Hopeless Cries

Reads
223
Votes
0
Parts
23
Vote
by Titikoma

16. Kejahatan Andro

"KAU jahat, Dro."
Hari itu Andro datang ke rumahku. Matanya yang sipit memancarkan kecemasan berlebih terhadapku. Inginnya aku menghindar darinya. Perasaan bersalah terhadap Andari kian membekapku.
"Aku pikir itu yang terbaik, Er. Bersandiwara dengan berpura-pura mencintainya adalah kesalahan besar. Aku bukan tipe lelaki seperti itu. Kejujuran itu pahit, Er ... dan Andari sudah melakukan pemakluman terhadap itu."
Hening sesaat. Aku tak berminat untuk melanjutkan pembicaraan. Yang aku pikirkan saat ini adalah betapa hancurnya hati Andari.
"Kalau kau berpikir Andari tengah terluka, itu salah besar," ucap Andro menohok ulu hatiku. Aku bingung, kenapa Andro tahu dengan apa yang sedang kupikirkan. "Andari sudah berjanji kepadaku bahwa dia akan berusaha untuk membuatku jatuh cinta. Jika gagal, dia akan mengakuinya dan segera menyingkir," lanjut Andro. "Andari menetapi janjinya."
"Bohong kau, Dro!"
"Tidak sama sekali. Untuk apa aku bohong?"
Ada benarnya. Andro tidak terlalu pintar dalam berbohong. Apalagi menyangkut cintanya.
"Jadi, jangan terlalu bersalah terhadap apa yang terjadi dengan Andari. Semuanya akan baik-baik saja."
"Aku tidak yakin."
"Terserah kau saja, Er."
"Kalau terserah aku saja. Biarkan aku sendiri untuk saat ini."
"Baiklah. Dengan senang hati," pungkas Andro.
***
Aku memikirkan banyak hal sepulangnya Andro dari rumahku. Keputusanku untuk tidak memikirkan lagi Dito harus kulakukan. Perihal Andro yang masih menginginkanku, aku coba pikirkan juga. Andari? Apa yang harus kulakukan terhadapnya padahal dia sudah memaafkan aku jauh sebelum aku memintanya?
Kepalaku pusing. Pikiranku terlalu bertumpuk. Aku butuh tidur dan ketenangan. Sementara.
***
"Kami tiga bersaudara," ucap Andro mengawali ceritanya. Beberapa hari ini aku mencoba mendesaknya untuk bercerita perihal perkataannya yang mengatakan bahwa dirinya sangat mengenal Dito, lelaki yang kemarin-kemarin aku tunggu, dan begitu mencengangkan ketika harus mengetahui bahwa Dito, kakak dari Andro. Pantas saja mereka sangat mirip satu sama lainnya.
"Keadaan ekonomi keluargaku yang morat-marit membuat kami harus mengambil keputusan. Sebenarnya, kami hidup serba ada. Masa kecil yang berbahagia kami lewati dengan penuh suka cita, hingga kami masuk SMA. Hal buruk terjadi ketika perusahaan Papa mengalami kebangkrutan dan tak tertolong lagi. Papa depresi. Berhari-hari beliau mengurung diri di dalam kamarnya, hingga suatu ketika ... beliau ditemukan meninggal dunia di dalam kamarnya. Keputusan harus diambil.
Biaya hidup yang terus melonjak membuat Mama harus bertindak. Dia sudah tidak sanggup lagi membiayai kami bertiga. Kami harus terpisah satu sama lainnya. Aku ikut Om, Rendra ikut Omku yang lain, dan Dito, tetap bersama Mama," terang Andro. Aku terperanjak sebab baru kali ini sadar bahwa kemiripan Dito dan Andro itu ada sebabnya. Mereka ternyata kakak-beradik.
"Kehidupan serba menyenangkan membuat Dito tidak siap dengan keadaan ini. Dia mulai sering bertingkah dan marah-marah. Dito berubah perangainya. Kalau harus jujur, semenjak kepergian Papa, kelakuan Dito kian tidak terkendali. Dia mengencani banyak perempuan sekadar untuk mengurasi hartanya semata. Dia piawai dalam merayu, hingga perempuan-perempuan terjebak di dalamnya. Dito lelaki romantis. Itu aku akui. Kelebihan itulah yang dibuatnya jadi senjata. Beberapa kali aku menasihatinya agar menghentikan kebiasaan buruknya.
Dia sama sekali tidak peduli. Aku hilang akal, dan mencoba untuk tidak peduli lagi. Hingga, aku melihatmu berhubungan dengannya. Entah pikiran apa yang terlintas kala itu, intinya aku harus menyelamatkanmu dari jeratan Dito. Jujur, kali pertama aku melihatmu, desiran aneh muncul dalam diriku. Apakah aku mencintaimu kala itu? Aku tidak bisa menjelaskannya."
"Aku berusaha masuk ke dalam kehidupanmu dengan berbagai cara dengan maksud untuk memperingatkanmu agar segera menjauh darinya. Aku kalah. Karena kau terlalu mencintainya, dan kau tahu, kenapa Dito tidak datang menemuimu ketika permasalahan sedang menderanya?"
Aku menggeleng, karena memang tidak tahu akan jawabannya.
"Karena dia sudah kena batunya. Dia ... maaf, Er, dikejar oleh orang tua dari perempuan yang telah dihamilinya."
"Apa?! Kau serius, Dro?"
"Apa aku terlihat sebagai seorang pembohong?"
Aku tidak menjawabnya. Benar-benar aku telah ditipu mentah-mentah oleh Dito.
"Dan kau tahu, kali kedua dia juga tidak datang menemuimu?"
Aku menggeleng lagi. Air mata sekali ini mulai meruah. Rasa sakit dikhianati membuat hatiku perih.
"Dia harus segera menikah sebelum perut perempuannya membukit, di Bali. Aku tahu semuanya karena aku harus ikut terlibat di dalam pusara ini, dan kau sama sekali tidak harus tahu sampai saatnya tiba. Itu yang aku maksud selama ini, Ervina."
Napasku tercekat. Aku menangis tersedu. Betapa selama ini dirinya hanyalah sebuah mainan bagi Dito. Lelaki itu terlalu sempurna di hadapanku hingga aku terbuai karenanya. Aku pikir, apa yang dilakukan dan diperbuatnya untukku adalah bukan sebuah kepalsuan, nyatanya aku tertipu, aku salah. Dito seorang aktor watak yang sempurna. Berengsek!
Andro mendekapku erat. "Aku menyukaimu semenjak kali pertama bertemu, bahkan jauh sebelum pertemuan itu. Kau tidak menyadarinya bahkan. Ketika Dito berkunjung ke rumah Om Ratno, aku di sana. Menatapmu dari ruang kamar sementara kau tidak mengetahuinya. Aku pikir begitu beruntungnya bisa mendapatkan perempuan secantik kau. Kalau saja aku tidak tahu kelicikan apa yang akan dilakukan Dito terhadapmu, mungkin aku akan bersikap masa bodoh . Aku menyukaimu dan itu fakta tak terbantahkan hingga aku harus memperjuangkannya. Maafkan aku. Aku tidak sedang memanfaatkan situasi. Aku hanya ingin kau mencintaiku, bukan Dito. Itu saja."
“Kau Parliandro Widjaya, ‘kan. Dito ....”
“Bramantio Anindito Widjaya,” potong Andro. Aku baru tahu, di belakang dua nama depannya, nama Widjaya baru aku ketahui sekarang. Kalau saja sejak lama, mungkin, aku tahu kemiripan nama mereka saling berhubungan.
***
Cuaca Bali terlalu panas untuk seseorang yang sedang dibekap gelisah. Angin yang bergerak perlahan, tidak berarti apa-apa untuk Dito, kecuali embusan yang menjengkelkan. Sedari tadi ia tidak beranjak dari hadapan cermin. Kamar hotel yang jendelanya terbuka semenjak tadi, mengalirkan angin dingin itu hingga ke tengkuknya. Dito sudah dari tiga hari yang lalu berada di Bali. Rencananya, kalau semuanya berjalan lancar, hari ini resepsi pernikahannya dengan Rindra akan dilaksanakan, sementara akad nikahnya sudah semenjak sebulan lalu dilakukan.
Tidak ada pihak keluarga Dito yang datang, anehnya, bagi Dito itu jauh lebih baik. Dia tidak mengharapkan mamanya, atau Omnya, atau Rendra, atau Andro, atau siapa pun itu datang ke acaranya. Toh, bagi Dito, resepsi ini hanya sebuah formalitas semata—Rindra, istrinya sama sekali tidak memperhitungkan semua ini.
“Beberapa menit lagi aku turun.” Dito membalas pesan yang masuk dalam kotak pesan ponselnya. Dari Rindra. Siapa lagi kalau bukan dari perempuan yang secara tidak langsung telah mengikat Dito.
“Tidak perlulah kau cemas. Aku tidak akan kabur darimu, oke!” ketiknya lagi.
Dito masih mematung di depan cermin ketika ketukan muncul dari arah pintu. Dengan enggan dia membuka pintu. Seorang perempuan dengan kebaya brokat modern sewarna gading, dengan bawahan kain songket, berdiri dengan wajah terlihat tidak dalam kondisi menyenangkan.
“Kamu ngapain saja di dalam? Lama sekali,” berondongnya di depan pintu. Rona wajahnya kian semrawut.
“Tentu saja aku mempersiapkan diri. Aku gugup,” ujar Dito seraya bergegas masuk.
“Nggak usah bohong, Dit. Lelaki kayak kamu itu tak mungkin gugup.”
“Ini yang pertama, Dra.”
Rindra mendengkus sebal. Dia menarik tangan suaminya itu. “Apa aku harus percaya, Dit?”
“Terserah! Jangan mulai lagi, Dra. Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu.”
“Siapa pula yang ingin berdebat denganmu.” Rindra menarik tangan Dito lagi. “Ayo! Semua orang sudah menunggu.”
“Lima menit lagi, Dra.”
“Dit!”
“Oke. Oke.”
***
Dalam balutan kemeja sewarna abu-abu, Dito berjalan hilir-mudik di antara kerumunan tamu-tamu yang berlalu-lalang. Sebagian besar sama sekali tidak dikenal olehnya, sementara Rindra, sama sibuknya dengan Dito. Dia sedang mengobrol dengan beberapa teman perempuannya, yang kemungkinan besarnya adalah sahabatnya.
Dito tidak peduli dengan pestanya. Baginya ini tidak terlalu penting. Yang terpenting adalah setelah acara ini rampung, ia harus kembali ke Jakarta dan menjalani kehidupan seperti biasanya. Perihal Rindra, masa bodoh .
“Aku hamil dan kau harus bertanggung jawab.”
“Kenapa harus aku yang bertanggung jawab? Sedangkan aku tidak yakin bahwa itu adalah anakku.”
“Aku tidak pernah melakukannya dengan orang lain, Dit.”
“Maaf. Aku sama sekali tidak percaya.”
“Berengsek, kau, Dit!”
“Sudah tahu berengsek, kau mau juga.”
Rindra menampar Dito dalam kemarahan besar. Lelaki itu sama sekali geming. Dia malah tersenyum mencibir.
“Aku tidak yakin mau tetap bersamamu setelah apa yang kau lakukan sekali ini, Dra.”
“Aku akan memaksamu hingga kau mau melakukannya.”
“Sesuatu hal yang dipaksakan hasilnya akan buruk. Sangat buruk.”
Rindra tidak menjawabnya. Sekali ini ia menangis histeris. Percuma ngomong sama Dito. Ia begitu menjengkelkan, pikir Rindra.
Dito tergeragap. Lamunannya buyar ketika seorang lelaki menabraknya. Gelas anggur yang tengah dipegang lelaki itu tumpah mengotori kemeja Dito. Dito tidak marah setelah lelaki itu berkali-kali meminta maaf kepadanya. Dito segera bergegas keluar setelah membersihkan tumpahan anggur itu dengan saputangannya, lantas melangkah gegas dari dalam gedung yang masih ramai oleh para tamu undangan yang masih berdatangan.
Dito mengasingkan diri di antara deretan mobil-mobil yang terparkir sepanjang sisi jalan menuju gedung resepsi.
“Aku butuh tiket ke Jakarta segera!” ucapnya setengah berteriak. Orang-orang yang kebetulan melintas menatap Dito setengah penasaran. Dito menyadari kekonyolannya dan segera memelankan suaranya. Seseorang di seberang telepon terdengar memaki-maki Dito.
“Kau ini gimana, sih. Pesta kau belum usai. Ngapain kau ke Jakarta?”
“Bosan! Aku bosan di sini, Bro!”
“Aku tidak bisa membantumu, Dit. Lakukan sendiri!”
“Kalau aku bisa. Aku tak akan meminta pertolongan kau. Aku ....”
“Aku apa?” potong seseorang yang tiba-tiba muncul di hadapan Dito. Seseorang itu, Rindra, sang mempelai perempuan.
“Tidak apa-apa.” Dito menutup telepon dengan tergesa.
“Kembali ke gedung!”
“Tidak mau.”
“Dit! Kumohon.” Sekali ini Rindra tampak mengiba. Dito yakin bahwa itu adalah cara Rindra membujuk agar dirinya luluh. Tidak ada pilihan lain untuk saat ini.
“Oke! Kau duluan. Aku menyusul.”
“Aku tidak yakin kau akan melakukannya.”
“Bahkan, kau tidak percaya aku, Dra.”
“Karena kau sudah banyak menyia-nyiakan kepercayaanku, Anindito.”
Dito termenung. Benar akan apa yang dikatakan olehnya. Dia telah banyak menyia-nyiakan kepercayaan. Bukan hanya kepada Rindra, bahkan kepada mamanya, juga Ervina. Untuk yang terakhir, dirinya berjanji untuk segera menemuinya setelah kekacauan yang sudah dibuat olehnya belakangan ini. Tentu saja, setelah urusan dengan Rindra selesai.
“Aku janji, Dra. Sekali ini. Pergilah. Aku menyusul,” ucap Dito dengan yakin. Sekali ini dia tidak ingin mengecewakan Rindra, yang mau tidak mau sudah berstatus sebagai istrinya yang sah.
Rindra tidak menjawab. Ia melangkah dengan gontai, sementara tangan kanannya sedang berupaya menyeka air matanya yang tumbuh di sudut kedua matanya. Malam terus merangkak, tamu-tamu masih terus berdatangan. Dito, setelah perdebatan singkat dengan Rindra baru saja itu, mencoba mengabulkan apa yang diinginkan oleh istrinya itu, setidaknya untuk saat ini.
Dito bergegas ke dalam gedung. Mencari Rindra.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices