by Titikoma
4. Hubungan Pasang Surut
Sempat kaget saat hari Senin pagi tiba-tiba Rani, putri dari ibu kost menemukan frame yang berisi foto dirinya dengan Rama sudah ada di keranjang sampah.
Pantesan minggu malam jelang tidur biasanya Shinta memandang foto mereka berdua saat mengunjungi wisata Gua Lawa dengan background pemandangan indah tidak ada. Terjawab sudah mama membuangnya ke keranjang sampah depan dan Rani menemukannya.
Shinta hanya bisa geleng-geleng kepala membayangkan mama dengan kasar memungut frame foto dirinya dan Rama lalu tanpa sepengetahuan Shinta membuangnya di tempat sampah.
Shinta berusaha tetap menyisipkan cerita tentang Rama bila pas mamanya menelepon. Shinta berharap mama akan berubah sikap. Tapi mama tetap saja jutek.
Tidak ada niat Shinta untuk meninggalkan Mas Rama karena memang ada cinta di hatinya. Cinta hadir karena terbiasa bersama. Dan sekali ini Shinta ingin mempertahankan cintanya.
***
Di suatu hari perut Shinta sakit bukan main dan melilit. Entah sudah ke berapa kali dirinya bolak-balik ke belakang.
“Aduh Shin mendingan kamu ke dokter aja, aku bilang Mas Rama ya kamu sakit...” Mutia melihat Shinta yang tengah memegang perutnya dan berkeringat dingin.
Shinta tidak ada pilihan dan memang harapan satu-satunya hanya Mas Rama. Rama datang tergopoh-gopoh, langsung memegang dahinya yang berkeringat dan badannya dingin.
“Dingin, sudah berapa kali buang-buang airnya Shin?” tanya Rama sambil membawakan teh manis panas.
“Sudah lima-enam kali Mas, mulasnya... stttt...” Shinta menahan sakit perutnya yang mules dan melilit.
“Ayo kita ke dokter saja,” ajak Rama dengan wajah khawatir.
Untung mobil kantor sedang stand by jadi Rama bisa meminjam dan dapat izin langsung Pak Hernowo untuk membawa Shinta ke dokter provider kantor.
Shinta terduduk lemas, tiba-tiba di tengah jalan...” Aduh mules banget, aku gak tahan Mas... aku harus ke belakang... tolong berhenti.”
“Iya bentar, di depan ada pom bensin, sabar ya...” Rama mengebut dan segera membelokkan mobil ke pom bensin.
Shinta tanpa basa-basi langsung melesat ke kamar mandi.
Keluar dari kamar mandi Shinta tampak lemas, Rama turun untuk memapahnya ke dalam mobil dan langsung memacu mobilnya ke Dokter Chin, langganannya sekaligus provider kantor.
Ada tiga antrian dan selama mengantri Shinta sudah sempat ke toilet lagi. Rama mengambil inisiatif ke bagian pendaftaran.
“Sus minta tolong bisa didahulukan dulu nggak ya? Teman saya sudah sangat lemas dan kesakitan tapi masih harus antri dua orang lagi. Minta tolong Sus…” Rama mendesak suster jaga untuk memprioritaskan sebentar. “Saya harus izin ke Dokter Chin sebentar.”
“Nona Dewi Shinta!” ternyata suster dengan seizin Dokter Chin memperbolehkan Shinta untuk masuk lebih dahulu.
“Ayo!” Rama bersyukur Dokter Chin mengabulkan. Rama memapah Shinta yang tengah memegang perutnya.
Langsung Dokter Chin memeriksa dan memberikan obat agar cepat mampet dan memberi cairan khusus untuk mengganti cairan tubuh yang terkuras agar tidak mengalami dehidrasi.
“Kenapa ya Dok teman saya?” Rama bertanya cemas.
“Sepertinya sih semacam bakteri lambung, nggak apa-apa ini saya kasih obat yang harus dihabiskan dan seminggu istirahat total dulu ya.”
Ajaib, setelah makan obat dari Dokter Chin rasa mules agak berkurang. Sampai ke asrama aman karena Shinta tidak merasakan mules lagi.
Rama mengantarkan sampai kamar setelah memperoleh izin dari ibu kost. Rama membelikan bubur hangat dan membuatkan teh manis panas. Menyuapi Shinta yang terdiam karena rasa sakit dan berusaha menelan suap demi suap bubur yang Rama suapkan dengan sabar.
Bersama Rama, Shinta merasakan kasih sayang sepenuhnya, enaknya dicintai daripada harus mengejar cinta.
“Obatnya diminum dulu,” Rama menyodorkan obat dan menyuapkan obat sirup.
“Nah sesudah makan obat, istirahat. Aku balik ke kantor dulu, nanti sore aku mampir lagi ke sini. Mau aku bawakan soto hangat dan nasi bubur buat makan sore?” Rama menawarkan soto yang sekarang menjadi makanan kesukaan Shinta.
“Boleh Mas... iya aku butuh makanan berkuah agar mudah ditelan... terima kasih ya Mas Rama,” Shinta masih sedikit mendesis menahan sakit.
“Iya dan kamu istirahat ya, Mas akan bilang bu kost agar sesekali kamu ditengokin karena kamu sedang sakit. Take care ya Sayang,” Rama mencium kening Shinta dan berpamitan.
Rasanya bahagia sekali melihat sorot mata yang tulus dari mata Rama.
***
Shinta menyalakan radio kamar dan mendengarkan lagu-lagu hits Indonesia, pikirannya melayang akan hubungan dirinya dengan Rama.
Rasa bersalah merambati hatinya, sebenarnya sudah beberapa hari ini dia berusaha menjauh dari Mas Rama, karena hanya akan sia-sia saja juga bila dilanjutkan. Apalah arti semua ini bila akhirnya mama hanya akan menentang dan tidak pernah merestui hubungan dirinya dengan Mas Rama.
Shinta ingin memutuskan hubungan yang sudah hampir enam bulan berjalan, tapi sekarang malah dirinya kembali tergantung pada Mas Rama yang membawanya ke dokter karena sakit yang diderita.
Bahkan dari mata Mas Rama, Shinta bisa merasakan ketulusan terpancar, bagaimana bisa dia tega tiba-tiba menjauhinya. Rasa kantuk menyerang, tertidur dengan sisa air mata yang baru saja meleleh karena bingung hatinya.
Sungguh dia ingin melanjutkan cintanya dengan Mas Rama, tapi di sisi lain ancaman dari mamanya juga membuat dirinya merasa takut. Seperti yang sudah-sudah memang dirinya tidak ada kemampuan untuk menolak segala permintaan mamanya. Pilihan selama ini adalah mengikuti keputusan mamanya!
***
Rama memilih pulang tepat waktu walau ada janji untuk lembur dengan Dony, untung sahabat terbaiknya selalu paham akan hubungan dirinya dengan Shinta yang tampaknya tidak semulus hubungan Dony dan Mutia yang seiring waktu sudah semakin mantap dan direstui, bahkan tahun depan mereka berencana menikah.
Rama menghentikan motor Ninja-nya untuk membeli soto dan bubur, juga buah apel sesuai saran Dokter Chin. Kalau Shinta harus makan bubur sampai empat hari dan buah berserat halus seperti apel dan pir.
Rama membuka kamar Shinta perlahan, tampaknya Shinta tidur dari sore hingga pukul 18.15 masih terlelap. Rama menyalakan kamar dan Shinta masih belum sadar kalau Rama tengah memandangi wajahnya.
Rama menatap wajah Shinta yang tampak pucat dan ada sisa air mata di ujung pelupuk matanya. Menahan getaran hati dan egonya, tiba-tiba dia mencium pipi Shinta perlahan.
Shinta merasa ada wajah yang begitu lekat dan saat membuka matanya. Terasa sangat dekat wajah mereka, Shinta membiarkan wajah itu menciumnya dan mengelus rambutnya perlahan.
“Kamu sudah mendingan… Sayang?” Rama memandang lekat tersenyum.
“Sudah, hmm… obat Dokter Chin tokcer ya! Mulesku berkurang banyak, cuma masih terasa lemas aja,” Shinta menegakkan tubuhnya, dibantu Rama yang menumpukkan beberapa bantal di belakang punggungnya.
“Makan malam dulu ya... atau kamu mau mandi, gosok gigi dan ganti baju dulu?” Rama bertanya sembari tersenyum manis.
Wajah Shinta berubah merah, ”Gigiku bau ya?”
Tersadar baru saja Rama mencium bibirnya sesaat dan mengalirkan hawa panas, seketika badannya terasa lebih sehat.
“Who cares! Sikat gigi atau nggak, aku cinta kamu!” Rama mengusap rambut Shinta sesaat.
“Udah aku mintain air panas, kamu basuh pakai waslap saja ya di kamar mandi.”
Shinta mengagguk-angguk menurut saja.
Setelah menyiapkan air panas, Rama keluar kamar memberi kesempatan Shinta untuk membersihkan diri dengan waslap, sisiran lalu menyantap makan malam dan melahap buah lalu obat. Rama benar-benar melayani dan menemani sampai pukul 21.00. Rama berpamitan dan janji pagi-pagi sebelum ke kantor akan membawakan bubur hangat.
“Istirahat ya Sayangku... jangan pikirkan apa-apa lagi... biarkan semua mengalir apa adanya... jodoh adalah pilihan Tuhan jadi serahkan semuanya...” Rama mencium kening Shinta dan meninggalkannya dalam lelap. Rama memastikan Shinta tertidur baru kemudian mematikan lampu kamar dan beranjak pulang ke rumah kontrakannya.
***