Hopeless Cries

Reads
225
Votes
0
Parts
23
Vote
by Titikoma

19. Belajar Melupakan

LELAKI itu bernama Bramantio Anindito Widjaya atau Dito. Lelaki yang semalaman tadi muncul dalam mimpiku. Tidak, aku tidak memikirkannya sebelum tidur. Mimpi itu datang begitu saja tanpa kuinginkan.
Aku sudah memutuskan bahwa dirinya akan menjadi bagian dari masa lalu. Bukan karena Andro. Bukan pula karena rasa sakit hati yang dibuatnya padaku tak termaafkan.
walau pada kenyataannya pernah jadi bagian terbaik dalam kehidupanku di masa yang telah lalu. Dia telah menghancurkannya sendiri.
Ponsel berdering beberapa kali. Itu pukul delapan pagi. Tidak mungkin dari Andro. Aku yakini itu, sebab Andro sudah minta izin pagi ini untuk pergi ke Ubud untuk sebuah urusan, dan aku yakin dia masih dalam perjalanan. Andro bukan lelaki yang terlalu sering memegang ponsel untuk sekadar memastikan aku baik-baik saja. Itu jarang dilakukan, tetapi aku percaya, perhatiannya kepadaku tidak harus melalui ponsel.
Ponsel itu berdering kembali. Pagi yang harusnya tenang, setelah kekacauan pikiran tadi malam, harus berakhir. Aku bergegas dari bingkai jendela kamar untuk segera menemukan ponsel yang kuletakkan entah di mana. Di atas meja tidak ada. Di dekat televisi—bahkan, aku tidak pernah meletakkannya di sana, pun tak ada. Di mana?
Ponsel itu bersembunyi di sudut sofa. Kemungkinan besar menggelosor dari sakuku tadi malam. Aku mengambilnya. Perasaan marah tiba-tiba meletup. Ingin aku membanting ponsel itu, kalau saja tidak berpikir bahwa budget belanja bulan ini sudah habis, dan tentu saja aku tidak harus boros untuk membeli ponsel baru hanya gara-gara panggilan dari seseorang yang tidak kuinginkan sama sekali.
Dari Dito. Aku masih menyimpan nomornya.
“Katakan di mana kau sekarang?” serang lelaki di seberang telepon tanpa aba-aba.
Ingin aku menutup teleponnya segera. Ini tidak sopan. Sangat memuakkan.
Aku tidak menjawabnya kecuali mematung dengan wajah menahan rasa marah. Bibirku mengerucut, hampir aku memakinya dengan kata-kata kasar yang sudah lama jarang kukatakan.
“Katakan, Er. Kumohon.” Sekali ini kalimat Dito melunak. Aku mulai memikirkan untuk menerimanya. Entah apa yang akan kukatakan, memarahinya atau bicara dengan baik-baik.
“Untuk apa kau mencariku?” Aku menyerah. Pada akhirnya kemarahan yang hampir meletup itu mengurai untuk sementara.
“Aku ingin bertemu dan bicara denganmu, Baby Er, My Little Princess.”
Duaaar!
Ledakan itu terjadi dalam diriku. Dito menyebutkan nama-nama itu. Nama yang begitu intim dan menyenangkan kudengar di waktu yang lalu. Aku merindukan panggilan sayang itu. Kalau harus jujur. Sayangnya, itu hanya menjadi sembilu yang menikamku tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
“Jangan sebutkan nama-nama itu. Bahkan, tidak untuk selamanya,” kataku. Aku masih ingin mendengarnya. Namun, sekuat mungkin kutekan.
“Er. Aku masih mencintaimu.”
“Tutup mulutmu, Bajingan. Setelah apa yang kau lakukan, kau tidak layak untuk mencintaiku lagi!” teriakku histeris. Aku ingin berlari saat ini ke mana pun, lantas loncat di satu tempat yang tinggi, menikmati setiap pergerakan tubuhku dibelai angin hingga jatuh, dan melupakan lelaki itu selamanya ketika tubuhku membentur tanah. Semuanya selesai.
“Ervina, katakan. Beri aku kesempatan sekali lagi. Sekali ... lagi,” tekannya. Dia mengiba. Suaranya melemah. Ada penyesalan di sana. Aku ingin mengabaikannya, tapi tetap saja aku bisa merasakan rasa penyesalan itu. Aku bimbang.
“Kau masih di sana, ‘kan? Aku ingin menemui dan mengakui segala ketololanku. Setelahnya, maki aku hingga kau puas, atau membunuhku jika perlu. Izinkan. Jika kau ingin meninggalkanku, silakan, tetapi aku ingin mengatakan satu hal: aku masih mencintaimu.”
“Terlambat,” sambarku. “Aku sudah membuang semua rasa cintaku untukmu, jadi berikan saja rasa cintamu itu kepada perempuanmu.”
Aku menutup telepon. Menangis. Luka itu kembali menganga. Setelah hubungan yang terlampau manis dijalani, pada akhirnya harus berakhir pahit. Aku tidak menyalahkan perempuan itu. Sama sekali. Perempuan itu adalah bagian terburuk dari tingkah laku Dito setelah aku mengetahuinya.
Telepon terus berdering. Aku mengambilnya untuk lantas mencabut baterainya. Selesai. Dia tidak akan bisa menghubungiku lagi. Bagaimana bila Andro menghubungiku? Sial. Aku memasang baterai itu kembali. Menunggu. Semoga teror telepon dari Dito berakhir.
Nyatanya tidak. Telepon itu berdering kembali. Terus-menerus. Aku pastikan bahwa itu masih dari si berengsek Dito. Aku me-reject-nya berkali-kali. Dia bersikeras. Aku menyerah.
“Ada apa lagi?” Pada kesempatan berikutnya aku mengangkat dengan gemas.
“Hai! Apa yang terjadi, Ervina?” Nyatanya itu bukan suara Dito, melainkan Andro.
“Something gonna be happened,” jawabku. “Kakakmu menghubungiku terus dan memaksaku untuk memberitahukannya keberadaanku.”
“Kenapa tak kau lakukan?” tanya Andro yang menurutku sangat aneh.
“Gila kau, Dro. Aku tidak mau. Aku sudah selesai dengannya, kenapa harus repot?”
“Begini,” ujar Andro serius. “Aku ingin kau menemuinya, katakan bahwa kau sudah tidak bersedia menjadi pacarnya lagi. Kau berpura-pura tegar, bahwa tanpa dia semua akan baik-baik saja. Juga katakan bahwa kau akan menikah dengan segera.”
“Dengan kau, Dro?”
“Jangan dulu katakan itu. Pokoknya seseorang.”
“Aku tidak bisa.’
“Ervina. Semakin kau menolak, semakin Dito berusaha terus mencarinya. Aku tahu Dito. Jadi, lakukan apa yang kukatakan barusan.”
“Tapi ....”
“Kau takut, Er?” potong Andro.
“Tidak. Sama sekali. Bukan itu. Hanya saja ....” aku ragu. Apakah aku bisa mengatakan semuanya tanpa menangis? Jika aku menangis di hadapan Dito, lelaki itu akan yakin bahwa aku masih berat untuk melepasnya. Aku tidak ingin hal itu terjadi. Kalau harus jujur, rasa itu masih ada, walau hanya setitik.
“Hanya saja apa?”
“Aku ....”
“Masih mencintainya,” dengus Andro di seberang. Aku merasa bersalah.
“Tidak, Dro. Jangan pernah berpikir seperti itu,” belaku kepada diri sendiri.
“Syukurlah.”
“Baiklah. Demi aku, demi kau, aku akan melakukannya. Doakan aku agar aku tidak menamparnya.” Andro terkikik. Aku pikir ini tidak lucu. Kenapa Andro harus tertawa.
“Padahal aku berdoa kau akan membunuhnya.”
“Dro?!”
“Baiklah, Ervina. Sampai nanti. Sebentar lagi aku tiba di Ubud. See ya.”
Aku menggelosorkan tubuh. Apakah aku benar-benar harus menemuinya? Seperti yang disarankan Andro.
***
“Perempuan itu sebuah kesalahan.”
Aku memutuskan untuk menemui Dito. Tidak di kamar hotelku. Dito tidak perlu mengetahui keberadaanku. Aku memilih untuk menemuinya di sebuah kafe di bilangan Jimbaran. Kafe asri dengan suasana pedesaan yang hijau. Kalau saja aku tidak sedang dalam urusan seperti ini, aku akan menikmati suasana kafe ini dengan kesenangan luar biasa. Begitu tenang, begitu damai, begitu menyejukkan. Cucuran air yang jatuh dari air terjun buatan memanjakan pendengaranku yang tengah kacau. Aku tidak menikmati semua itu kecuali kegondokan yang kupupuk semenjak keberangkatanku dari kamar hotel.
“Kenapa kau mengatakan demikian? Kau terlalu bajingan untuk mengatakan itu.” Aku menyeruput ice lemon tea yang kupesan dengan perasaan berbeda, gusar sekaligus gugup.
“Aku mengatakannya dengan begitu jujur. Aku tidak mencintainya sama sekali.”
“Dan menikahinya. Apa aku harus percaya?”
“Pernikahan itu hanya sandiwara, Er. Aku tidak yakin untuk melakukannya kalau saja keadaannya tidak sangat mendesak,” terang Dito. Aku tidak seratus persen menyimak kata demi katanya. Kata ‘pernikahan’ itu membuat hatiku teriris.
“Mendesak? Untuk itukah kau meninggalkanku tanpa memberikanku kabar apa pun, hah?!”
“Maafkan aku. Itu aku lakukan dengan sangat terpaksa.”
“Keren, dan kau melakukannya dua kali, karena aku terlalu percaya. Betapa dungunya aku. Bahkan, keledai jauh lebih baik dibanding kau. Dua kali, Dit. Dua, kali kau berjanji, dan aku memercayainya.” Danau hatiku hampir bedah. Sekuat tenaga kucoba menahannya. Aku tidak harus menangis di hadapan seorang bajingan. Aku harus menekannya. Harus.
“Maafkan aku sekali lagi. Aku menyadari kesalahanku. Aku ingin kembali padamu, Er.”
“Sudah sangat terlambat,” kataku dengan ketegasan yang dibuat sekuat mungkin. “Bahkan aku akan menikah. Tentu saja dengan lelaki yang kini aku cintai.” Aku melakukan seperti apa yang Andro kehendaki. Berhasil. Dito tampak sedikit terpukul. Dia menatapku untuk memastikan kebenaran pengakuanku.
“Kau sedang berbohong. Aku tahu itu.” Dito memancingku. Percuma. Itu tidak akan berhasil.
“Terserah,” jawabku yakin.
“Kau tidak benar-benar ingin menikah. Hanya mencoba menghindar dariku. Aku pastikan itu.”
Aku tersenyum mencibir. “Apapun yang kau pikirkan, aku sudah tidak akan terpengaruh.”
“Aku sudah menceraikannya,” manuvernya membuatku sedikit tercenung. Apa itu benar?
“Aku tidak peduli.” Ketegangan sempat membekap diriku. Kenapa aku ini? Harusnya aku mengabaikan apa pun yang dia katakan.
“Demi kau.” Pada akhirnya ia mengatakan kebenaran walau sudah sangat terlambat.
Aku berdiri tergesa. Obrolan harus segera diakhiri. Dengan keputusan bahwa aku tidak akan menerimanya kembali, untuk alasan apa pun. Titik.
“Ervina.”
Dito berusaha menahanku. Dia memegang pergelangan tanganku. Aku menatap matanya, kuncup bening itu malu-malu untuk tumbuh. Aku menyadari bahwa perkataannya bukan kebohongan. Namun, aku terlanjur terluka. Jadi, untuk apa aku memberikan rasa iba kepadanya. Bukankah itu hasil yang setimpal dari perbuatannya?
“Maaf. Ini kali terakhir aku bertemu dengan kau. Aku bukan lagi bagian dari hidupmu. Jadi kumohon untuk tidak menggangguku lagi. Selamat siang.”
Perasaan bersalah itu hinggap. Aku tidak yakin bisa mengikisnya dengan segera. Aku terluka? Iya. Namun, kalau harus jujur, aku tidak ingin melihat dirinya terluka. Harusnya aku senang dengan keadaan ini. Nilai kita seri. Namun, hati perempuan terkadang rapuh, dan mudah terenyuh.
Sepanjang perjalanan pulang aku memikirkan semua yang terjadi barusan. Aku sudah melukai perasaannya. Tidak ada yang bisa kulakukan lagi. Aku harus tegar, seperti kata Andro. Harus.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices