by Titikoma
23. Biarkan Aku Sendiri
PEMAKAMAN ini mulai sepi. Perkabungan ini hanya menyisakan aku yang tertahan di antara gundukan tanah makam yang jumlahnya sangat banyak. Aku memandangi gundukan tanah merah yang tidak menyisakan sedikit pun warna tanah kecuali kelopak bunga-bunga aneka warna. Aku menyentuh nisannya dengan perasaan teriris.
Kejadian itu terlalu mendadak hingga aku masih belum bisa menerimanya.
Aku terus menangis. Bahkan, kejadian itu seolah tidak mau pergi dari pikiranku. Aku masih melihat darah, Andro yang terkapar, peluru yang berdesing, bunyi letusan, dan senyum terakhir Andro. Takdir tidak bisa ditebak. Aku tahu itu. Tetapi kenapa harus Andro?
Seseorang sedang berdiri di sampingku ketika aku masih terhanyut dalam perasaan berduka. Itu bukan Papa atau Mama atau siapa pun yang kukenal. Aku masih terlalu asing untuk mengenali orang sementara mataku mengembun terus menerus. Dia jongkok di sampingku, aroma parfumnya tiba-tiba menarik ingatanku ke beberapa tahun belakang. Aku mengenal aromanya. Siapa?
“Aku turut berduka atas ini semua,” ucap lelaki itu. Suaranya sangat familier. Nama itu melintas. Dito. Aku meyakini itu. Aku meliriknya. Benar, itu Dito. Setelah beberapa tahun tidak melihatnya, kini dia tampak berbeda, tapi masih sama tampannya seperti dulu, dan ... masih sangat mirip dengan adiknya, Andro.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku. Dia terkekeh seolah pertanyaanku sangat lucu.
“Andro adikku. Apakah aku salah bila hadir dalam acara pemakamannya?”
Aku yang salah. Pertanyaan itu terlalu konyol untuk kulontarkan. Aku menggeleng. “Tidak sama sekali.”
“Jika kehadiranku membuatmu terganggu, aku mohon diri untuk sementara. Aku akan membiarkan dirimu memiliki lebih banyak waktu untuk mengenangnya.” Dito melangkah menjauhiku. Tidak benar-benar menjauh. Dia berdiri beberapa meter dari tempatku berada. Aku berusaha untuk tidak memedulikannya kecuali membiarkan pikiranku terbang mengingat kebersamaanku dengan Andro selama ini.
Aku menangis. Lagi dan lagi. Hingga aku merasa kepalaku hendak pecah. Pusing. Aku memutuskan untuk menyudahi semuanya. Bergegas dari hadapan makam Andro. Aku ingin dia tenang di alam sana. Aku berhenti untuk menangis dan tersenyum getir.
“Aku akan sangat merindukanmu, Dro. Maaf atas segala kesalahan yang pernah kubuat, dan ingat, aku sudah memaafkan apa pun kesalahan yang pernah kau buat kepadaku,” gumamku sebelum pergi.
***
“Andro tidak mempecundangiku, tetapi sebaliknya aku yang mengikhlaskan diri untuk mengalah dan melepasmu. Andro benar, aku tidak pantas untuk perempuan sebaik kau. Ketika ada seseorang yang jauh lebih mencintaimu dibanding aku, apa salahnya kalau aku melepaskannya dengan suka rela, meskipun berat untuk dilakukan? Aku tahu kesalahan apa yang kuperbuat. Kau layak membenciku. Aku berkata demikian bukan karena Andro adikku. Jauh dari itu, seandainya Andro bukan adikku pun, aku akan tetap melepasmu sebab kau bersikeras menginginkannya
. Demi kebahagianmu aku melakukan itu. Lupakan aku, lupakan pernikahan omong kosongku. Sebenarnya aku masih mengharapkanmu. Aku mencintaimu. Bukan karena kini Andromu sudah tidak ada dan aku masih berharap. Bukan. Bukan karena itu. Sepanjang kau berhubungan dengan Andro, hatiku sakit. Aku telah begitu tolol menyia-nyiakanmu. Maafkan aku, Ervina,” terangnya ketika dia menjegal kepulanganku dari makam Andro.
“Bahkan kau mengatakan itu ketika tanah makam adikmu masih merah,” ujarku tidak terima.
“Maaf jika itu membuatmu tidak berkenan. Sepanjang waktu aku ingin mengatakannya tetapi selalu saja tidak bisa. Bukan ingin merusak masa perkabungan adikku sendiri. Tidak, sama sekali. Aku ingin menjelaskan semuanya. Waktunya memang sangat tidak tepat. Namun, aku sudah tidak bisa lagi memendam semuanya. Tentu saja, maksudku sudah sangat jelas. Selama ini aku tidak bisa mengatakannya, karena kau sedang berbahagia. Aku tidak ingin mengusiknya. Perihal Andro, maafkan aku. Aku juga berduka, dia adikku, dan sangat kehilangannya. Aku tidak pernah menganggapnya rival. Semoga kau mengerti.”
Aku tidak mengatakan apa pun setelahnya. Bungkam. Kepedihan ini akan sangat lama untuk sembuh.
“Bila aku masih terus berharap untuk cintamu, maafkan aku. Aku hanyalah manusia biasa yang selalu menginginkan kebahagiaan dan terkadang khilaf dengan melupakan kebahagiaan orang lain. Aku tahu kau akan terus berduka untuk Andro. Namun, jika aku ingin membantu ikut menyembuhkan luka kehilangan itu, apa kau akan mengizinkannya?” tanyanya.
Aku tidak menjawabnya. Ini butuh waktu yang tidak sebentar. Aku sedang berduka dan untuk sementara waktu ingin menyembuhkan duka itu sendirian. Tanpa siapa pun, termasuk Dito.
Aku masih membayangkan bahwa hidupku akan sangat istimewa bersama Andro dan berbahagia. Aku kerap membayangkan memiliki rumah berwarna putih dengan halaman dipenuhi dengan bunga aneka warna. Aku ingin menanam beberapa rumpun bunga mawar, melati, lili, kenanga, cempaka, atau palem. Aku membayangkan Andro bersamaku, juga ada sosok lain yang akan mengisi hari-hari kebersamaanku bersama Andro. Tentu saja aku akan memiliki anak yang lucu hasil dari hubungan bahagia kami. Namun, semua itu tak akan mungkin terjadi. Tidak akan pernah.
Suara sirine terdengar dari arah jalanan. Bukan. Bukan berasal dari mobil ambulans yang memacu lajunya untuk menyelamatkan sebuah nyawa, melainkan sirine yang berasal dari mobil patroli polisi. Mobil itu terhenti tepat pada saat Dito hendak bergegas. Ada percakapan singkat di antara polisi dan Dito, aku tidak berhasil mencuri