" Sakti menanggapi. Meski dicap sebagai siswa paling badung, Sakti tidak pernah berani untuk bolos.
"Pak Narto, Bro." Willi segera mengarahkan kameranya menuju sosok orang yang sengaja mereka tunggu. Setelahnya, cepat-cepat mereka bersembunyi di belakang warung tenda yang tampak sepi-sepi saja seperti hari kemarin.
Pak Narto jelas kembali memasuki kafe kematian tersebut. Willi diam-diam mengambil gambarnya. Sedang Sakti dibuat berpikir untuk kesekian kalinya.
"Apa mungkin kafe itu beneran milik Pak Narto? Jadi, yang ngeracunin si Kemala adalah Pak Narto."
Sakti menjitak kepala Fajar. Kemungkinan otak Fajar sedang lancar jaya, pendapatnya boleh juga tapi terlalu dini untuk menyimpulkan demikian. Lagi pula Pak Narto sosok guru yang ramah, Sakti sulit untuk mempercayainya.
"Yang ada di pikiran gue sekarang, si Kemala Evelyn itu siapa? Dia cuma pelanggan biasa atau pemilik kafe ini." Ucapan Sakti membuat kedua temannya mengangguk-angguk. Bila Kemala hanya seorang pelanggan yang menikmati waktu santainya untuk nongkrong di kafe itu, apa sebenarnya motif dibalik racun sianida yang selama ini ceritanya beredar. Siapa pula yang meracuni Kemala? Belum lagi tentang fakta bahwa mereka menangkap Pak Narto memasuki kafe kematian.
Tak berapa lama, Pak Narto membuka pintu kafe dengan mudahnya. Sakti Cs kembali memasang mata mereka bulat-bulat. Mereka meyakini bahwa Pak Narto memang memiliki kunci pintu kafe yang tampak usang tersebut.
"Eh, Mang! Mang Lele!" Fajar memanggil bapak kemarin alias suami si pemilik warung. Bapak berkumis lele itu menoleh, tapi kemudian buru-buru memasuki warung tendanya.
"Bukankah si Mamang sedang menghindari kita?" Sakti merasa aneh. Kemarin Bapak itu menyapa mereka, tapi kini malah terburu pergi.
"Jelas ada yang tidak beres," tambah Willi.
Saat semua disibukan dengan perasaan aneh dan heran, Fajar kembali melototkan matanya lebar-lebar.
"Karin? Hey, kalian, itu si Karin kan?"
Willi dan Sakti menoleh arah telunjuk Fajar. Karin berlenggok memasuki kafe kematian masih dengan berbalut seragam. Willi melirik jam tangannya, tepat jam pulang sekolah. Tapi apa yang Karin lakukan di sana?
"Karin sama Pak Narto... mereka berdua masuk ke dalam?" Fajar memutar ingatannya. Beberapa saat lalu guru matematika mereka memasuki kafe, kini baru saja teman sekelasnya yang membuka pintu kafe tersebut.
"Gimana bisa?" Sakti semakin merasa heran. Sementara Willi cepat-cepat mengoperasikan kameranya agar tidak kehilangan jejak Karin.
***
Bukan salahku. Kamu yang menyakitiku terlebih dulu.
Wajah Sakti mengeluarkan bintik peluh. Badannya menggigil takut. Sosok hantu itu perlahan mendekat ke tempatnya berdiam. Wajah sendu, tatapan sedih, serta garis darah yang mengucur dari pelipis serta sudut bibirnya semakin deras. Sakti mundur berusaha menghindar. Semakin Sakti mencoba menjauh, semakin hantu itu mendekat padanya.
Bukan salahku. Kamu yang menyakitiku terlebih dulu.
Bunyi kalimat itu kembali terdengar oleh telinga Sakti. Sakti dibuat merinding oleh suaranya yang lirih. Hantu wanita berambut ikal sebahu itu berhenti bergerak saat tubuh Sakti terpojok di dinding.
"M-m-mau lo apa?" Sakti terbata. Kini ia benar-benar takut. Hantu itu hanya menatapnya tanpa bicara, membuat Sakti tampak frustasi.
Sosok hantu itu terus memandang Sakti. Hingga perlahan, bola matanya yang seperti bola ping pong mencuat keluar. Sakti terkejut menyaksikan wajah wanita itu kini hancur tertutupi darah yang mengucur. Kaki Sakti melemas tak dapat Sakti gerakan. Ia ingin kabur, namun apalah daya kakinya seolah pincang. Hantu itu mendekat dan kembali menerkam leher Sakti.
"Aaaaaa." Sakti terbangun dengan jeritan hingga seisi kelas menoleh ke arahnya. Mereka berdecak. Lagi-lagi Sakti tidur di kelas.
"Ck! Besok hari, kau bawa tempat tidurmu ke sekolah lah. Setiap pelajaranku kau selalu ngorok. Macem mana kau ini jadi anak." Pak Upi, guru bahasa Indonesia yang berasal dari kota Medan itu menegur Sakti.
Wajah Sakti tampak tegang. Bukan karena teguran gurunya, melainkan mimpi singkatnya. Hantu yang Sakti yakini dia adalah Kemala, hantu itu kembali mengganggu Sakti lewat mimpinya. Fajar dan Willi menoleh temannya yang berkeringat. Pelipis Sakti sangat basah, Sakti bermimpi buruk.
"Bukan apa-apa," sahut Sakti memahami tatapan teman-temannya.
Fajar dan Willi mengerti. Mereka kembali memfokuskan diri pada pelajaran. Sementara Sakti, justru ia melamun. Kemala Evelyn, sebenarnya siapa dia?
Lonceng berbunyi, seluruh aktivitas terhenti. Waktu pulang sekolah sudah tiba. Willi berjalan ogah-ogahan. Kedua temannya menarik tubuh Willi yang mendadak seberat batu.
"Plis, Will! Ini untuk keberhasilan rencana kita." Fajar kembali meyakinkan Willi. Willi paham, namun tidak sampai harus bertindak konyol.
"Cuma ngajak dia pulang bareng. Dan lo bisa tahu rumah dia di mana. Satu lagi, lo juga harus berhasil cari tahu apa hubungan dia sama Pak Narto," ucap Sakti juga berusaha meyakinkan Willi.
"Tapi kenapa mesti gue?" Willi merasa berat hati.
"Kita semua tahu, si Karin naksir berat sama lo. Ayolah! Cuma pedekate bohongan. Atau, kalau lo mau pedekate beneran juga gak apa-apa."
Willi mengangkat kepalan tinjunya saat Fajar nyengir memperlihatkan barisan giginya. Setelah apa yang mereka lihat kemarin lalu, mereka memutuskan untuk menyelediki tentang hubungan Pak Narto dan Karin terlebih dulu. Selanjutnya, mereka akan mencari tahu kenapa guru matematika serta teman sekelasnya itu masuk ke kafe kematian. Mereka mendiskusikan banyak hal mengenai kafe kematian yang akhirnya memang sangat membuat mereka penasaran. Juga masalah hantu wanita yang sering mengganggu mereka selama ini. Mereka belum siap jika harus mati karena menjadi tumbal. Terlebih mereka tidak tahu letak kesalahan mereka. Hanya memasuki kafe kematian tersebut, bukan berarti mereka berniat mengganggu kehidupan yang tak kasat mata di bangunan bekas kafe itu.
"Karin, si Willi mau ngajakin pulang bareng nih!"
Fajar mendorong tubuh Willi agar mencegat Karin yang sudah mereka tunggu kedatangannya di gerbang sekolah.
"Serius?" Bola mata Karin tampak berbinar. Siapa pun akan sangat senang bila orang yang mereka taksir menawarkan diri mengantar pulang.
Sikut tangan Fajar serta Sakti menyenggol sisi perut Willi bergantian. Willi menggeram pelan. Kedua temannya menjadikan Willi umpan.
Willi tersenyum kikuk serta mengangguk pelan. "Lo mau kan?"
Karin merasa antusias. Dengan penuh semangat Karin mengangguk dan menyuruh temannya pulang terlebih dahulu. Karin bergerak berdiri di samping Willi bersiap menggandeng lengan Willi.
"Yuk!" Ajaknya.
Sakti dan Fajar tersenyum lebar. Mereka menenangkan Willi melalui pandangan mata mereka.
"Kalau begitu kita cabut duluan," ucap Fajar. Ia merangkul Sakti seraya melambaikan tangan ke arah Willi yang mulai gugup. Sakti mengikuti tingkah Fajar, ia melambaikan tangannya ke arah Willi. Sementara itu Karin begitu senang hingga tak ragu-ragu menggandeng Willi hingga mereka meninggalkan sekolah.
Willi terlihat risih karena Karin tidak melepaskan tangannya meski mereka sedang naik angkutan umum. Willi belum banyak bicara. Hanya Karin yang terus mengoceh betapa senangnya ia karena akhirnya Willi mengajaknya pulang bersama.
"Ehem." Willi berdehem kecil. Bukan ini yang ia rencanakan dengan teman-temannya. Ia harus segera mencari tahu apa yang menjadi misteri di antara hubungan Pak Narto dan Karin.
"Lo tahu Pak Narto, Rin? Menurut lo dia orangnya gimana?" Willi bertanya hati-hati.
"Pak Narto?" Karin sedikit mengerutkan keningnya. Ia tidak berharap Willi mulai melakukan pedekate dengan membicarakan orang lain. Harusnya Willi bertanya-tanya tentang dirinya atau semacam kegemaran dan hobbinya.
"Dia baik." Jawab Karin singkat.
"Baik doang?" Willi tidak puas dengan jawaban Karin.
"Iya. Ah, anak-anak juga banyak yang suka sama dia." Tambahnya.
Willi mengangguk-angguk. Memang seperti itu kelihatannya.
"Lo deket sama Pak Narto?"
"Aku?" Karin terdiam sejenak. "Nggak. Kenapa?"
"Bukan apa-apa. Pak Narto emang baik sih. Hampir semua anak di sekolah kita suka sama dia. Tapi... lo gak merasa ada sesuatu yang aneh sama dia?"
"Aneh?" Dahi Karin kembali membentuk lipatan. "Bukannya yang aneh itu kamu. Dari tadi ngomongin Pak Narto mulu."
Willi nyengir. Ia berhenti bicara. Willi tidak mau penyelidikannya terlalu kentara. Ia berpikir bagaimana caranya agar Karin tidak curiga kepadanya.
"Oh, iya. Lo tahu rumah Pak Narto? Gue mau ngasih tugas. Tapi gue gak tahu rumahnya di mana." Willi berharap Karin tidak akan bertanya macam-macam.
"Kenapa gak kamu kasih di sekolah aja?"
"Eu... gue lupa. Kalau lo tahu rumahnya di mana, rencananya gue mau mampir dulu ke rumahnya setelah nganter lo balik."
"Aku gak tahu. Kayaknya gak ada yang tahu juga di mana rumah Pak Narto."
Willi hanya tersenyum tipis. Ia tak melanjutkan pembicaraan hingga Karin meminta berhenti pada si sopir angkot yang mereka tumpangi.
"Bener gak usah gue anterin sampai depan rumah?"
"Gak usah, Will. Bye! Thanks, ya."
Karin melambaikan tangan saat turun dari angkot. Willi menghela lega. Biar bagaimanapun Willi merasa ia dicurigai Karin. Tak begitu jauh dari tempat Karin turun, Willi meminta sang sopir menurunkannya. Segera Willi berlari ke tempat di mana Karin turun. Karin turun di depan sebuah gang yang hanya dapat dilalui motor. Willi diam-diam mengikuti Karin di belakang. Karin berjalan seraya bernyanyi kecil tanpa menyadari Willi yang membuntutinya.
Willi mengeluarkan kamera dari tasnya. Ia memotret jejak Karin untuk ia setorkan kepada Fajar dan Sakti. Kedua temannya menghubungi bahwa mereka sedang berada di warung tenda seberang kafe, seperti biasa. Mereka bertugas mengawasi kafe kematian. Barangkali mereka akan mendapati Pak Narto lagi.
Willi beringsut bersembunyi saat Karin menghentikan langkahnya. Karin menoleh, mengawasi ke sekitar. Ia merasa ada yang membuntutinya, lantas kembali melangkah panjang-panjang. Tak ayal Willi setengah berlari saat hampir kehilangan bayangan Karin.
Fajar dan Sakti memesan dua gelas teh manis serta pisang goreng hangat kepada ibu-ibu judes si pemilik warung tenda. Mereka mulai bosan menunggu. Mereka pikir mereka akan menangkap Pak Narto memasuki kafe kematian itu lagi. Namun setelah satu jam mereka duduk sambil ngobrol ngalor ngidul, Pak Narto belum tampak bulu kakinya.
"Kunaon kalian teh setiap hari kadieu wae? Ulah sok ikut campur urusan batur!"
Sakti dan Fajar saling melirik. Sepertinya si ibu warung sudah tidak tahan dengan keberadaan mereka yang kini setiap hari setelah jam pulang sekolah mereka nongkrong di warung tendanya. Mereka berharap mendapat petunjuk untuk kesialan yang tiba-tiba mereka alami. Tampaknya si pemilik warung merasa risih dan gelisah.
"Bukan maksud kita mencampuri, Bu. Kita hanya ingin tahu sesuatu." Jujur Sakti. Si Ibu membalas dengan dengusan kasar, lalu kemudian kembali masuk ke dalam setelah menyajikan pesanan kedua pemuda yang masih berbalut seragam sekolah itu.
Fajar memberanikan diri mengawasi sekeliling seraya menyantap pisang goreng hangat yang ia pesan sebagai pengganjal perutnya yang keroncongan. Lagi-lagi bulu kuduk Fajar meremang saat matanya tertuju pada lahan kosong yang ditumbuhi banyak pohon beringin. Benar-benar menyeramkan walau matahari terik di siang bolong. Mata Fajar menyipit saat menangkap seseorang yang bersembunyi di balik salah satu pohon.
"Sak," Fajar memberi kode kepada Sakti untuk melihat ke arah lahan kosong di samping kafe kematian.
Sakti mengikuti arah pandang Fajar. Bola mata Sakti pun membenarkan bahwa ada seseorang yang tengah bersembunyi di balik pohon beringin berdiameter besar. Dari kejauhan Sakti mencoba menebak sosok yang sedang bersembunyi tersebut. Ia memakai seragam sekolah putih abu.
"Itu si Karin," tuduh Sakti ragu-ragu.
"Bener si Karin. Si Willi sms nih!" Fajar menyodorkan handphonenya ke hadapan Sakti.
Gue ngikutin Karin. Dia turun di gang. Gak taunya gang itu menuju arah jalan besar . Tengok lahan kosong dekat death kafe!
Sakti pun kembali memperhatikan lahan luas yang ditumbuhi beberapa pohon beringin. Willi melambaikan tangannya jauh di belakang Karin di dekat semak belukar. Sakti mulai mengalihkan perhatian Karin dengan mengajak Fajar pergi dari warung tenda. Fajar mengirim pesan kepada Willi untuk menemui mereka di rumah Sakti.
Setelah mendapatkan foto-foto Karin saat Karin terlihat kembali memasuki kafe kematian, Willi segera menemui kawan-kawannya. Alasan mereka untuk mencurigai Karin semakin kuat dengan adanya bukti. Mereka juga menangkap basah Karin memasuki kafe itu dengan kepala mereka sendiri. Meski begitu, mereka masih belum dapat menyimpulkan apa sebenarnya hubungan Karin dengan Pak Narto. Juga hubungan keduanya dengan Kemala.
"Oke, kita bagi tugas. Lo tetep deketin Karin, Will. Fajar, lo buntutin Pak Narto. Gue gak mau tahu caranya gimana. Dan gue, gue bakal coba buat gali informasi dari si mamang." Sakti bertindak selayaknya ketua anggota para detektif. Mereka setuju dengan tugas yang mereka dapatkan. Meski Fajar bingung takut-takut nanti Pak Narto malah menghukumnya kalau ketahuan.
"Satu lagi. Kita harus cari tahu siapa si Kemala Evelyn itu. Will, lo hebat kan soal ngubek internet? Coba lo cari tahu dari mana dia berasal. Sekolahnya, tempat tinggalnya, atau teman-temannya. Cari nama siswi atau alumni sekolahan di Bogor 5 tahun lalu."
Fajar melongo memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulut Sakti. Temannya itu berbakat menjadi seorang detektif. Fajar tiba-tiba menyarankan agar Sakti sekolah di kepolisian. Sakti terbahak mendengar usulan Fajar. Sakti belum memiliki cita-cita apa yang ingin ia lakukan setelah dewasa. Selanjutnya mereka pun sibuk menyusun strategi untuk tugas mereka.
***
"Pak, biar saya bawakan tasnya, Pak!"
"Tidak usah, Fajar!"
"Ayolah, Pak! Mumpung saya lagi baik nih."
"Kalau begitu, kamu berbagi kebaikan sama orang lain saja."
"Ah, si Bapak bisa saja." Fajar meraih tas jinjing kepunyaan Pak Narto. Sepanjang koridor sekolah, Fajar terus merengek meminta Pak Narto menyerahkan tasnya untuk ia bawa. Sudah jelas bahwa Fajar memiliki maksud tersembunyi karena mendadak baik. Begitu pula dengan Pak Narto yang menaruh curiga kepada Fajar. Tetapi Pak Narto tetap menanggapi anak didiknya dengan ramah.
"Pak, Bapak pernah mendengar tentang kafe kematian tidak? Yang di jalan Ceremei? Yang katanya ada gadis yang mati diracun di sana." Fajar memulai obrolan walau dalam hati berharap-harap cemas.
"Saya kan pernah lewat sana, Pak. Besoknya saya terus bermimpi buruk dikejar hantu. Katanya, siapa pun yang masuk sana akan dijadikan tumbal. Tapi kan saya tidak masuk ke sana, cuma lewat saja. Kenapa saya terus mimpi buruk?"
Pak Narto terdiam sejenak. Ia terus berjalan dengan diikuti langkah Fajar di sampingnya. Cerita tentang kafe kematian memang bukan hal tabu di lingkungan mereka. Tentu Pak Narto sangat mengetahui bagaimana ceritanya.
"Mungkin kamu tidak berdoa dulu sebelum tidur," balas Pak Narto masuk akal.
"Doa kok, Pak. Tapi, Bapak tahu gak? Katanya yang mati di sana itu bukan diracun sianida, Pak. Wah, jangan-jangan... dia dibunuh ya, Pak?"
Pak Narto menghentikan langkah kakinya. Fajar ikut tersendat. Ia memperhatikan Pak Narto yang justru terdiam cukup lama.
"Pak." Fajar kebingungan sendiri melihat respon Pak Narto.
"Berhenti bicara omong kosong! Jangan mengada-ada!"
Fajar membeku saat Pak Narto berlenggang dari hadapannya setelah merampas tasnya dari tangan Fajar. Ditambah suara Pak Narto yang meninggi -bahkan dapat disebut sebuah bentakan- membuat Fajar melongo. Pak Narto melangkah panjang mengabaikan anak didiknya yang ternganga seperti orang bodoh.
Sementara Fajar bertanya-tanya mengenai perubahan sikap Pak Narto, Willi setengah hati melanjutkan aksi pedekatenya kepada Karin. Walau gosip mulai bermunculan bahwa Willi dan Karin sedang menjalin hubungan istimewa, Willi berusaha untuk tak peduli. Dia selalu mengingat misi yang ia buat dengan kawan-kawannya.
Sedangkan Sakti, ia kini sedang melancarkan tugasnya. Setiap pulang sekolah, Sakti bergegas ke warung tenda untuk menunggu si mamang berkumis lele muncul. Sakti tak pantang lelah merecoki si mamang setiap kali ia datang. Meski istrinya selalu bersikap judes dan tidak ramah, Sakti tidak mengindahkan.
"Kalau bukan diracun, apa Kemala itu dibunuh? Oh, atau dia bunuh diri? Ah, sebenarnya yang membuat saya penasaran, Kemala itu siapa. Dia pelanggan kafe atau pemilik kafe itu? Kalau pelanggan biasa, kenapa harus mati di sana? Terlebih kalau penyebab kematiannya adalah dibunuh."
Sakti meracau sendiri sambil menikmati pisang goreng yang sudah menjadi pesanan tetapnya setiap kali nongkrong di sana. Warung tenda itu sepi pembeli. Tidak sampai 5 orang yang berkunjung selama Sakti duduk di sana beberapa jam. Terkadang Sakti kuat duduk hingga warung tenda tutup pukul 7 malam. Keingintahuannya mengalahkan rasa bosan yang menyerang.
"Mamang sama Ibu sudah berapa lama jualan di sini?"
"10 tahun."
Baru kali ini si mamang membuka mulut. Dan Sakti yakin barusan itu si mamang keceplosan bicara. Seperti yang sudah kompromi sebelumnya, atau si mamang diancam oleh istrinya, mereka tidak pernah menanggapi pertanyaan Sakti selama beberapa hari Sakti nangkring di sana ketika berbicara mengenai Kemala ataupun kafe kematian. Mereka menganggap Sakti seolah tembus pandang. Mereka tutup mulut meski Sakti mengoceh banyak hal. Si ibu selalu melempar wajah juteknya. Akan tetapi Sakti sudah kebal dengan wajah masam si ibu pemilik warung.
"Wah, sudah lama juga, ya. Berarti Mamang sama Ibu tahu dong apa yang terjadi sebenarnya?"
Si mamang terdiam lagi. Sakti tidak mendapat balasan untuk pertanyaannya. Tidak masalah bagi Sakti karena ia sudah sangat meyakini bahwa sesuatu yang salah telah terjadi. Kematian si Kemala Evelyn itu menyisakan sebuah rahasia.
Kumpul di rumah gue sekarang! Gue tahu siapa si Kemala Evelyn.
"Wah kejutan sekali. Akhirnya saya akan tahu siapa si Kemala. Walau Mamang sama Ibu tidak memberitahu saya. Lihat! Saya mendapat sesuatu." Sakti memamerkan pesan singkat yang Willi kirim. Kedua pemilik warung itu hanya saling menoleh dan membiarkan Sakti angkat kaki dari warung tenda mereka.
"Ulah ikut campur, Pak! Kalau gak mau celaka." [2] Si mamang berkumis lele hanya mengangguk saat istrinya kembali memperingatkan untuk tidak ikut campur. Jika mereka turut campur, mereka bisa saja ikut mendapat teror dan celaka. Namun di dalam hati si bapak memiliki keinginan untuk mengatakan sesuatu kepada Sakti. Sayangnya, istrinya mengawasi dengan ketat.
Sakti bergegas menuju rumah Willi. Ia sudah benar-benar penasaran dengan semuanya. Fajar sudah duduk manis di ranjang kamar Willi. Willi tengah fokus di hadapan laptopnya yang menyala.
2 = Jangan ikut campur, Pak. Kalau gak mau celaka.
"Ada apa? Kalian dapat info apa?" Sakti datang langsung bertanya. Lekas ia duduk di samping Fajar yang sedang asik makan camilan.
"Pak Narto sulit banget dideketin. Tapi, tiap kali gue bahas tentang kafe kematian, Pak Narto selalu marah." Fajar melaporkan hasil penyelidikannya dengan mulut yang penuh dengan makanan. "Ah, gue menemukan sesuatu." Fajar membuka tasnya lalu mengeluarkan botol kecil berisi tinta merah, beberapa lembar foto, serta sebuah wig.
"Lo dapat semua ini dari mana?"
"Dari laci meja kerjanya Pak Narto. Tadi pulang sekolah ceritanya gue mau pedekatein Pak Narto lagi. Gue berniat jemput dia di ruang guru. Tahunya dia udah pergi. Kayaknya dia ngehindarin gue. Eh, mata gue tertuju sama laci meja kerjanya yang gak tertutup rapat. Gue penasaran, gue intip. Isinya banyak dokumen, dan gue menemukan itu. Untung banget guru lain lagi pada fokus sama pekerjaan mereka. Jadi gue gak ketahuan ngambil barang-barangnya Pak Narto." Penjelasan Fajar yang panjang lebar membuat kedua temannya menganga. Mereka tidak percaya seorang penakut seperti Fajar bertindak demikian. Dan Fajar merasa bangga karena berhasil mendapatkan sesuatu yang penting untuk ia laporkan.
"Jadi, maksud lo tinta ini..." Sakti mengingat keanehan tempo hari di kamar mandi.
"Itu tinta merah yang Pak Narto gunakan untuk merubah kamar mandi menjadi lautan darah. Wig itu, gue yakin kalau gue pernah lihat Pak Narto bawa wig di kantong kreseknya." Willi menyodorkan laptop dan memperlihatkan foto Pak Narto saat seangkot dengannya.
Sakti mulai paham. Jadi selama ini memang benar ada yang mengusilinya. "Dan foto ini... Kemala?" Sakti mengacungkan lembar foto yang Fajar temukan dilaci meja kerja Pak Narto. Dalam kertas foto itu seorang gadis berbalut seragam SMA tampak sedang membaca buku tersenyum ke arah kamera.
"Yup, gue yakin dia Kemala." Sahut Willi.
"Gue juga setuju. Dia mirip sama hantu cewek yang selama ini ngejer-ngejer kita." Tambah Fajar.
Sakti pun menyetujuinya. Gadis di foto itu adalah gadis yang sering hadir di mimpinya. Meski dalam mimpi wajahnya tak secantik yang ada di foto, Sakti masih dapat mengenali dengan detail bagaimana rupa hantu yang selalu datang ke dalam mimpinya.
"Terus lo dapat apa, Will?" Tanya Fajar. Mereka tergesa-gesa datang ke rumah Willi karena ada yang ingin Willi beritahukan.
Willi kembali mengotak-atik laptopnya. Kini layar laptop mengarah ke akun sosial facebook. Fajar dan Sakti tampak serius menanti apa yang akan Willi perlihatkan.
"Dia anak SMAN 1 Bogor."
"Hah? Serius? Sekolah kita?" Pekik Fajar tak percaya.
Willi memperlihatkan sebuah foto dalam album foto akun seorang alumni sekolahnya lima tahun lalu. Di sana ia memposting foto pada jam istirahat. Terlihat dari kejauhan sosok Kemala yang sedang melamun di bangku belakang kelasnya.
"Gue yakin dia Kemala," sahut Willi. Beberapa kali dia mengucapkan kalimat yang sama.
"Oke. Jadi sekarang tugas lo, Jar. Lo harus cari informasi tentang data siswa sekolah kita 5 tahun lalu." Perintah Sakti.
"Kenapa harus gue?" Fajar merasa enggan.
"Karena gue masih harus mengejar si mamang lele." Jawaban sederhana yang Sakti berikan untuk Fajar.
"Gue bakal bantuin Sakti. Kayaknya si mamang lele keras kepala juga," tungkas Willi.
Akhirnya mereka kembali sepakat untuk melakukan tugas mereka. Sedikit demi sedikit misteri tentang hantu yang meneror mereka terungkap. Entah hantu sungguhan atau sekedar orang iseng yang mengusili mereka. Lantas cerita horor yang sudah melegenda itu adakah kebenarannya?
Esoknya Sakti dan Willi setia menunggu kedatangan si mamang lele. Kebetulan hari ini hari minggu. Mereka libur sekolah dan memutuskan menanti si mamang lele di warung tendanya sejak pagi hari. Walau warung tenda itu belum buka.
"Karin, Will." Sakti menangkap Karin keluar dari kafe. Buru-buru mereka bersembunyi di belakang warung tenda yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Karin terlihat menguap beberapa kali. Kemungkinan Karin baru saja bangun tidur. Wajahnya tanpa berantakan tanpa make up.
"Woy!"
Willi langsung membekap mulut Fajar yang mengagetkan mereka. Bisa-bisa mereka ketahuan karena suara Fajar yang terlalu kencang.
"Ngapain lo di sini?" Tanya Sakti dengan nada suara rendah.
Willi melepaskan telapak tangannya dari mulut Fajar setelah memperingatkan Fajar untuk diam. "Gue bete di rumah," jawab Fajar santai. Hari minggu memang hari santai.
Mereka kembali mengintip ke arah seberang jalan. Karin sudah tidak ada di sana, tapi mata mereka menangkap Pak Narto yang baru saja keluar dari kafe.
"Gila! Masa iya si Karin jadi cewek simpanannya Pak Narto?"
Ucapan Fajar dibalas jitakan oleh Willi. Tidak perlu sejauh itu menebak hubungan mereka. "Ngaco! Mana mungkin Karin kayak gitu," sahut Willi seolah tidak terima dengan perkataan Fajar.
"Lo udah naksir beneran sama si Karin ya, Will?" Willi kembali menoyor batok kepala Fajar. Fajar hanya termehek-mehek. Sedangkan Sakti menggeleng menyaksikan tingkah kedua kawannya.
"Mereka paman dan keponakan."
Suara berat yang sudah mereka hapal mengejutkan mereka. Si mamang lele sudah berdiri tegap di belakang mereka. Ketiganya lantas berbaris menghadap si mamang. Untuk beberapa detik mereka hanya saling memandang memasang wajah ragu. Sakti ingin bertanya lagi, namun takut si mamang lele kabur tiba-tiba.
"Kalian bisa ikut Mamang?"
Mereka bertiga mengangguk. Si mamang lele membawa mereka memasuki warung tendanya yang belum beroperasi. Biasanya si mamang dan istrinya mulai membuka warung pada pukul 10 pagi.
"Pertama kali saya lihat Neng Kemala saat sedang beberes di warung. Saya melihat Neng Kemala yang memakai gaun tidur lewat sambil menangis. Saya melihat tangannya berdarah. Saya tidak berani bertanya. Saya hanya memperhatikan."
"Dia pergi ke mana?" Ketiganya serius mendengar dongeng dari si mamang yang mendadak baik. Entah kenapa si mamang tiba-tiba ingin menceritakan kisah misterius mengenai Kemala.
"Dia pergi ke bangunan seberang. Namun karena tempat itu terkunci, Neng Kemala memecahkan jendelanya."
Si mamang lele bercerita sambil mengenang kejadian yang ia lihat lima tahun lalu. Tidak banyak yang tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Karena si mamang dan istrinya telah berjualan di sana hampir 10 tahun lamanya, mereka sudah pasti mengetahui peristiwa apa saja yang telah terjadi. Mereka hanya menutup mata serta mulut mereka menganggap selama ini tidak pernah ada yang terjadi.
"Terus, apa hubungannya Pak Narto dan Kemala?"
Sakti serta Willi, juga Fajar, mereka merasa deg-degan sendiri menanti jawaban yang akan diberikan si mamang lele. Hal tersebutlah yang membuat mereka penasaran setengah mati. Status hubungan Pak Narto dan Kemala.
"Setahu saya, Neng Kemala anak angkat Pak Narto."
"Anak angkat?" Ketiganya serempak mengerutkan kening.
"Jadi, kafe itu beneran milik Pak Narto?" Lagi-lagi ketiganya melontarkan kalimat serupa. Satu per satu apa yang menjadi rahasia mulai terkuak. Sakti dan kedua kawannya begitu menikmati cerita lima tahun lalu yang mereka ingin dengar kebenarannya.
Tanpa banyak bicara lagi, si mamang lele mengangguk kecil.
***