kepentok kacung kampret
Kepentok Kacung Kampret

Kepentok Kacung Kampret

Reads
197
Votes
0
Parts
20
Vote
by Titikoma

3. Surat Bencana

“Aim, nih Mas bawain coklat buat kamu,” setengah gak rela Supeno memberikan sebatang coklat Gold King buat Aimah adiknya yang tentu saja menerima dengan sumringah. Jarang-jarang bahkan gak pernah dapat coklat batang dari kakaknya.
“Beneran nih Mas buat aku?” tanya Aimah tidak percaya, cepat-cepat dia rebut coklat yang masih dipegang kakaknya, takut kakaknya berubah pikiran untuk tidak memberikan coklat yang kata teman-teman sekelasnya enak, dan sekarang kesampaian juga makan coklat batang tersebut.
“Makasih ya Mas, aku ke kamar dulu mau menikmati coklat dari Masku yang hari ini baik banget sama adiknya,” Aimah cepet-cepet lari ke kamarnya.
Ibu Laila hanya geleng-geleng kepala melihat perilaku Aimah yang tidak mau tahu kakaknya memberikan dengan wajah yang muram.
“Peno kamu dari mana kok pulangnya sore-sore?” tanya Bu Laila lembut, sepertinya dia paham kalau putranya sedang tidak enak hati dilihat dari raut wajahnya.
“Tadi aku mampir ke rumah Renata Bu, hmmm kemarin Renata itu pulang cepat karena sakit mendadak, dan hari ini tidak masuk ... karena dia teman baik dan keluarganya juga baik pada kita aku pulang sekolah berniat menjenguk.”
“Oh jadi kamu habis ke rumah Neng Renata toh, trus kenapa muka kamu muram seperti itu, memang kemarin Ibu lihat Neng Renata pulang cepat karena di seragam belakangnya sudah kena darah datang bulan yang datangnya tiba-tiba,” jelas Ibu Laila.
“Oh ...,” Supeno hanya bergumam oh, dalam pikirannya membenarkan kenapa kemarin dirinya diminta jalan membuntuti di belakang persis, ternyata untuk membantu menutupi roknya yang sudah kena darah bulanan yang Renata sendiri berusaha menutupnya dengan tasnya yang gak terlalu besar.
“Peno, trus itu coklat dari Neng Renata?” tanya ibu lanjut.
Supeno menatap lesu ibunya sekilas dan geleng kepala, “Enggak ...”
“Hmmm Ibu tahu pasti kamu membeli coklat itu dan berniat kamu berikan pada Renata tapi pasti kamu enggak percaya diri ngasihnya. Iyakan?” tebak Ibu Laila.
“Enggak juga sih Bu, tadi mau kasih ternyata ada Bernard yang lebih dulu jenguk Renata dan aku gak enak hanya bawa satu batang aja jadi lebih baik aku kasih buat Aimah ajalah! Kasian kemarin-kemarin dia cerita ingin makan coklat batang Gold King, kalau Renata takutnya juga gak suka,” jawab Supeno sembari menatap ibunya.
Dalam tatapan Supeno ibunya walau tanpa pernah memakai sekedar bedak, lipstik dan alat dandan lainnya tapi keliatan sangat manis. Walau ibunya setiap hari kerja keras tapi wajah manis ibunya tidak luntur, dan sebenarnya Supeno mulai curiga dengan beberapa kali kedatangan Bapak Saputera yang diperkenalkan ibunya beberapa waktu lalu sebagai teman sewaktu masih sekolah di masa lalu mereka.
Bapak Saputera yang baru ibunya ceritakan sekilas adalah duda tanpa anak yang ditinggal mati istrinya. Sebagai anak lelaki Supeno sudah bisa meraba ke mana arah hubungan dan pendekatan yang dilakukan Bapak Saputera terhadap ibunya yang tergolong masih muda.
Sudah hampir sepuluh tahun hidup tanpa ayah, tentu saja bukan hal yang ringan buat ibunya yang tidak memiliki keterampilan akademis, menjadi pembantu rumah tanggalah yang selama ini dilakukan ibunya untuk menopang kehidupan mereka bertiga. Dan juga saat ini tiba-tiba Supeno melihat ibunya bagai bersinar seperti remaja yang jatuh cinta jika ada Pak Saputera salahkah?
Sejujurnya Supeno ingin ibu tetap setia tanpa harus menikah lagi demi bisa melangsungkan kehidupan mereka yang serba pas-pasan cenderung kekurangan. Akan tetapi sepertinya ada hal-hal lain yang harus dipertimbangkan demi kebaikan bersama.
Bukankah ibunya juga bukan sosok Hulk yang perkasa? Ibunya pastilah sosok yang lembut juga yang perlu untuk dikasihi, disayang, dan dilindungi tapi apakah itu ada pada Bapak Saputera? Sungguh Supeno belum bisa berpikir mana yang terbaik, memilih membiarkan mengalir hingga ada keputusan terbaik.
“Hai Nak, kamu mau cerita pada Ibu tentang perasaan kamu yang sebenarnya pada Renata? Jangan kira Ibu kamu diam tidak mengerti yang bergejolak ada di hati kamu?” tiba-tiba Ibu Laila berkata yang membuat wajah Supeno memerah, sepertinya ibunya paham akan perasaan dirinya terhadap putri tuan tempat ibunya bekerja.
“Hmmm, dan jangan kira Peno juga tidak bisa memahami perasaan Ibu dengan kehadiran Bapak Saputera yang sudah beberapa kali mencoba mendekati aku dan Aimah?” Supeno tersenyum jahil yang hambar.
“Kamu ...,” tak urung wajah Ibu Laila pun berubah memerah.
“Wajah ibu memerah pasti ada apa-apa antara Ibu dan Pak Saputera, iyakan?” Supeno mendesak.
“Hmmm sebenarnya Ibu belum bisa banyak cerita, tapi Ibu akan cerita di depan kamu dan Aimah akan hal ini. Ibu butuh waktu Nak,” sorot mata Ibu meminta Supeno bersabar.
“Sekarang yang Ibu inginkan adalah, Ibu ingin tahu banyak tentang kamu dan Renata ... tapi kalau ini membuat kamu merasa belum nyaman tak apa. Ibu sarankan jika kamu punya masalah dan susah untuk berbicara dengan siapa pun termasuk Ibumu sendiri, cobalah kamu menulis, menulis bebas dan kamu akan lebih lega jika segala perasaan yang membuat kamu resah sudah kamu sampaikan pada kertas yang akan senang hati dalam diam kamu coret-coret,” nasihat Ibu Laila.
“Iya Ibu terima kasih sarannya, aku akan lakukan dan mungkin akan cerita dengan Ibu tanpa beban jika semuanya berjalan baik adanya,” jawab Supeno mencium pipi ibunya dan berlalu menuju kamarnya.
Ibunya memandang iba di balik punggung putranya dalam hatinya berbisik,” Ibu ingin merubah kehidupan kita, entah dengan Mas Saputera tau tanpa dia pasti Allah akan tunjukan yang terbaik.”
***
Supeno duduk di meja kayu satu-satunya meja yang biasa dipakai untuk belajar dan mengerjakan segala hal.
Masih teringat tadi tatapan Bernard yang curiga dengan kedatangan dirinya tiba-tiba ke rumah Renata. Senyum mengejek Bernard yang spontan ketika dengan cueknya Renata menyuruh dirinya membuatkan minuman buat mereka.
Belum lagi Bernard sempat melihat coklat yang dia bawa lalu bertanya,”Buat siapa coklat murahan itu?”
Spontan dirinya masukan lebih dalam ke tasnya dan menjawab,”Buat adikku.” Dan memilih segera berlalu dari pasangan yang sepertinya baru jadian.
Sepertinya Renata berhasil menjadikan Bernard pacarnya, sebenarnya tanpa harus mengejar-ngejar Bernard bule songong menurut Supeno pasti akan suka dengan Renata.
Supeno baru sadar kalau ternyata kemarin dia disuruh menutupi bagian belakang Renata yang terpeta darah datang bulan tiba-tiba. Tapi kok kenapa dia juga yang dimintain tolong untuk masalah cewek, kenapa tidak ke Clara atau Diaz.
Barusan ibunya memberi saran kalau susah ngomong perasaan dirinya pada orang lebih baik menulis pada sebuah kertas, dan sekarang di depannya sesobek kertas yang Supeno ambil dari tengah buku tulisnya.
Dear
Renata
Aku hanya berani menuliskan perasaanku pada selembar kertas yang tak mungkin juga akan sampai di tanganmu, kata ibuku untuk membuat hati merasa lega adalah dengan menulis apa yang kita rasakan.
Dan aku coba, semoga kertas putih ini pun tidak menertawakan kebodohan aku yang menyukai kamu gadis yang diumpakan langit karena kecantikan dan kekayaannya yang jauh sepadan dengan aku yang dianggap bumi.
Ya orang bilang pasti bagai langit dan bumi, beauty and the beast, si kaya dan si miskin atau apalah istilah lain yang mencolok perbedaan kita. Hmmm bisa jadi putri dan kacung kampret.
Yah aku sadar, aku hanyalah orang yang suka disuruh-suruh di lingkungan kita terutama kamu Renata Pricilia. Aku tidak bisa marah dengan siapa pun terutama kamu jika terkadang menyuruh aku dengan semaunya sendiri lalu harus beres.
Tapi aku tidak marah sama sekali, bahkan aku senang kalau bisa menolong kamu. Sepertinya aku memang menyukai kamu. Karena setiap hari yang ada dalam pikiran aku pasti wajah kamu.
Yang jelas aku sangat sayang kamu Renata dan tak ada yang perlu tahu akan perasaan ini. Perasaan yang akan aku simpan, mungkin suatu hari kalau aku pantas menjadi pacar kamu baru aku berani menyatakan, mungkin saja ....
Renata yang manis sampai sekian dulu suratku, dan aku sepertinya akan menulis, menulis agar perasaanku merasa lebih lega karena hanya dengan kertas aku berani bercerita.
Supeno
Menanti waktu yang terbaik
***
“Penooo sini!!”
Ternyata Renata Jumat pagi-pagi banget sudah datang, sementara dirinya tengah piket menggantikan Lukman yang minta tolong karena datang terlambat.
“Kamu sedang gantiin piket siapa?” tanya Renata.
“Lukman, katanya hari ini kesiangan gara-gara semalam ngeband,” jawab Supeno.
“Peno kasih surat ini ke Bernard ya, aku mau minta dia temanin aku nanti malam nonton film,” Renata menyodorkan surat putih.
“Oke Ren, boleh taruh di tasku dulu aku selesaikan beberes ya. Jam segini Bernard juga belum datang diakan juga siangan kalau datang,” jawab Supeno agak cuek, kalau boleh milih dirinya mau disuruh apa saja asalkan bukan berurusan dengan Bernard.
Entah kenapa menurut perasan Supeno sepertinya Bernard terhadap dirinya tidak suka, padahal dirinya juga hanya diminta tolong oleh Renata untuk mengantarkan surat waktu lalu, membuatkan minuman atau menggantikan piket. Jadi kedekatan Renata dan dirinya hanya karena sebatas majikan dan pembantu kasarannya.
Tanpa sadar sudah hampir pukul 07.00 dan sebentar lagi bel masuk berbunyi, sepertinya Supeno lupa untuk mengantarkan surat buat Bernard membuat Renata berteriak,”Penooo ayo cepetan suratnya! Untuk B e ....” Renata tidak jadi menyebut nama bule ganteng idola teman-temannya juga.
Sepertinya Renata tidak mau banyak yang tau kedekatan dirinya yang baru saja jadian dengan Bernard.
“Oh iya ... oke-oke aku akan ke kelas 3 IPS Bahasa,” Supeno segera ambil kertas putih yang dilipat dari tasnya dan berlari ke kelas Bernard.
Terengah-engah Supeno masuk ke ruangan yang sudah mulai tertib murid-murid tiga IPS Bahasa akan berdoa.
“Nard ada surat ni dari Rena, sudah ya aku langsung balik,” Supeno malas banyak berbasa-basi demikian Bernard bukannya berterima kasih cuma tersenyum meremehkan tanpa ada perasaan terimakasih dari raut wajahnya.
“Udah beres!” Supeno memberikan kode melingkar ibu jari dan telunjuk pada Renata lalu duduk di bangkunya.
Tanpa disadari oleh Supeno surat yang diberikan pada Bernard adalah kertas yang isinya adalah tulisan curahan hatinya yang ditulis hingga larut malam.
Peno tanpa sadar melipat kertas putih itu juga seperti surat dan dimasukan ke dalam tasnya dan tadi karena tergesa dia tak sadar salah ambil. Supeno juga tidak mengecek lagi apa yang akan diberikan pada Bernard.
Dan kesadaran itu baru terungkap jam istirahat karena tiba-tiba Bernard dan Bano kakak kelas yang terkenal bandung masuk ke kelas Renata ketika mau jam istirahat.
“Tunggu! Tunggu! Jangan cepat-cepat istirahat karena akan ada informasi penting! Sangaaaat penting!” tiba-tiba Bano bak demonstran meminta anak-anak yang mau istirahat mendengar orasinya.
Sementara Bernard tersenyum dengan menyilangkan tangannya di depan dada. Dan sempat mengedipkan matanya pada Renata yang sepertinya heran.
“Ehem-ehem ternyata di kelas kalian ada langit dan bumi, ada beauty and the beast hmmm tepatnya sih bukan itu menurut aku! Tapi Si Pungguk Merindukan Bulan!” kalimat pembuka yang membuat Supeno tiba-tiba deg-degan.
Kata bumi dan langit, beauty and the beast bukankah itu kata-kata yang dia tulis semalam. Peno baru tersadar dia meraba kertas satu lagi di tasnya dan membukanya ternyata surat Renata untuk Bernard tertukar dengan kertas curahatan hatinya semalam.
Wajah Supeno memanas seketika dan Bano tanpa aba-aba bak sastrawan yang tengah membacakan puisi membaca keras-keras apa yang semalam dia tulis.
Pada awalnya semua teman-teman sekelasnya diam tapi ketika disebut kalimat Kacung Kampret seketika manjadi riuh, terbongkar sudah semua rahasia hatinya ... dikuliti sampai ke tulang-tulang istilahnya.
Supeno sudah berusaha merebut tapi dihalangi Bernard hingga kata terakhir pun terbaca. Dan tepuk tangan riuh di kelas.
Wajah Renata mendadak begitu angker kepada Supeno, dirinya tidak menyangka sama sekali akan dipermalukan oleh pembantu andalannya.
“Ren maaf, maaf ya ...” Supeno mendekati Renata yang menatap dengan tajam, sadis, dan tanpa ampun.
“Ranata sekarang kamu percayakan apa kataku, kalau Supeno memang ada hati ke kamu. Mana ada sih cowok disuruh-suruh dengan ikhlas kalau enggak ada hati?” tiba-tiba Bernard sudah berdiri di antara mereka.
“Ayo Sayang kita ke kantin, meredakan amarahmu aku yang traktir. Oh ya malam nanti aku bisa temani kamu nonton,” Bernard menarik tangan Renata dan menggiringnya ke kantin.
“Sabar ya Peno,” kata Lukman yang baru saja dibantu piket hari Jumatnya. Lukman anak band agak gondrong tapi baik pada Supeno. Dan teman-teman lain yang tadi tertawa riuh juga menganggapnya intermezzo saja, walau ada juga yang mencibir terutama Diaz dan Clara sahabat lengket Renata yang gak terima sahabatnya disukai Kacung Kampret.
“Ngaca kamu!” ucapan pedas Diaz.
“Dasar Kacung Kampret gak tau diri!” ungkap Clara dengan tatapan menghina.
“Sudah-sudah! Kalian cewek-cewek centil! Hush hush pergi sana!” Lukman mengusir sahabat-sahabat Renata yang sok keren. Lukman tau persis mereka suka pada dirinya dan mengidolakan dirinya yang mereka anggap cool sebagai anak band.
“Udah Peno, gak usah diambil hati! Yaaah ambil saja positifnya secara tidak langsung kamu sudah lega walau caranya harus semua orang tahu kalau kamu mencintai R e n a t a Pricila! Yang sombong itu!” ungkap Lukman yang sepertinya memang tidak suka terhadap gerombolan Renata, Diaz, dan Clara yang menurutnya cewek high class yang sombong-sombong.
“Iya sih Luk, tapi akibatnya Renata jadi sangat marah dan sepertinya selamanya dia tak akan mau mengenal aku lagi,” ungkap Supeno setengah mengutukin kecerobohan dirinya.
“Sudahlah! Setelah ini jangan masukan hati dengan teman-teman yang mengejek kamu dengan sebutan-sebutan Kacung Kampret, toh mereka juga butuh kamu untuk banyak hal,” hibur Lukman.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices