Cinta Rasa Kopi

Reads
140
Votes
0
Parts
6
Vote
by Titikoma

2. Pasang Surut Kehidupan

Dua bulan telah berlalu. Selama itu pula secara rutin setiap dua minggu sekali Joylin menemani mamanya menjenguk Antony, sehingga penghasilannya sebagai seorang tenaga administrasi di sebuah CV nyaris ludes untuk biaya transportasi. Sementara, hari-hari kelahiran anaknya sudah semakin dekat. Sedangkan Amar nyaris tak bisa diharapkan lagi bentuk tanggung jawabnya. Merasa bahwa dirinya adalah anak seorang anggota TNI berpangkat tinggi yang begitu terpandang dan dihormati oleh warga di sekitarnya, membuat Amar tak bisa lepas dari kebiasaannya berfoya-foya. Bahkan minuman keras dan narkotika juga telah meracuni hidupnya.
Karena itulah, walaupun sudah berumah tangga Amar tetap menggantungkan hidup pada orangtuanya. Tentu saja sebagai istri, Joylin sering merasa tidak enak dan malu pada mertuanya. Oleh karena itu, meski sudah berbadan dua, Joylin tetap memaksakan diri untuk terus bekerja.
Seperti siang itu, di kantor, pandangannya fokus ke monitor dengan jari-jari yang menaru di atas keyboard. Hanya sesekali Joylin terlihat mengelap peluh yang membasahi dahi. Di dalam jeda tarian jarinya, ia masih sempat pula mengusap perut yang sudah membesar.
Hendri, seorang lelaki lajang yang sekantor dengan Joylin, diam-diam kerap memperhatikan wanita muda itu. Namun bukan semangat kerjanya yang membuat lelaki itu tertarik untuk memberi perhatian lebih pada Joylin, melainkan adanya dorongan suatu rasa yang tumbuh di dalam hatinya.
“Joy, jangan terlalu memaksakan diri. Kalau kamu capek istirahatlah. Nanti biar aku yang meneruskan mengetik berkas-berkas itu,” ujar Hendri dari meja kerjanya yang memang bersebelahan dengan meja Joylin.
“Terima kasih Hendri. Tapi aku masih kuat kok.” Seperti biasa Joylin selalu punya cara yang halus untuk menolak uluran perhatian yang coba Hendri tawarkan.
“Tapi apa kamu nggak kasihan dengan calon anakmu itu? Kamu harusnya sudah ambil cuti, Joy. Andai saja aku yang jadi suamimu, aku tak akan biarkanmu bekerja seperti ini.” Hendri masih berusaha tebar pesona.
“Tapi sayangnya bukan kamu suamiku,” kelakar Joylin sambil tersenyum.
Hendri ikut tersenyum. Namun ekor matanya belum mau berpindah dari seraut wajah Joylin. Sebentuk wajah oriental yang kerap mengusik tidurnya.
“Tapi jika kamu butuh bantuan, aku selalu siap untukmu, Joy,” kata Hendri.
Joylin hanya tersenyum tanpa berpaling dari layar monitor komputer. Sungguh, bukannya hati Joylin tidak peka terhadap sinyal-sinyal pendekatan yang sering dilakukan Hendri. Sebagai seorang istri yang seolah tak pernah dianggap oleh suaminya, di otak Joylin terkadang juga terbersit keinginan untuk melayani harapan Hendri tentang dirinya. Tapi, janin yang sedang menghuni rahimnya seolah jadi suatu rem yang cukup pakem untuk menangkis keinginan gila yang sempat melintas. Sebobrok apapun kondisi rumah tangganya kini ia masih coba bertahan menantang kerasnya pasang surut kehidupan.
Sikap dingin Joylin tak membuat Hendri menyerah.
“Kalau begitu nanti istirahat, kamu ikut makan di luar bersamaku ya Joy?” ajak Hendri.
“Kau tahu, aku selalu bawa bekal dari rumah, Hendri. Aku tidak terbiasa makan di luar,” tolak Joylin halus.
“Ayolah, sekali ini saja, Joy,” kata Hendri setengah mendesak.
“Maaf Hendri, sebaiknya kamu ajak gadis lain saja. Di kantor ini ada banyak gadis yang lebih pantas kau ajak kok.”
“Tapi aku inginnya ngajak kamu, Joy.”
“Apa kamu nggak malu dengan kondisi perutku ini?”
Hendri menggelengkan kepala.
“Kalau begitu calon jabang bayiku ini yang justru malu berjalan dengan berondong seperti kamu," seloroh Joylin dengan tawa kecilnya.
Hendri mendesah kecewa. Kecewa terhadap perasaannya yang tak pernah mendapat balasan. Juga kecewa pada dirinya sendiri mengapa ia tak pernah berharap pada seorang gadis yang masih sendiri namun justru tertambat pada seorang wanita yang telah berstatus sebagai istri orang lain.
Hendri tertawa dalam hati. Mentertawakan dirinya sendiri. Meski ia tahu kalau cinta itu memang seperti kupu-kupu yang terbang tinggi, hinggap dimana saja. Jadi kalau hatinya sekarang diam-diam tertambat pada Joy, itu takdir.
Tepat jam empat sore, saat jam pulang kerja, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Terpaksa Joylin berteduh di sebuah emperan toko yang tak jauh dari kantor tempatnya bekerja. Ia berdiri termangu seraya memandangi titik-titik hujan yang makin lama makin rapat intensitasnya. Terpaan hawa dingin yang menusuk membuatnya beberapa kali harus menyilangkan tangan ke dadanya yang tampak kian padat berisi akibat kehamilan yang tinggal menghitung hari kelahiran.
Pancaran kelelahan jelas tergambar dari wajah orientalnya. Beban yang ada di perutnya membuat kedua kaki jenjangnya serasa mudah capek menopang tubuh yang juga menjadi melar seiring perkembangan janinnya. Untuk itu sambil memdekap tas kecil ke dada, ia menyandarkan punggung ke tembok toko itu.
Sejenak Joylin memeriksa jam tangan yang melingkar manis di pergelangannya. Tanpa terasa sepuluh menit telah berlalu. Namun, belum ada taksi ataupun angkutan yang melintas. Sampai tiba-tiba sebuah mobil avanza hitam menepi dan menghampirinya.
Mengira bahwa mungkin itu adalah pengguna jalan yang hendak bertanya arah suatu kota, Joylin mengacuhkannya saja. Bahkan ketika pengendara mobil itu turun dengan menggunakan sebuah payung hitam untuk melindungi diri dari guyuran hujan yang belum juga reda, Joylin malah membuang muka. Ia berpura-pura tak melihatnya.
“Joy,” sapa orang itu mengagetkannya.
Spontan Joylin menoleh. Serta merta matanya terbelalak tak percaya. Pengendara mobil berpayung hitam itu ternyata adalah Hendri.
“Daripada kemalaman, sebaiknya kamu pulang bareng aku saja. Kebetulan hari ini aku ada acara yang searah dengan rumahmu. Ayo.” Hendri menawarkan tumpangan dengan suara lembutnya.
Tapi wajah Joylin tetap diselimuti mendung. Senyum manis yang biasanya kerap terukir di bibir tipisnya, saat ini tak lagi tampak. Padahal senyum manis itu yang sering mengaduk-aduk perasaan Hendri hingga mabuk kepayang.
“Tapi apa aku nggak merepotkanmu?” Joylin bertanya ragu.
Sejenak Hendri tersenyum baru kemudian menjawab.
“Kalau aku repot, nggak bakalan aku nawari kamu untuk bareng.”
Joylin belum beranjak. Sepertinya ia masih ragu. Menyadari hal itu Hendri buru-buru meyakinkan niat tulusnya.
“Joy, nggak apa kalau kamu meragukan niat tulusku ini. Tapi setidaknya kamu harus memiliki rasa kasihan pada jabang bayimu apabila kamu terlalu lama ada di tempat terbuka dan dingin seperti ini. Jadi ayolah, aku antar kau pulang.”
Kalau sudah bayi itu yang jadi alasan utamanya, tak ada alasan lagi bagi Joylin untuk menolak. Apalagi hari ini usia kandungannya tepat sembilan bulan. Tadi, saat menerima gaji ia sudah sekalian minta ijin untuk cuti melahirka, sebab dokter bilang paling lambat sepuluh hari lagi anaknya akan lahir. Demi kesehatan calon bayinya maka Joylin hanya bisa mengangguk.
“Baiklah,” ujarnya lirih.
Hendri tersenyum. Buru-buru ia arahkan payung yang dipegangnya untuk melindungi tubuh Joylin. Seakan tak rela bila air hujan sampai menimpa Joylin yang begitu dikaguminya. Henri lebih rela jika dirinya saja yang basah.
Bagai seorang pangeran yang sedang melayani seorang putri raja, Hendri melayani Joylin dengan begitu lembut. Dengan gerakan penuh hormat dia membuka pintu mobil dan mempersilakan Joylin untuk masuk. Perlahan Hendri menutup pintu mobil dengan senyum bahagia.
Seiring bunyi guntur yang membahana, Hendri mulai melajukan mobil menembus guyuran hujan yang semakin deras.
****
Perlahan Joylin membuka pintu rumah setelah mobil Hendri yang mengantarnya meninggalkan halaman disertai lambaian tangan dan senyum yang bersahabat. Sambil mengibas-ngibaskan ujung bajunya yang sedikit basah, Joylin masuk rumah.
Namun apa yang terjadi? Baru separo badan Joylin yang nongol di ambang pintu tiba-tiba suaminya yang ternyata telah memperhatikan kedatangannya sedari tadi dari balik pintu, langsung menyambar tangannya dan dengan kasar menyeret Joylin ke sofa. Di sofa itu, tubuh Joylin didorong hingga terhempas.
Jidat Joylin membentur pinggiran sofa dengan cukup keras.
“Joy! Siapa lelaki yang mengantarmu tadi, heh? Siapa? Atau jangan-jangan lelaki itu tadi adalah selingkuhanmu? Begitu?!”
Plaaakk!
Satu tamparan keras langsung mendarat di pipi Joylin hingga meninggalkan bekas memerah.
“Kamu tak berhak menuduhku seperti itu!” bantah Joylin seraya mengusap pipi.
“Apa kau bilang, aku tak berhak? Aku ini suamimu, Joy. Aku bebas melakukan apa saja terhadapmu. Ingat itu!”
“Kalau benar kamu merasa suamiku, harusnya kau penuhi tanggung jawabmu! Tapi nyatanya mana, mana? Tiap hari kerjamu hanya mabuk dan mabuk lagi,” balas Joylin.
“Hah, banyak omong, kamu! Pusing aku mendengar ocehanmu yang itu-itu aja! Sekarang aku lagi butuh duit! Hari ini kamu lagi gajian kan? Mana uangnya? Mana?” Tanpa memperdulikan mata istrinya yang mulai berkaca-kaca, Amar langsung merampas tas yang sedari tadi dipegang oleh Joylin.
Amar mengambil semua uang yang baru saja di terima Joylin.
“Dengan uang ini aku bisa bersenang-senang semalaman,” tawa Amar seraya mengipas-ngipaskan uang itu ke tubuhnya.
“Jangan Amar! Jangan! Kembalikan uang itu, Amar! Kembalikan! Uang itu akan aku pakai untuk persiapan kelahiran anak kita, Amar. Kembalikan uang itu!” pekik Joylin sambil mencoba bangkit dan merebut uang itu dari tangan suaminya.
Namun apa daya, tenaganya tak sebanding dengan kekuatan Amar. Dengan sekali sentak, tubuh Joylin justru terjerembab ke lantai.
“Amar, aku mohon kembalikan uang itu,” ratap Joylin. Tangisnya mulai pecah.
Amar tak peduli. Ia justu bergegas meninggalkan rumah dengan wajah yang cerah.
Sementara di luar hujan semakin deras. Sederas air mata Joylin yang kini meringkuk di lantai berkeramik hitam. Sejuta nelangsa merambati seluruh aliran darahnya. Tangis Joylin yang sesenggukan membuat perutnya yang besar ikut berguncang-guncang. Kepedihan yang semula merajam hati kini dirasakan Joylin menjalar ke dalam perutnya yang mulai berkontraksi dengan hebat. Joylin mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya.
“Ooh, Mbok Darmi. Ohh, Mbok Darmiii…”
Bagai kerupuk kesiram air kuah, tubuh Joylin langsung terkulai lemah. Pandangannya terasa kian kabur untuk kemudian gelap. Joylin tak ingat apa-apa lagi. Ia pingsan terkapar di lantai yang dingin.
Tergilas oleh pasang surut kehidupan yang berputar secepat angin.
****
Adzan isya baru saja selesai berkumandang ketika Joylin mulai membuka mata. Ia mengedarkan pandangan dengan perasaan bingung saat mendapati dirinya telah berbaring di sebuah ranjang di dalam ruangan yang didominasi warna putih. Sebotol infus yang menggantung di sebuah tiang penyangga juga nampak terhubung ke pergelangan tangannya melalui sebuah pipa plastik kecil.
Mamanya, Thomas, serta Mbok Darmi tampak duduk tercenung di dekat ranjang tempatnya berbaring. Wajah mereka tampak dilanda kecemasan.
Ketika pandangan Joylin sampai pada bagian perutnya sendiri, wanita itu terkesiap. Dilihatnya perut yang semula membusung itu kini sudah mengempis. Takut telah terjadi apa-apa atas kandungannya, Joylin mengerahkan tenaga berusaha untuk bangkit. Sang mama buru-buru mendekat dan mencegahnya.
“Tenang Nak, tenanglah. Kamu berbaring sajalah dulu,” ujar mamanya sembari mengusap kening Joylin.
“Tapi Ma, kandunganku...” Kekawatiran yang besar membuat Joylin menatap mamanya dengan pias.
Tapi sang mama justru membalasnya dengan senyum merekah.
“Tidak ada yang perlu kamu cemaskan, Joy. Anakmu telah lahir dengan selamat.”
“Apa? Aku, aku telah melahirkan Ma?” tanya Joylin seolah tak percaya. Saking bahagianya sampai meitikkan air mata.
“Iya Joy dan anakmu perempuan. Cantik seperti kamu,” sahut mamanya tetap dengan senyum.
Dan entah siapa yang memulai, ibu dan anak yang kini telah pula menjadi ibu itu kini saling berpelukan.
“Sekarang di mana anakku, Ma?” tanya Joylin jadi tak sabaran ingin cepat melihat buah hatinya yang baru terlahir ke dunia.
Lagi-lagi sang mama menjawab dengan senyumannya.
“Sekarang anakmu masih dalam ingkubator, Joy. Sebentar lagi juga pasti dibawa kemari.”
“Apa Amar sudah tahu hal ini, Ma? Amar sudah dikabari kan?” Kembali Joylin bertanya pada sang mama.
Mendapat pertanyaan seperti itu dari anaknya, sang mama sejenak saling pandang dengan Thomas dan juga Mbok Darmi yang ada di dekatnya. Untuk beberapa saat wanita itu menghela napas panjang dan berat. Seolah ingin melontarkan sebuah beban yang tengah mengganjal di dasar hatinya.
“Mama sudah mengabari Amar tentang kelahiran anaknya ini, kan?” Joylin mengulang pertanyaannya.
Sang mama masih bungkam dengan mata mengerjap-ngerjap. Resah.
“Di mana Amar sekarang, Ma?” Joylin kian mendesak.
Dengan air muka yang keruh, sang mama mendekatkan wajahnya ke wajah Joylin. Lantas dengan berat hati wanita itu mulai berucap.
“Joy, Mama rasa kamu lebih tahu bagaimana sifat Amar daripada kami semua. Tadi saat membawa kau ke klinik ini, baik Mama, Thomas, maupun Mbok Darmi sudah berusaha menghubungi Amar, namun teleponnya tidak aktif. Jadi Mama yakin kamu lebih tahu di mana kini Amar berada. Tapi sudahlah Joy, jangan pikirkan soal itu dulu. Yang penting kau segera sehat agar dapat merawat bayimu dengan baik, ya?” kata sang mama sambil menahan air mata yang hendak tumpah.
Joylin mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya. Kepedihan yang menyayat hati, membuat ia tak mampu lagi membangun sebuah bendungan yang kokoh di pelupuk mata. Banjir air mata kembali melanda. Menggenangi kedua bola matanya.
Air mata kesedihan itu baru bisa berhenti ketika seorang suster membawa seorang bayi mungil nan cantik kepadanya. Begitu suster itu membaringkan bayi itu di sampingnya, Joylin langsung memeluk dan menciuminya dengan penuh kasing sayang. Ia sadar, inilah buah cinta kasihnya dengan Amar. Cinta kasih yang sekarang ia rasakan semakin hambar dan pudar, karena Amar lebih senang tenggelam dalam pelukan botol minuman keras daripada berada dalam pelukan istrinya yang mencintainya dengan ikhlas.
Bayi cantik nan mungil itu diberi nama Asline.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices