Hopeless Cries

Reads
225
Votes
0
Parts
23
Vote
by Titikoma

18. Melepas Ikatan

SEPERTI yang telah direncanakan sebelumnya, Dito memutuskan bahwa hari ini ia akan melepas Rindra, mau atau tidak mau orang yang bersangkutan harus menerimanya.
“Perjanjiannya sudah jelas, bukan?”
Sarapan masih terhidang di meja makan. Roti isi, telur goreng setengah matang, french fries, juga dua gelas susu cokelat panas. Rindra masih asyik dengan kunyahan rotinya, sementara Dito membuka kalimatnya dalam balutan piyama warna krem.
“Aku tidak paham.” Rindra menghentikan kunyahannya, “Akan apa yang kau maksud.”
“Jangan pura-pura bodoh,” ketus Dito.
Rindra tidak menjawab, ia berjengit lantas gegas menghabiskan sisa sarapannya. “Aku pikir ini tidak adil.”
“Bagi siapa? Aku atau kau?”
“Kedua-duanya.”
“Salah. Itu sangat adil bagiku, bagimu juga.”
“Tidak. Sama sekali.” Rindra berdiri.
“Aku tidak suka dengan perempuan yang mengingkari perjanjian.”
“Aku juga tidak suka dengan lelaki yang tidak mau bertanggung jawab.”
“Aku sudah bertanggung jawab, Dra.”
“Itu saja tidak cukup. Tanggung jawabmu bukan sekadar menikahiku lantas melepaskan setelahnya.”
“Bukankah kau sudah sepakat?”
“Itu terpaksa. Semoga kau menyadarinya, Dit.”
Dito terdiam, Rindra melangkah pergi menuju kamar. Dia menyadari kesalahannya, tetapi tidak ada yang bisa diperbuatnya. Keputusan itu lebih baik. Melepas Rindra sesuai kesepakatan. Rindra hanya butuh status dan ia mau memberikannya. Itu cukup adil bagi dirinya, pikir Dito.
***
Ketika aku membuka mata, Andro sudah ada di samping tempat tidurku. Kapan dirinya masuk? Aku tidak menyadari sejak kapan lelaki itu ada di sana. Aku menguap beberapa kali. Semalaman tadi, setelah mendatangi kamar hotel Dito, aku tidak bisa untuk tidak memikirkan apa yang telah terjadi. Harusnya aku memaki-maki Dito di hadapan istrinya itu. Namun, kenapa aku tidak melakukannya, malahan sebaliknya hanya bisa pergi tanpa sepatah pun kata keluar dari mulutku.
Apakah rasa cinta aku kepada Dito masih ada? Sehingga tidak bisa tega untuk melukainya?
Andro tersenyum nakal. Aku pura-pura tidak melihat.
Ketika Andro memutuskan untuk menginap di satu kamar hotel yang sama, aku menolak. Bukan karena takut diapa-apakan Andro—aku percaya dia tidak akan melakukannya, hanya saja aku butuh kesendirian. Itu saja.
Kamar kami bersebelahan. Aku yang mengusulkannya demikian.
“Tidurmu gelisah sekali,” ujar Andro. Dia menggeser posisi duduknya lebih mendekati arah wajahku. Aku ikut bergeser. Andro tersenyum. “Kau takut kalau aku menerkammu, hah?”
Aku terbahak. Bukan itu sebabku menjauhinya. Aku bangun tidur. Belum mandi, dan aku pastikan mulutku bau naga, jadi aku belum percaya diri untuk mengobrol dengan Andro terlalu dekat sekarang.
“Aku tidak melakukannya, Dro,” ujarku. Semalam aku tidak mengatakan apa-apa kepada Andro sepulangnya dari kamar hotel Dito, kecuali langsung masuk kamar.
“Aku sudah mengira. Kau tidak akan berani melakukannya,” timpalnya. Aku tidak yakin kalau Andro sedang mencibirku. Ekspresinya datar saja.
“Seperti itulah. Aku tidak tega.”
“Tapi dia tega ngelakuinya padamu. Harusnya kau lebih mengesampingkan perasaan itu.”
“Aku belum bisa, Dro.”
Andro mendesah. Dia bangkit, melangkah mendekati jendela, membuka tirainya, sinar matahari pagi langsung menerobos masuk.
“Dito harusnya beruntung mendapatkan perempuan seperti kau, Ervina. Harusnya tidak disia-siakan,” gumam Andro hampir tidak bisa kudengar.
Aku tidak menimpalinya kecuali bangun dari tempat tidur. “Aku mandi dulu.”
“Aku ingin menemui Dito nanti siang. Kau mau ikut terserah. Tidak pun, aku tidak akan memaksa. Ada yang harus aku bicarakan. Perihal aku tentu saja.”
Aku melongokkan wajahku dari ambang pintu kamar mandi. “Aku tidak ikut. Jangan pernah katakan bahwa aku di Bali ini bersama denganmu. Pura-pura saja tidak tahu perihal aku. Bukankah Dito tidak tahu kalau kau mengenal aku, Dro?”
“Ya, tentu saja. Aku hanya ingin membicarakan sesuatu dengan Dito. Namun, masih off the record untukmu. Hehe.”
Kucuran air shower membuat pikiranku untuk sementara tidak terlalu panas. Beberapa lama aku tenggelam dengan pikiran yang sama seperti semalam, kenapa aku tidak tega untuk melakukannya? Padahal itu satu-satunya kesempatan untuk membalas rasa sakit hatiku.
Aku tidak bisa. Jujur, aku tidak bisa membuatnya terluka.
***
“Aku akan menceraikannya hari ini juga,” ucap Dito ketika Andro datang menemuinya. Dito terkejut karena Andro tidak memberinya kabar terlebih dahulu, alih-alih senang.
“Bukan urusanku. Jadi, aku tidak ingin ikut campur. Ada hal penting yang ingin kubicarakan, tapi bukan tentang rumah tanggamu.” Andro tidak ingin membahas perihal kehidupan Dito sekarang.
“Seberapa pentingkah?”
“Sangat penting. Namun, bagimu mungkin tidak begitu penting.”
“Tentang apa?”
“Aku ingin meminta izin darimu, walau seharusnya itu tidak perlu. Aku mencintai seorang perempuan yang di kehidupanmu yang lalu menjadi bagianmu. Aku ingin jika aku melakukannya kau tidak marah.”
Dito mengerutkan dahi. “Yang kau maksud itu satu dari beberapa mantanku bukan?”
“Cerdas. Salah satunya. Kau mungkin sudah tidak membutuhkannya lagi.”
“Maksud kau itu siapa, sih?”
“Aku tidak harus menyebutkan namanya untuk saat ini. Suatu saat aku akan memperkenalkannya padamu.”
Dito tertawa. Ini lucu. Ada banyak mantannya dan dia tidak berpikir bahwa yang dimaksud oleh Andro adalah perempuan yang kini menjadi alasan kenapa Dito ingin melepaskan diri dari Rindra. Dia tidak menyadari fakta itu.
“Terserah,” jawabnya pada akhirnya.
“Terima kasih, Bro,” ujar Andro. “Semoga kau menepati janji untuk tidak marah.’
“Aku janji. Siapa pun itu.”
“Siapa pun itu. Baiklah. Deal. Aku pamit. Selamat bersenang-senang,” pungkas Andro.
“Taik!” maki Dito. Dia tahu kalau adiknya itu sedang berusaha mengolok-oloknya.
Jauh dari kamar hotel tempat Andro dan Dito berbincang, dua perempuan sedang menangis. Yang satu di sebuah tempat di pinggir pantai, Rindra. Satunya di kamar hotel lain, aku, Ervina. Dua perempuan yang menangis untuk dua alasan yang berbeda.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices