by Titikoma
9. Ryan Prianto
“Dara… masih jauh gak?”
“Lumayan deket… di perempatan Jalan Ahmad Yani. Udah nunggu lama?”
“Enggak juga sih, baru sepuluh menit.”
“Ya sudah, ini juga gak lama lagi sampai.”
“Iya, eh mau sekalian dipesankan minuman?”
“Boleh… Lemon Tea ada?”
“Ada.”
“Oke, order satu yang hangat ya.”
“Sip, ditunggu ya.”
“Oke” kututup teleponnya. Kudengar lantunan irama lagu yang diputar di radio mobil. Hari ini Dita akan mengenalkanku dengan lelaki yang menurutnya terbaik. Paling cocok denganku. Dia yakin hidupku akan bahagia dengannya. Aku hanya mengaminkan saja perkataannya. Tidak mau begitu banyak berharap. Lagipun Dita tidak menjelaskan rinci sosoknya, dia hanya memberiku nama–Ryan Prianto. Dilihat dari namanya mungkin terkesan seperti orang Jawa, tapi ah entahlah. Kutancap gas dan mengarahkan mobil ke sebuah kafe yang terletak di Jalan Sukabumi–pilihan Dita.
“Kalian di sebelah mana?” kataku sambil menutup pintu mobil setibanya di lokasi.
“Di lantai dua, Private Room ya.”
“Oke,” kucoba tenangkan diri sambil menarik napas, kemudian menghampiri pelayan di sana meminta diarahkan menuju lantai dua. Bangunannya tidak begitu besar, tapi unik karena didesain seperti rumah kaca. Cat putih gading mendominasi interior ruangan. Saat hampir tiba, aku dan Dita bersinggungan pandang. Dita melambaikan tangannya. Aku mengangguk. Pelayan mempersilakan masuk dan aku mengucap terima kasih.
“Kok sendiri?” tanyaku setelah merebahkan badan di kursi.
“Berdua… dia lagi ke toilet dulu.”
“Oh… oke.”
“Semoga ini yang terakhir ya, Na,” senyumnya sembari menggenggam tanganku, “Aku punya firasat baik soal kalian berdua.”
Kubalas senyumnya, “Wish me the best.”
“Iya,” kemudian setelah itu Dita melihat ke arah lainnya mendekatkan bibirnya berbisik padaku, “Dia ke sini.”
Mendengar hal itu, kucoba menenangkan diri dan menghela napas sedalam mungkin. Jujur, suara hentakan kakinya membuatku gugup. Terlebih informasi tentangnya begitu sedikit–tidak ada malah. Dia semakin mendekat sampai akhirnya duduk tepat berhadapan denganku. Postur tinggi besar dengan badan bugar. Nampaknya orang ini sering berolahraga. Kulitnya cokelat eksotis
. Bentuk mukanya kotak dengan rahang tegas. Rambut rapi disisir dengan potongan undercut menambah kesan maskulin pada wajahnya. Dia memakai kemeja panjang berwarna biru gelap sedang kain bagian lengannya dilipat sampai area siku menampilkan otot tangan yang kekar. Ditampakkannya senyum dengan gigi berderet rapi padaku. Sesaat aku tertegun.
“Hai… mudah-mudahan tidak menunggu lama,” sapanya dengan nada lembut namun tegas.
“Untungnya saya baru sampai di sini,” kucoba bersikap ramah padanya.
“Kenalkan saya Ryan… Ryan Prianto,” ucapnya mengulurkan tangan.
“Dara… Adara Qorina Haris,” kubalas jabatan tangannya. Kami saling menatap. Memperhatikan masing-masing. Terasa sinyal ketertarikan–aku pun sama. Kupandang semakin lekat. Seumur hidup baru kali ini aku mengagumi lelaki pada pertemuan awal.
“Teman lama Dita?” tanyanya mengawali percakapan.
“Iya… Ryan sendiri?” tanyaku balik.
“Saya teman suaminya Dita.”
“Ooh… sudah berapa lama?”
“Berapa lama apanya?”
“Dengan suami Dita… maksudnya sudah berapa lama berteman?”
“Oh itu,” dia tersenyum kecil, “Sejak dari SMA sudah berteman baik.”
Aku mengangguk. Sebentar berselang datanglah pelayan membawakan minuman. Tak lama setelahnya kami melanjutkan percakapan. Semua berjalan lancar. Gaya bicaranya santai dan membuat orang lain nyaman di dekatnya. Usia kami terpaut 4 tahun–Ryan lebih tua. Semuanya begitu natural dan apa adanya. Kami berbincang seolah sudah mengenal lama. Itu nilai lebih untuknya. Ryan adalah CEO bank swasta ternama di kawasan Asia Afrika, Bandung. Dia memiliki rumah di sekitar Jalan Dr. Eyckman. Hidupnya nyaman dan nyaris sempurna, kecuali satu–pasangan hidup. Kami saling bertukar informasi mengenai latar belakang.
Tak terasa waktu bergulir begitu cepat. Hampir empat jam. Sudah saatnya pulang. Kami menuruni anak tangga dan segera menuju mobil masing-masing. Namun belum sempat aku membuka pintu mobil, ada yang memegang pundakku sehingga otomatis aku berbalik arah.
“Maaf kalau mengganggu,” Ryan ternyata, “Boleh aku minta waktumu sebentar?”
“Iya, ada apa?”
Dia menyodorkan ponselnya padaku, “Bisakah aku meminta nomormu?”
Aku mengangguk, “Iya boleh,” kuambil ponselnya dan menekan sederet angka, lalu memberikan nama di daftar kontaknya dan kukembalikan lagi padanya. Dia memeriksa sebentar lalu tersenyum.
“Terima kasih, Dara.”
“Iya, sama-sama Ryan.”
Ryan mendekat menatap dengan pandangan yang membuatku salah tingkah, “Setahuku Editor-In-Chief majalah jarang punya pacar karena sibuk merevisi konten edisi setiap bulannya.”
Sejenak aku tertegun, “Setahuku CEO Bank Swasta jarang punya pacar karena sibuk mengurusi laporan keuangan dan pegawainya.”
Dia tersenyum, “Kita lihat nanti,” dia pamit dan beranjak meninggalkanku. Kuakui dadaku berdegup. Dia spontan dan tidak mudah ditebak.
***
Hatiku sudah mulai terbuka menerima kedatangan lelaki lain. Sedikit demi sedikit rasa tentang Erik tergantikan dengan kehadiran Ryan. Dingin di hati yang dulu pernah mengerak kini luruh berganti hangat. Hari demi hari kulalui dengan saling mengetahui keadaan masing-masing. Seminggu sekali kami meluangkan waktu bersama. Entah sekedar jalan berdua atau berempat dengan Dita dan suami–double date. Bersamanya aku bisa menjadi diriku.
Tak memaksakan diri menjadi wanita yang harus terlihat sempurna. Dia pun begitu. Tertawa lepas. Saling bersenda gurau. Menjadi begitu kekanak-kanakan dan dewasa di saat yang dibutuhkan. Kami merasa saling cocok. Belum lagi saat kutahu dia punya hobi yang sama–travelling dan makan.
“Yan…” panggilan sayangku padanya. Hari ini kami menjalani double date dengan Dita dan suaminya di kawasan Punclut. Makan bersama sekaligus menikmati pemandangan yang ada.
“Iya?” jawabnya sambil menyeruput teh hangat usai menyantap hidangan yang ada. Dialihkan pandangannya padaku.
“Kita kan udah jalan 2 bulan…”
“Iya,” jawabnya sambil menatapku.
“Kita udah cocok satu sama lain…”
“Iya.”
Mendengar jawabannya membuatku sedikit kesal. Kucubit kecil lengannya, “Apa gak ada jawaban lain selain ‘iya’?”
Dia meringis kesakitan mengusap lengannya, “Duh, kok galak banget sih? Nanti kalau aku kabur gimana?”
“Emangnya mau kabur ke mana?”
“Ke hatimu.”
“Gombal!” mataku melotot padanya. Tapi entah bibirku tak bisa menahan senyum karena tingkah konyolnya.
“Gak suka digombalin tapi kok senyum sih?”
“Emang gak boleh senyum?”
“Ya gak boleh dong, harus cemberut. Kayak gini nih,” ucapnya dengan mencontohkan wajah cemberut.
Kucubit lagi lengannya lebih kuat dan alhasil membuatnya berteriak kecil, “Jangan suka mengalihkan topik pembicaraan.”
“Iya-iya… maaf,” diusapnya lengan bekas cubitanku tadi, “Sebenarnya kamu mau ngobrol apa?” dibelainya lembut kepalaku.
“Maksudku, kita sudah sama-sama dewasa dan sudah tahu akan ke mana arah hubungan kita. Aku tidak mau berlama-lama…” kutarik napasku perlahan, “Kapan bisa bertemu dengan ayahku?”
Ryan terdiam. Kami beradu tatap. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Jujur aku gugup. Tapi harus kulakukan. Aku ingin melihat sejauh mana kesungguhannya. Ryan merogoh sesuatu dari saku celananya dan meletakkannya di depanku.
“Daraku sayang, bisa simpankan nomor Ayahmu di ponselku?” katanya dengan mimik serius. Aku melongo tak percaya, namun setelahnya aku sadar dan segera mengondisikan diriku lagi. Kuketikkan 12 digit angka dan menyimpannya.
“Kamu tidak main-main kan?” jawabku meyakinkan sembari mengembalikan ponselnya.
Ryan menggelengkan kepalanya, “Kupastikan Ayahmu akan menyuruhmu pulang.”
Dahiku mengernyit, “Maksudnya?”
“Aku akan melamarmu dalam minggu ini.”
Aku kaget bercampur senang. Rasanya hampir tidak percaya mendengarnya berkata begitu, “Kamu… tidak bohong kan?”
“Gak percaya?”
“Inginnya percaya.”
“Ya harus percaya dong… masa ke pacar sendiri ragu?” ucapnya manja.
“Iya deh, Yan,” kataku
“Sekali-kali ganti panggilannya, jangan ‘Yan’ terus,” protesnya.
“Memang mau diganti jadi apa?”
“Ryan my baby, my love, my everything, my husband soon to be,” jelasnya dengan tatapan nakal menggoda.
Aku tertawa dan mencubitnya lebih kuat. Tepat di lengannya.
***
Ryan
Awalnya aku ragu saat Dita hendak mengenalkanku dengan temannya. Lebih ke arah pesimis sebenarnya. Pengalamanku soal perjodohan tak pernah berjalan mulus. Ada saja hambatan. Entah dariku atau dari pihak wanita. Kadang di satu titik terasa melelahkan namun tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi semua terpatahkan saat bertemu dengannya di kafe dua bulan lalu. Adara Qorina Haris. Tatapanku tak mau lepas. Dia berhasil menarik perhatianku. Ada rasa ingin tahu yang begitu besar. Aku terus berusaha mendekatinya sampai tak terasa hubungan kami berjalan sampai di tahap ini. Dita benar–Dara adalah alasan kenapa aku dilahirkan.
Kutekan nomor yang disimpan Dara dua hari lalu. Kuberanikan diri meski sebenarnya gugup. Gugup kalau ditolak. Aku tahu Dara menginginkan kepastian. Aku pun sama. Sudah bukan waktunya bermain-main. Lagipun, aku tidak mau kehilangan sosok Dara. Di mataku, dia adalah wanita kuat sekaligus hangat, supel meski awalnya terkesan cuek, membuatku nyaman dan lepas.
“Halo assalamu’alaikum…” suara di seberang ponsel mengawali percakapan.
“Waalaikumsalam… betul ini dengan ayahnya Adara?” tanyaku sedikit berbasa-basi. Lumayan.
“Iya betul… maaf ini dengan siapa?”
“Perkenalkan saya Ryan Prianto. Bagaimana kabarnya, Pak?”
“Baik Nak Ryan,” terdengar kikuk meski disamarkan, “Ada yang bisa dibantu?”
“Begini Pak…” kucoba tenangkan diri, “Saya ingin berbicara sesuatu mengenai Dara.”
“Dara kenapa?! Dara baik-baik saja kan?!” suara di seberang sana begitu khawatir.
“Dara baik-baik saja, Pak. Hanya saja ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan secara langsung dengan Bapak…. Hmm… boleh saya datang bertamu ke rumah Bapak?”
“Iya boleh Nak Ryan… tapi Dara tidak apa-apa kan?” suaranya sudah mulai melunak meski masih terkesan bingung.
Aku tersenyum mendengarnya, “Dara sehat, Pak. Sekarang masih di kantornya.”
“Baik kalau begitu, Bapak tunggu di rumah ya.”
“Tapi Pak, saya tidak tahu alamat rumah Bapak di mana?”
“Loh, Dara belum beri tahu alamatnya?”
“Belum.”
“Ya sudah, sebentar lagi Bapak kirimkan setelah ini.”
“Iya, Pak. Terima kasih sebelumnya.”
“Sama-sama Nak Ryan.”
“Iya, Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam...” jawabnya sambil mematikan telepon. Tak lama setelahnya ada pesan masuk dari ayah Dara–lokasi alamat rumah. Area Cibiru. Ini pembuktian pada Dara–aku tidak sedang main-main. Kubalas pesan ayahnya. Buru-buru aku membuka lemari dan melihat baju memilah yang terbaik. Kuganti dari atas sampai bawah. Mematut diri di depan cermin sambil sesekali melatih gaya bicara demi kelancaran saat berbicara dengan calon mertua. Kusisir rapi rambutku sembari tak lupa menggunakan parfum. Kuberlari kecil menuju garasi. Menyalakan mobil dan memacunya ke jalan.
Dara, sebentar lagi kau akan jadi istriku.
***
Satu minggu kemudian
Sore ini kami berkumpul. Kusuguhkan teh hangat kepada orang tuaku. Kemarin ayah dan ibu memintaku pulang–ada yang mau didiskusikan. Aku menuruti permintaan mereka. Sehabis kerja langsung kutancap gas menuju rumah orang tua. Sempat aku heran karena ini di luar kebiasaan mereka. Maksudku, mereka akan selalu menelepon jika ada apa-apa. Namun kali ini tidak. Berbicara langsung empat mata. Kami duduk bertiga di ruang tamu. Aku sendiri di sofa, sedang orang tuaku duduk berdua di sofa satunya. Kami saling berhadapan. Rasa khawatir sempat menghinggap di pikiran. Akalku mencoba mengingat kalau saja ada tingkahku yang meresahkan mereka.
“Dara,” ayahku memulai percakapan. Aku menunduk takzim.
“Iya, Ayah.”
“Minggu kemarin… Ryan datang ke rumah,” katanya. Sontak aku kaget. Kudongakkan kepala melihat wajah ayah yang datar. Kenapa Ryan tidak pernah menceritakan ini sebelumnya?
“Ryan?” aku memastikan lagi.
“Iya, Ryan..” kemudian diseruputnya teh buatanku, “Dia ngakunya pacar kamu, betul itu?”
“Eh… hmm… itu… iya Yah, Ryan pacar Dara,” Duh, Ryan! Awas kamu ya!
“Kok kamu gak pernah cerita kalau sudah punya pacar, Nak?” tanya ibu, “Kami kaget lho waktu dia datang… kami kira lelaki iseng.”
Kugaruk kepala meski tak gatal. Aku hanya bisa tersenyum terkekeh, “Maaf kalau sebelumnya Dara tidak bercerita apapun, bukan bermaksud menyembunyikan…” kutatap mereka berdua sambil menegakkan posisi dudukku, “Hanya saja… kenapa Dara belum bercerita sebab khawatir kalau membuat Ayah-Ibu berharap namun ternyata putus di tengah jalan. Dara hanya ingin memperkenalkan pada Ayah-Ibu kalau sudah mantap.”
Ayah mengangguk seraya meraih cangkir dan menyesap teh, “Berarti kamu gak tahu kalau dia datang ke rumah ya, Nak?”
Aku mengangguk, “Iya, Yah.”
“Gini…” ayah menghela napas, “Nak Ryan datang ke rumah. Dia bilang pada Ayah-Ibu berniat menikahimu tanpa bertunangan karena tak mau berlama-lama. Dia cerita dari awal bertemu sampai sekarang pacaran. Rencananya Ryan akan bawa orang tuanya dua minggu lagi untuk melakukan proses lamaran. Ya… Ayah kan gak bisa ambil keputusan begitu saja toh. Jadi Ayah belum bisa kasih jawaban, harus tanya kamu dulu. Gimana, apa kamu bersedia menerima pinangan Nak Ryan?”
Hening. Aku belum memberikan jawaban. Tetiba terbersit ragu–apa benar dia yang kuinginkan?
“kalau misalkan setuju… biar Ayah yang hubungi Nak Ryan agar bersiap-siap. Tapi kalau tidak setuju, baru kamu yang bilang,” ucapnya.
Aku masih diam. Duh, kenapa lidahku kelu begini!
“Selama ini, kamu gimana dengan Ryan?” Ibu balas bertanya.
“Dara dengan Ryan selama ini cocok… tidak ada masalah,” akuku.
“Ya kalau cocok lebih baik disegerakan saja. Toh umur kalian juga sudah dewasa, masa iya mau pacaran terus?” canda Ibu, “Ibu lihat Nak Ryan baik, sopan, berani datang sendiri meminta izin melamar anak Ibu.”
“Iya, Ayah juga sama. Kesan Ayah saat melihat Ryan baik,” ditatapnya diriku dengan lekat, “Sekarang Ayah ingin mendengar jawabanmu. Bagaimana… bersedia dipinang oleh Ryan?”
Kututup mata sekejap. Memutuskan perkara yang akan merubah arah hidupku. Ini berarti aku harus meninggalkan Erik dan semua tentangnya. Aku harus mengambil langkah. Kubuka mata dan menatap orang tuaku, “Iya… Dara bersedia dipinang Ryan,” jawabku mantap.
Orang tuaku tersenyum. Ayah menganggukkan kepala, “Semoga jadi awal yang baik ya, Nak. Ayah harap kamu mulai mempersiapkan diri dari sekarang.”
“Iya, Ayah,” Ibu kemudian menghampiri memelukku erat. Membelai rambutku pelan. Anak semata wayangnya sebentar lagi akan menjadi istri orang. Masih bisa kulihat jelas Ayah mengambil ponsel dan mencari kontak, “Halo Nak Ryan… bisa minta waktunya sebentar?”
Maaf Erik, aku tak bisa menunggumu lebih dari ini.
***