Death Cafe

Reads
132
Votes
0
Parts
7
Vote
by Titikoma

6. Kemala

5 tahun lalu...
Kemala Evelyn, gadis blasteran Jawa-Inggris itu selalu ceria dalam setiap keadaan. Ayahnya seorang bule berasal dari negeri yang mendapat julukan The Black Country, sedang ibunya seorang wanita jawa tulen. Dari pernikahan silang tersebut lahirlah gadis cantik berwajah ayu, yakni Kemala. Rambutnya hitam berkilau keturunan ibunya. Mata kebiruan serta kulit putih pucat khas bule.
Sayangnya, pernikahan orang tua Kemala tidak berlangsung lama. Saat Kemala menginjak remaja, orang tua Kemala memutuskan untuk bercerai. Ayahnya kembali ke negara asalnya, sedang ibunya harus menjanda bertahun-tahun dan mengurusi Kemala seorang diri. Ketika Kemala memasuki usia 17 tahun, ibunya dipertemukan dengan seorang pria baik lantas menginginkan menikah lagi. Akan tetapi Kemala tidak menyetujui kehendak ibunya. Kemala masih belum dapat melupakan ayah kandungnya. Meski tidak pernah ada kabar dari ayahnya sejak lama, Kemala tetap setia menunggu. Kemala yakin setidaknya ayahnya akan menjenguknya sekali.
"Nak, dia orang baik. Kamu akan cocok dengannya."
"Nggak, Bu! Kemala gak mau punya ayah lagi."
"Kemala, kalau kamu punya ayah, nantinya akan ada yang mengurus kamu."
"Ibu saja yang mengurus Kemala itu sudah cukup."
"Nak, hidup dan mati seseorang tidak ada yang tahu."
Kemala histeris menyaksikan tubuh ibunya yang terbujur kaku di sebuah kamar mayat rumah sakit. Ibu Kemala mengalami kecelakaan lalu lintas, dan tidak dapat tertolong. Benar, terkadang seseorang yang akan meninggal seolah mendapat firasat terlebih dulu. Apa yang ibu Kemala katakan kepada Kemala beberapa hari sebelum kematiannya adalah semacam permintaan terakhir. Kemala merasa menyesal tidak mengizinkan ibunya menikah lagi. Kemala merasa tidak membahagiakan ibunya sebelum ibunya pergi.
Pada saat itulah Kemala bertemu dengan calon ayah tiri yang selalu ibunya bicarakan. Dia datang dan memeluk Kemala. Dengan tangan terbuka ia mengajak Kemala tinggal bersama. Sebelum diperkenalkan secara resmi, pria itu sudah berjanji untuk memperlakukan Kemala sebagai anak kandungnya sendiri. Walau karena keegoisan Kemala, ia tidak dapat menikahi perempuan yang dicintainya. Awalnya Kemala ragu, tapi Kemala kini hidup tanpa tujuan. Kemala pun bersedia tinggal bersama dengan pria yang tak sempat menjadi ayah tirinya tersebut.
Narto Widjodjo, asal Brebes Jawa Tengah. Ia seorang pengajar sekolah menengah atas sebagai guru matematika. Suatu hari Pak Narto dipindah tugaskan ke Jawa Barat. Pak Narto diutus untuk mengajar di salah satu sekolah terkenal di Bogor. Mereka pun terpaksa hijrah dan menetap di kota Bogor.
Semenjak kematian ibunya, Kemala berubah drastis. Keceriaannya seakan menguap dari dalam dirinya. Hari-harinya selalu diliputi kesedihan. Wajahnya tampak muram dan tak bertenaga. Pak Narto menawarkan beberapa sekolah kepada Kemala, namun Kemala tak pernah menanggapi. Ia hanya menurut saat Pak Narto mendaftarkan dirinya ke sekolah yang sama dengan tempat Pak Narto mengajar.
Sayang, di sekolah pun Kemala tidak banyak bicara. Ia memjadi seorang murid pindahan yang pendiam. Tidak banyak yang ingin menjadi temannya. Sebagian merasa kasihan melihat Kemala yang hanya melamun setiap saat.
Pak Narto merasa prihatin melihat Kemala. Berbagai macam cara Pak Narto lakukan agar Kemala kembali ceria. Sering ia mengajak Kemala jalan-jalan setelah tugas mengajarnya usai. Atau Pak Narto melakukan banyolan setidaknya untuk membuat Kemala tertawa. Bahkan Pak Narto membuka sebuah kafe kecil-kecilan di salah satu bangunan yang ia beli. Pak Narto berharap Kemala akan memiliki kesibukan dan mempunyai banyak teman dengan membuka kafe kecil yang kebanyakan dikunjungi anak sekolah tersebut. Karena harga camilannya yang miring. Namun hal tersebut tetap tidak mempengaruhi Kemala.
"Kemala, kamu sekolah ya, Nak."
Kemala tak merespon. Ia hanya memandangi boneka barbie pemberian ibunya saat ia berulangtahun ke 10 tahun. Di leher belakang si boneka Kemala menuliskan namanya. Agar semua tahu bahwa boneka tersebut adalah miliknya.
Sudah seminggu Kemala tidak masuk sekolah. Kemala tidak berhasrat untuk membaurkan diri dengan teman-temannya. Terlebih teman sekolahnya mengolok karena Kemala tidak pernah bergaul dengan mereka.
"Kemala, dengarkan Bapak! Kalau kamu tidak ke sekolah, nanti sekolah akan mengeluarkan kamu."
Kemala tak menjawab. Ia bahkan tidak peduli dirinya sekolah atau tidak. Kemala hanya merasa ia tidak bisa hidup tanpa kedua orang tuanya. Pak Narto memang baik, namun Kemala tetap merasa kesepian. Ia hanya terlalu merindukan orang tua kandungnya sampai rasanya ia tidak mampu lagi bernapas. Rasanya sangat berbeda tinggal bersama seseorang yang faktanya bukan siapa-siapa Kemala. Pak Narto hanya seorang kenalan ibunya.
"Kemala, kamu dengar tidak?" Pak Narto membentak Kemala seraya merampas boneka barbie yang sebesar bayi itu dari tangan Kemala. Ia mulai kesal karena Kemala mengabaikannya.
"Kembalikan!" Teriak Kemala. Ia tidak pernah membiarkan orang lain menyentuh boneka kesayangannya.
"Bapak tidak akan mengembalikan boneka ini sebelum kamu pergi ke sekolah dan berhenti bersikap seolah kamu orang yang paling menderita di dunia ini."
Pak Narto keluar dari kamar Kemala dengan membanting pintunya keras. Pipi Kemala mulai basah dijatuhi air mata. Kemala menangis. Ia sangat merindukan kedua orang tuanya. Hanya boneka barbie itulah satu-satunya kenangan yang masih tersisa. Bukan salahnya jika ia memiliki keinginan untuk tidak masuk sekolah.
Kemala mengeluarkan semua isi lemarinya. Ia memindahkan seluruh pakaiannya ke dalam tas gendong. Meski tidak tahu alamat pasti ayahnya di Inggris, Kemala berniat menyusul dan mencari ayahnya di sana.
"Kak Kemala mau ke mana?"
Kemala tidak menjawab pertanyaan seorang bocah SMP yang selalu bermain dengannya selama ini. Ah, mungkin anak itu hanya bermain-main sendiri karena Kemala tidak pernah menanggapi bila anak itu datang bermain ke kamarnya.
"Pak dhe,. Kak Kemala pergi!" Gadis itu mengadu.
Pak Narto bergegas mengejar Kemala yang sudah keluar rumah dengan menggendong tasnya.
"Lepaskan!" Jerit Kemala saat Pak Narto mencekal tangannya.
"Kamu mau ke mana Kemala? Kamu tidak ada tempat tujuan."
"Aku masih punya ayah."
"Di luar negeri sana. Dan kamu punya uang untuk pergi? Tidak, Kemala. Bapak tidak akan mengizinkan kamu!" Tegas Pak Narto. Dalam hatinya ia sudah berjanji akan merawat Kemala dengan baik.
"Kamu bukan siapa-siapa aku! Kamu tidak berhak menentukan bagaimana hidupku."
Plak!
Pak Narto menampar pipi Kemala. Pak Narto memang bukan siapa-siapa Kemala, tapi rasa cinta Pak Narto terhadap ibu Kemala membuat Pak Narto merasa memiliki hak untuk menjaga dan mengkhawatirkan Kemala.
Kemala kembali menangis. Pak Narto tersadar akan tindakannya yang tidak ia sadari. Pak Narto menatap telapak tangannya yang gemetar. Ia menyesali perbuatannya yang di luar kendali.
"M-maaf. Maafkan Bapak. Bapak tidak sengaja."
Kemala yang diliputi rasa kalut hanya menatap tajam pria di hadapannya. Kemala tidak menyangka ia akan mendapat tamparan dari seseorang yang kata ibunya dia adalah seorang pria baik. Kemala memutar langkah. Ia kembali memasuki rumah lantas mengunci diri di kamar.
Berhari-hari Kemala mengurung diri. Setiap hari Pak Narto membujuknya keluar untuk makan, namun berakhir dengan Pak Narto menyimpan makanan di depan pintu kamar Kemala. Saat Pak Narto kembali pada jam makan Kemala, nasi serta lauk di piring masih tampak utuh. Hanya air di gelas yang tinggal setengah atau tidak tersentuh sama sekali.
"Kak Kemala, ayo kita main! Kak Kemala buka pintunya!" Kemala mendengar suara Karin. Gadis SMP yang selalu mengajaknya bermain. Kemala tidak menghiraukan. Ia tidak ingin terlibat dengan siapa pun dalam hidupnya kecuali kedua orang tuanya.
"Kemala, buka pintunya, Nak!' Kini suara Pak Narto yang terdengar. "Ayolah, Nak! Bapak mengerti bagaimana perasaan kamu. Tapi kamu tidak boleh seperti ini. Ibu kamu akan sedih melihatnya."
Kemala mencibir. Tidak ada satu pun yang dapat memahami bagaimana perasaannya. Kenyataannya adalah ia yang merasakan sakit itu. Ia menderita seorang diri. Ia menyesal tidak dapat memenuhi keinginan ibunya yang terakhir kali. Ia kecewa tidak dapat menyusul ayah kandungnya keluar negri. Ia merasa malu bahwa kini harus orang lain yang mengurus dan merawat dirinya.
"Argh!" Kemala menjerit karena kekesalan dan kebenciannya terhadap diri sendiri. Kemala merasa benci karena ia tidak bisa menerima Pak Narto dalam hidupnya. Sekalipun Pak Narto adalah orang baik.
"Kemala, kamu kenapa?" Pak Narto terdengar cemas.
"Kak Kemala, Kakak kenapa? Buka pintunya, Kak!"
"Karin, kamu ambil kunci cadangan di kamar Pak dhe!"
Karin menurut. Ia lekas berlari menuju kamar Pak Narto untuk mencari kunci. Sedang Pak Narto begitu khawatir saat Kemala terus menerus menjerit. Ditambah Pak Narto mendengar suara barang-barang yang mungkin Kemala lemparkan.
"Jangan mendekat!" Teriak Kemala saat Pak Narto berhasil membuka pintu kamar. Karin terkejut melihat kamar Kemala yang begitu berantakan. Sepertinya Kemala menjatuhkan semua barang-barang yang tertata di meja. Lampu tidur sudah tergeletak di lantai. Begitu pula dengan barang lain yang tampak berserakan di ubin.
"Turunkan itu, Kemala!" Pak Narto melihat sebilah kaca di tangan Kemala. Serpihan kaca tersebut berasal dari lampu kamar tidur yang pecah. Pandangan mata Kemala menajam. Tangannya menggenggam kuat pecahan lampu tidur. Tetes darah pun tampak mengucur dari sela-sela jari tangan Kemala. Wajah Kemala kusut dan berantakan. Tentu saja Kemala tidak akan terlihat baik-baik saja setelah mengunci diri di kamar selama berhari-hari.
"Buang itu, Nak! Bapak mohon!" Pinta Pak Narto. Perlahan ia maju melangkah mendekati Kemala.
"Jangan mendekat!" Kalau tidak, aku akan menancapkan ini pada leherku." Ancam Kemala.
"Jangan seperti ini, Kemala!" Pak Narto tidak mengindahkan peringatan Kemala. Ia tetap berusaha mendekati Kemala dan terus berbicara mencoba menenangkan Kemala.
"Untuk apa aku hidup, aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang."
"Kamu masih punya Bapak, Nak."
"Kamu bukan siapa-siapa aku!"
"Jangaaaan!"
"Pak dhe!" Karin berlari menghampiri Pak Narto yang meringis saat pecahan kaca menggores lengannya. Ketika Pak Narto akan menyingkirkan serpihan kaca yang hanya beberapa inchi jaraknya dari leher Kemala, Kemala menghempas tangan Pak Narto hingga tak sengaja lengan Pak Narto tergores kaca olehnya.
Kemala tertegun. Ia tak mengira pecahan kaca tersebut akan mengenai lengan Pak Narto. Darah kental mengucur cukup banyak dari lengan Pak Narto yang luka. Kemala mendengar Pak Narto merintih merasakan perih. Kemala ingin mendekat namun merasa enggan.
"Pak dhe gak apa-apa?" Karin khawatir. Pak Narto sibuk menutup luka di lengannya dengan telapak tangan agar darah tidak terus mengucur.
"Bukan salahku. Kamu yang menyakitiku terlebih dulu!" Teriak Kemala kehabisan kata. Lalu kemudian ia berlari meninggalkan kamar.
"Kamu susul Kak Kemala, Rin!"
"Tapi, Pak dhe,"
"Cepat!"
Karin menurut. Ia bergegas menyusul Kemala yang melarikan diri dari rumah. Sementara Pak Narto harus mengobati lukanya terlebih dulu.
Karin membuntuti Kemala yang tertatih menyusuri jalan raya tanpa alas kaki. Gaun tidur berwarna putih yang dipakainya sudah tercecer darah yang berasal dari telapak tangannya. Serpihan kaca yang ia genggam sudah ia buang.
Kemala berjalan sembari menangis sesegukan. Bayangan lengan Pak Narto yang berdarah karena ulahnya membuat Kemala tak mampu menahan air mata. Ia sadar dan menyesali tindakannya yang tak terduga. Meski demikian, Kemala merasa berat hati kalau harus meminta maaf.
"Bukan salahku, kamu yang menyakitiku terlebih dulu." Sepanjang perjalanan Kemala mengulang kalimat serupa di sela isak tangisnya. Sementara itu Karin terus mengikuti jejak Kemala tanpa bersuara. Barangkali ia hanya anak SMP, tetapi ia paham bagaimana perasaan Kemala. Kemala pasti merasa tersiksa saat kehilangan ibunya. Kemala juga akan merasa tidak nyaman harus hidup seorang diri dan mendadak tinggal bersama dengan orang yang baru dikenalnya.
Karin melihat Kemala berhenti di depan kafe milik Pak Narto. Kemala memandang cukup lama bangunan tersebut.
Prang! Suara benda pecah terdengar dari kejauhan.
"Ada apa? Ada apa?" Beberapa orang yang tengah hadir di sekitar kafe terlonjak kaget. Semua terlihat bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
Cepat-cepat Karin menghampiri. Ia menyaksikan Kemala melompat melalui jendela kafe yang baru saja ia pecahkan. Pintu kafe terkunci, mungkin karena itu Kemala memecahkan kaca jendela dengan batu.
Orang-orang yang sedang berada di warung tenda seberang kafe datang berbondong. Mereka menonton karena penasaran dengan bunyi yang berasal dari kafe. Mereka melihat Kemala memasuki kafe dan berjalan naik menuju tangga yang terbuat dari kayu.
"Aya naon, Neng?" Tanya seorang ibu si pemilik warung.
"Gak ada apa-apa, Bu." Jawab Karin sungkan.
Setelah hari itu, terjadi banyak perubahan pada diri Kemala. Kemala tak lagi tinggal di rumah Pak Narto. Ia mengurung diri di kamar atap yang dibangun di dalam kafe. Pak Narto membiarkannya. Yang terpenting adalah Kemala tidak pergi jauh darinya.
Setiap hari Kemala hanya berdiam diri di kamar. Namun parahnya, Kemala kini lebih sering tertawa dan menangis secara tiba-tiba. Terkadang Kemala mengamuk dan mencoba menyakiti siapa saja yang mendekatinya. Kemala juga cenderung menyakiti dirinya sendiri.
Pak Narto mencoba mendatangkan dokter untuk memeriksa Kemala. Akan tetapi tidak ada perubahan yang berarti. Kemala justru semakin tak terkendali. Jika tidak terkontrol, Kemala akan turun dari kamar atap dan mengganggu para pelanggan yang datang ke kafe.
"Kemala, sadarlah, Nak! Jangan seperti ini!"
"Diam kamu! Kamu bukan siapa-siapa aku. Kembalikan bonekaku!"
"Akan Bapak kembalikan. Tapi Bapak mohon, kamu jangan seperti ini."
Pak Narto merasa nelangsa. Ia tidak mengira putri dari seorang wanita yang dicintainya akan berakhir demikian. Kemala sakit jiwa. Mentalnya tidak dapat diprediksi. Pak Narto merasa bersalah karena tidak dapat menepati janjinya dengan baik.
"Kemala, kamu mau ke mana?"
"Kak Kemala, jangan, Kak!"
Pak Narto dan Karin menyusul Kemala yang kembali keluar kamar menuruni anak tangga. Tak ayal para siswa-siswi yang sedang menikmati pesanan mereka serta merta berhamburan keluar. Tampilan Kemala yang acak-acakan membuat mereka ketakutan.
"Kembalikan bonekaku!" Teriak Kemala berulang kali seraya melototi orang-orang yang ada di sana.
"Ini, Kak. Boneka Kak Kemala ada di sini," sahut Karin.
"Kamu! Kamu yang mengambil bonekaku?" Kemala menggeram. Ia menyerang Karin secara tiba-tiba. Tangannya kini sudah mencengkram leher Karin kuat-kuat. Karin meronta, berusaha melepaskan diri dari cekikan Kemala.
"Kemala, lepaskan! Lepaskan, Nak!" Pak Narto datang menarik Kemala agar menjauh dari Karin. Tetapi Kemala tidak lemah. Cengkraman tangannya malah semakin kuat. Karin megap-megap kesulitan bernapas.
"Kamu yang mengambil bonekaku!" Kemala terlihat sangat marah. Bola matanya yang berwarna biru khas orang bule seolah bersinar saat Kemala melototi Karin.
"Lepaskan, Kemala!" Pak Narto kehabisan akal, dengan sekuat tenaga Pak Narto mendorong Kemala hingga Kemala jatuh tersungkur. Karin berhasil lolos dari maut. Kalau saja Kemala mencekik Karin lebih lama lagi, hidup Karin sudah akan berakhir.
"Kamu gak apa-apa?"
"Gak apa-apa, Pak dhe," jJawab Karin. Wajahnya berubah merah.
Pak Narto mendengus lega. Kafenya kini tampak sepi. Semua pelanggan membubarkan diri karena kekacauan yang terjadi. Bila mereka tetap di sana, mereka pikir mereka akan celaka.
"Kak Kemala." Karin menghampiri Kemala yang tergeletak di lantai. Kemala tak menjawab. Merasa ada yang aneh, Pak Narto pun cepat-cepat mendekat.
"Kemala, kamu gak apa-apa? Astaga!" Pak Narto terhenyak. Ia melihat pelipis Kemala mengeluarkan darah. Pak Narto tersadar. Mungkin karena dorongannya tadi, kepala Kemala mengenai ujung meja.
"Kak Kemala bangun!" Rengek Karin. Ia mulai panik. Kemala tidak merespon sama sekali. "Pak de, Kak Kemala kenapa, Pakde?"
"Kemala, bangun, Nak! Kemala!" Pak Narto menggoyah-goyah tubuh Kemala.
"Pak dhe, Kak Kemala gak bernapas," gumam Karin tak mempercayai apa yang dilihatnya. Dada Kemala tidak bergerak kembang kempis.
Pak Narto beringsut memeriksa denyut nadi serta helaan napas Kemala. Benar, Pak Narto tidak merasakan apa-apa. Jantung Pak Narto mulai berdebar kencang. Dia telah membunuh gadis itu? Pak Narto kalang kabut. Ia tidak membunuh Kemala. Ia hanya mendorongnya agar berhenti mencekik Karin. Pak Narto tidak tahu jikalau Kemala tersungkur hingga kepalanya membentur ujung meja.
"Pak dhe, kita harus bagaimana?" Karin mulai menangis. Ia berpikir bahwa ini adalah kesalahanya sehingga Kemala harus terjerembab ke lantai.
"Kita sudah membunuhnya."
"Tidak! Kita tidak membunuhnya, Pak dhe."
Jantung Pak Narto tidak dapat terkontrol. Telinganya mulai mendengar suara-suara aneh. "Kamu sudah membunuhnya, Narto!" Pak Narto menutup kedua kupingnya dengan telapak tangan. Benarkah dirinya sudah membunuh Kemala?
"Pak dhe, Karin takut, Pakde."
"Kamu harus diam, Karin. Tutup mulut kamu!"
Pak Narto mengusap wajahnya berulang kali. Untuk beberapa saat ia tidak tahu apa yang mesti ia lakukan. Mayat Kemala terbaring di hadapannya. Dan dirinya yang telah mendorong Kemala hingga Kemala meninggal. Pak Narto merasakan jantungnya seolah jatuh ke dasar tanah.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices