Hopeless Cries

Reads
223
Votes
0
Parts
23
Vote
by Titikoma

7. Buket Bunga

SESEORANG menekan bel pintu rumahku. Hari ini Minggu. Orang-orang di rumahku—selain aku—pergi sedari pagi tadi entah ke mana. Tidak ada pembantu di rumahku. Suasana, tentu saja hening. Aku masih memakai daster ketika bel itu terdengar. Seraya mengucek mata, aku bangkit dari tempat tidur dengan enggan.
Masih jam setengah sembilan pagi. Suara langkah kaki yang mondar-mandir di depan pintu tampak gusar. Bel berbunyi kembali.
“Sebentar!” teriakku sedikit kesal. Orang di luar pintu sepertinya bisa mendengarku deh-
“Bingkisan, Mbak.” Lelaki itu seorang kurir. Dia membawa sebuket besar bunga mawar berwarna merah. Aku tercengang, menyadari bahwa hari ini bukan hari spesial. Aku berpikir bahwa aku tidak sedang ulang tahun.
“Dari siapa, Pak?” tanyaku.
Lelaki itu tidak menjawab, kecuali menyerahkan amplop kecil berwarna merah hati.
Aku menerima buket bunga itu beserta amplopnya. Setelah menandatangani berkas bingkisan itu, lelaki itu segera undur diri.
Aku penasaran dengan bingkisan bunga ini. Kubuka segera amplop itu.
Dear, Ervina.
Tidak banyak perempuan sepertimu. Bahkan aku sangat mengagumimu, meski kau tidak mengetahuinya. Ketika aku menatap wajahmu dari tempat yang jauh, desiran rasa itu muncul di dadaku dengan tidak terbantahkan. Apa aku menyukaimu? Aku pikir, ya. Sayangnya, kau tidak tahu akan hal itu. Maafkan bila aku lancang mengatakannya.
Bisakah kau menjadi temanku (untuk sementara)? Atau apalah itu. Aku ingin mengenalmu lebih jauh. Boleh?
Aku yang mengagumimu,
Andro.
Itu isi amplop tersebut, sebuah surat yang aku pikir ini terlalu terus terang. Apakah ini berasal dari lelaki yang sama dengan yang meneleponku semalam?
Ini mengejutkan. Aku memuji keberaniannya. Tidak banyak lelaki yang se-gentle dirinya. Jujur, aku tersanjung atas pujiannya. Lelaki ini tipe lelaki romantis, pikirku. Ketika aku terus berpikir perihal orang yang memberi buket bunga ini, ponselku bergetar. Ada SMS masuk, dari nomor semalam.
Semoga kau tidak marah atas kelancanganku. Aku melakukannya karena kalau tidak melakukannya, aku bisa gila. Bila kau tidak menyukai bunganya, buang saja. Bila kau keberatan dengan sikapku yang norak ini, aku harap kau mengatakannya padaku dengan jujur.
Aku suka kejujuran meski itu menyakitkan. Aku menyukaimu sejak lama. Terserah kau akan menyukaiku atau tidak.
Aku mematung, bingung. Apa aku harus mengatakan bahwa aku sedang tidak berminat dengan lelaki mana pun? Tidak, tidak. Ini terlalu frontal dan sangat menyakitkan.
Aku bimbang untuk membalas SMS-nya atau tidak. Harusnya ini mudah. Nyatanya sulit.
Aku tidak melakukannya. Kubiarkan pesan singkat itu terbengkalai tanpa jawaban. Toh, ini tidak penting.
Aku masih memikirkan isi SMS itu ketika hari mulai beranjak siang. Lelaki itu Andro namanya. Lelaki yang menemuiku di Oriental Cafe kemarin. Dasar tidak tahu malu!
***
Aku kehilangan Dito. Itu sudah pasti. Lelaki itu tiba-tiba muncul dalam wujud yang relatif mirip. Bisa saja aku tidak menggubrisnya. Namun, hati kecilku mengatakan, jangan.
Berhari-hari dia menemuiku dalam beberapa kesempatan. Kadang di kampus, saat berpapasan jalan, lewat telepon, atau di kantin. Aku tidak terganggu atas kedatangannya. Ini sangat mengherankan. Tidak tega rasanya kalau harus mengusirnya.
“Aku mengganggumu, ya?” basa-basi standar yang terus terulang.
“Maafkan aku bila membuatmu tidak nyaman,” sesalnya berkali-kali.
Aku terganggu? Antara iya dan tidak. Dia membuatku tidak nyaman? Justru sebaliknya, keberadaannya lambat laun menjadi sangat kuinginkan.
“Aku baru saja kehilangan seseorang dan seseorang itu sangat berarti bagiku.” Aku harus mengatakannya. Aku melihat reaksinya biasa saja.
“Semua orang pernah kehilangan seseorang yang berarti, itu wajar saja,” sergahnya.
“Bila kau jadi aku, apa yang kau lakukan untuk mengobati rasa kehilangan?”
“Aku akan pergi ke suatu tempat yang tenang, lantas memikirkannya sepanjang waktu. Aku akan mengingat betapa cantiknya dia, betapa seksinya bibirnya, betapa indahnya rambutnya. Setelah puas, aku akan mengatakan kepada diri sendiri: sayangnya kau telah pergi, dan kau tahu, hidup harus terus berjalan meski tidak ada kau di sampingku,” terangnya. Aku terperangah, sebegitu sederhananya penyelesaiannya?
“Kau bercanda. Kau sangat mencintainya, betapa mudahnya kau melupakannya.”
“Yang hilang tidak akan kembali. Untuk apa diingat-ingat terus?”
“Kemungkinan dia akan kembali.”
“Tidak mungkin,” sungutnya. “Kalau mencintai, tidak mungkin akan meninggalkan tanpa pemberitahuan.”
Ada benarnya, pikirku. Dito mungkin tidak benar-benar mencintaiku. Makanya oleh sebab itu, dia dengan begitu mudahnya pergi begitu saja tanpa kabar.
Aku menatapnya. “Wajahnya mirip denganmu,” ujarku.
Dia menoleh ke arahku. “Ada banyak orang sangat mirip satu sama lainnya. Wajah bisa jadi iya, perihal sikap, kemungkinannya hanya beberapa persen saja.”
“Setiap aku melihatmu, dia ada bersamamu.”
“Ini bahaya. Aku, ya aku. Bukan dia.”
Aku beringsut dari tempat dudukku. “Aku sangat ingin melupakan semua bayangan tentang dia. Sayangnya kau malah muncul. Itu terus mengingatkan aku perihal dia.”
“Ya ampun, kau serius, Er?” tanyanya. “Itu artinya aku hanya bayang-bayang dirinya. Betapa tidak beruntungnya diriku, menyukai orang yang tidak menyukaiku.” Dia tersenyum, hambar. Aku tahu penyebabnya.
“Kau kan bukan siapa-siapanya aku. Sekadar teman, ‘kan? Seperti yang kau minta.”
Dia mengerjap, tidak menjawab.
“Bila aku mengatakan bahwa aku mencintaimu, kau akan terima tidak?”
Aku mematung, tidak menduga arah pertanyaannya akan seperti ini. Jujur aku sangat nyaman bicara banyak hal dengannya. Tetapi, tidak serta-merta akan mencintainya secepat ini. Hati kecilku tergerak untuk mengatakan itu. Ini belum saatnya, kupikir. Kehilanganku akan sosok Dito masih berbekas. Tidak ada pikiran untuk segera mencari penggantinya, meski itu sudah menjadi wewenangku yang ditinggalkanya begitu saja. Aku terlampau mencintai Dito. Butuh waktu lama untuk menata hatiku kembali untuk lelaki lain.
“Aku sedang tidak ingin membahasnya, Dro. Maaf. Sebaiknya, mulai saat ini, jauhi aku.” Keputusan yang sangat sulit. Kata-katanya membuatku sedikit tersinggung.
Dia menatapku nanar. “Baiklah. Bila itu mau kau.”
***
Lisa mengatakan bahwa akhir pekan ini, dia akan pergi berlibur ke satu tempat. Dia mengajakku untuk ikut. Mulanya aku antusias atas ajakan itu. Setelahnya, aku begitu khawatir bila aku di sana, tidak menikmati sesi liburan itu.
Aku menolak untuk keesokan harinya. Lisa melotot tidak percaya. Setahu dirinya, aku ini maniak banget kalau soal traveling. Tempat mana sih, di Indonesia ini yang tidak pernah kukunjungi? Labuan Bajo, sudah pernah. Raja Ampat, pernah, sekali-kalinya. Bali, sudah seperti rumah kedua, sering. Tanggerang, Cikupa, Bekasi, apalagi itu. Dekat, man!
Lisa tidak setuju dengan penolakan itu. Dia membujukku dengan berbagai cara. Aku tidak sampai hati sih, sebenarnya. Aku sedang tidak mood pergi ke mana pun. Titik.
“Please!”
“No.”
“Please!”
“No.”
“Ervina?”
“Ya, Lisa.”
“Please! Please! Please!”
“No! No! No!”
“Baiklah. Aku ajak si Andro saja.”
“Hah?!”
Aku mungkin terlalu blak-blakan kepada Andro. Itu telah membuat diriku merasa bersalah. Jujur, setelah kehilangan Dito, Androlah orang yang sangat enak diajak berbincang. Perihal apa pun.
Aku pikir semua ucapannya adalah candaan semata. Setelah menelusurinya, ternyata kalimat itu benar-benar dari dalam hatinya. Lisa saksinya.
“Dia benar-benar menyukaimu, Er.”
“Serius lho, Lis.”
“Ya iyalah. Kemarin dia datang ke rumahku dan berusaha agar aku membantu membujuk untuk meyakinkan dirimu,” terang Lisa.
“Parah lelaki itu.”
“Parah apa, Er? Bukannya itu tandanya dia lelaki jantan? Jarang-jarang loh, yang mengatakan suka dengan begitu blak-blakan.”
“Iya, aku tahu itu. Cuma masalahnya ....”
“Dito? Lagi-lagi perihal lelaki pengecut itu. Mungkin, lelakimu sudah mati.”
“Lisa!”
“Maaf. Aku keceplosan,” ujarnya seraya terbahak.
Dito pergi. Andro datang. Ada apa ini. Apa lelaki yang satu menggantikan lelaki yang lain? Aku sangat mencintai Dito dan aku merasa tidak ingin menghindar dari Andro, walau kemarin aku menyuruhnya pergi menjauh. Sumpah, aku tidak berniat seperti itu. Sama sekali. Aku sangat menyesalinya. Inginnya aku meminta maaf kepada Andro saat itu juga. Tetapi entahlah, rasanya begitu enggan. Perihal harga diri, sepertinya.
Keputusanku sudah final. Aku hanya ingin tinggal di rumah saja. Tidak ada kampus. Tidak ada liburan. Tidak ada Lisa. Tidak ada Dito. Perfect, dan seandainya ada Andro, aku pikir-pikir: why not?
Di luar kalimat tidak menyenangkanku kepada Andro, entah kenapa aku mengharap kedatangan Andro.
“Dro, datang, dong. Jangan marah,” gumamku kepada diri sendiri.
Suara bel rumah berbunyi dua kali. Aku berlari menuju balkon kamarku yang berada di lantai dua untuk memastikan siapa yang ada di depan pintu. “Andro?”
Hah! Aku terperenyak, keinginanku seolah dikabulkan langsung oleh Tuhan. Andro sedang berdiri di depan pintu dengan kemeja kotak-kotak biru, blue jean, dan sneaker cokelat. Setangkai mawar merah dipegang tangan kanannya.
Aku ingin berlari menyambutnya. Tidak, batinku. Ini tidak benar. Bagaimanapun aku belum siap dengan jenis hubungan apa pun dengan lelaki. Jika aku membukakan pintu, Andro akan merasa bahwa dirinya masih punya kesempatan. Jika aku membiarkannya, hati kecilku berontak dan marah: Ervina, bodoh kau! Lelaki setampan dia jangan disia-siakan. Lupakan Dito! Lupakan! Andro jauh lebih baik. Mirip bukan berarti sama persis.
Aku bingung. Apa yang harus kulakukan?
Bel pintu rumah terus berbunyi. Sepertinya Andro tahu bahwa aku sedang berada di rumah.
“Buka, dong, Er. Pegel nih, berdiri di depan pintu.” SMS masuk ke ponselku. Pesan siapa lagi kalau bukan pesannya si Andro.
“Aku sedang di kampus,” balasku.
“Pembohong kecil. Aku tahu kau sedang di dalam.”
Aku tertawa ketika mendengar kata ‘Pembohong Kecil’. Andro yang aku kenal, ya, seperti itu. Kalau ngomong tidak pernah disaring. Asal ucap. Namun, hal itulah yang kadang membuatku suka kepadanya.
“Sok tahu, ah,” balasku lagi.
“Beneran kau tidak di rumah, Er?”
Aku mengangguk. Bodoh! Dia tidak bisa melihatmu, Er. Aku tertawa atas kebodohanku. SMS balasan segera terkirim. “Sumpah.”
“Ya sudah, bunganya ditaruh di depan pintu saja. Jangan lupa diambil, ya. Takut dimakan kucing.”
Berengsek! Makiku seraya menahan senyum. “Okeh!” balasku.
Ini satu dari sekian hal yang kusuka dari sosok Andro. Dia kerap membuatku bisa tersenyum.
Andro segera beranjak pergi dari rumahku. Aku mengintipnya dari balik tirai di lantai dua. Sebenarnya aku kasihan. Tetapi, ya, mau bagaimana lagi.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices