
by Titikoma

Aku, Kamu = Kita
‘Aku tak mengetahui apa yang terjadi denganku setelah melihat koleksi foto di Facebook miliknya, apa yang bisa kamu cintai dariku, Kak? Sedang mantan kekasihmu bisa kukatakan sempurna. Dia baik, cantik, dan juga salehah. Aku bisa apa?’ Tak terasa ada rintik yang mengalir di pipinya, sembilu menghunjam di dadanya. “Udah nangisnya?” Vara terkejut melihat kehadiran ibu di sampingnya. “Ada apa sih, anak Bunda kok jadi sering nangis gini?” Ibunya mengusap air mata itu. “Nggak apa-apa kok, Bunda.” “Rindu lagi ya, sama Amri?” Vara mengangguk, memeluk ibunya. Memang hanya seorang ibu yang paling mengerti apa yang anaknya rasakan. “Apa sih alasan Amri mencintai Vara? Bunda lihat foto di laptop itu.” Bundanya memperhatikan foto yang ada di sana. “Ini siapa?” “Mantannya Kak Amri, Bun.” “Oh… Lalu apa hubungannya denganmu, Nak? Bukankah Amri lebih memilihmu?” “Iya Bunda, hanya saja Vara merasa bingung, kenapa dia mencintai Vara? Bunda tahu kan, Vara bukan wanita yang seperti mantan kekasihnya itu.” “Untuk menjadi istri yang baik bukan hanya cantik ataupun baik, Amri pasti punya alasan kenapa dia memilih kamu, Nak.” “Vara nggak mau kehilangan Kak Amri, Bunda. Apa pun alasannya.” “InsyaAllah, jangan takutkan apa yang belum terjadi, dia akan jadi imam yang baik buat kamu dan ayah yang baik untuk anakmu nanti. Apabila Allah telah menjodohkan kalian, tidak ada yang bisa memisahkan terkecuali maut, Allah punya rencana yang lebih indah, percayalah itu.” Cinta itu menerima segala kekurangan pasangannya tanpa terkecuali, dan Vara sadar, Amri telah menerima kelebihan dan kekurangannya. Cinta itu melengkapi, bukan hanya egoisme ingin menang sendiri. Bersiap untuk mengalah, lebih banyak memberi daripada menerima. Meluangkan waktu di tengah sibuk, meski banyak hal yang harus dipikirkan. Dalam kenyataannya, Amri lebih banyak diam untuk menerjemahkan cintanya. Hingga terkadang membuat Vara ragu dengan cinta yang Amri miliki terhadapnya itu, benar-benar tulus atau hanya sebuah permainan kata. Maklumlah, ia dan Amri satu profesi, dan Vara kini tak ingin terjebak kembali dalam rayuan atau pun buaian cinta yang palsu. Yang hanya memanfaatkan ketulusan serta kebaikan Vara. Seringkali Vara mendapat peringatan dari sepupu, teman-teman yang ada di Facebook agar tidak jatuh pada kesalahan yang sama. Namun kali ini, Vara merasa yakin bahwa keputusannya untuk menamai rasa yang ia miliki terhadap Amri adalah rasa cinta. Bukan hanya sekadar pelampiasan karena telah dikecewakan Imran, mantannya. Cinta adalah sebuah perasaan yang ingin membagi bersama atau sebuah perasaan afeksi terhadap seseorang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apa pun yang diinginkan objek tersebut. Vara sedang membaca definisi cinta di internet, browsing hingga matanya lelah. Namun hasilnya nihil, sekarang ia malah tak ingin tidur. Menerawang ke awang-awang, seolah Amri ada di dekatnya, dan saat ini sedang menatapnya. Satu menit berikutnya ia mengambil boneka yang beberapa hari lalu ia dapat dari Imran. “Seharusnya kamu tak dikirim ke sini,” ia menggumam. Dia terus menatap boneka Teddy Bear di meja editingnya. Sekelebat kenangan tentang Imran jelas terlihat lewat mata hatinya. Seketika Vara memejamkan mata, mencoba menghapus Imran dari pandangannya. ‘Tidak, kamu tidak boleh hadir lagi di kehidupanku.’ ‘Kamu nggak boleh ada di sini, lagi.’ Lagi-lagi Vara berbicara kepada boneka Teddy Bear ungu. Bruuk … Tumpukan bukunya berjatuhan ke lantai. Sembari menatanya kembali, pikirannya kembali teringat ke masa lalunya. Bersamaan dengan tangannya yang seolah tertuntun mengambil diary lamanya. Dalam desahan napas tertahan, ia membaca diary itu sekilas. Ada perasaan aneh tiba-tiba menghinggapi hatinya, seperti antara rasa sedih dan bahagia, Vara juga ragu menamai rasa yang sedang ia rasakan saat ini. Sesekali ia mengusap air mata yang mengalir perlahan tanpa paksaan. ‘Rasanya sudah cukup kamu membuatku menangis, sekarang sudah ada yang menjaga hatiku. Dia sudah menggantikanmu. Dan ia tidak merebutku darimu, namun aku sendiri yang menyerahkan kepercayaanku padanya.’ Monolog hatinya kepada masa lalu. Kling… kling… Am Qu: Selamat pagi, Sayang… boleh telepon sebentar? Tentu saja Vara memperbolehkan Amri meneleponnya. “Ada apa, Kak?” ujar Vara yang masih mengantuk, akibat semalam tidur tidak nyenyak. “Ehem, ggak apa-apa kok, gimana? Naskah yang buat dikirim ke penerbit udah selesai?” “Aduh, aku lagi susah nulis, naskahnya masih jalan di tempat.” Ada jeda dalam pembicaraan mereka, hening. “Sayang, bisa nggak kalau telepon jangan bahas naskah?” Jantung Amri berdegup cepat. Ada sesuatu yang menusuk dari kata-kata Vara tentu saja. Tidak biasanya sikapnya seperti ini. “Bicara apa, Sayang?” Kali ini giliran Vara yang bungkam, dia tak dapat menjawab atau pun sekadar mengelak dari situasi ini. “Maaf, Kak, aku… aku cuma lagi sensi.” “Sssst, nggak apa-apa kok, maaf ya karena nggak ada bahan buat telepon Vara, ataupun hanya sekadar mengobrol, ini juga Kakak sempatkan karena malam nanti kan ada latihan khataman menjelang haul pondok. Kakak cuma ingin dengar suara kamu …” “Ada apa, Kak?” Vara memang selalu mengerti, apabila Amri mencari perhatian seperti ini dia pasti sedang ada masalah, entah apa itu, yang pasti membuat sedih. “Tadi subuh, Bapak sama Ibu telepon.” “Terus?” “Aku dibilangin lagi sama Bapak, katanya disuruh cepet wisuda, apa pun alasannya pokoknya harus wisuda tahun ini.” “Kakak pasti bisa kok, aku yakin itu, tapi jangan kepikiran terus ya, jalani aja sebagaimana mestinya, tapi …” “Tapi apa?” “Tapi, apa Kakak kalau sudah wisuda dan pulang nanti akan lupa sama aku?” lagi-lagi ada keraguan dalam hati itu. “Memangnya kamu mau pulang ke Lampung sama aku? Hehe…” “Ehm, apa Kakak sedang menguji kesetiaan lagi? Mana mungkin istri bisa melawan suaminya? Aku pasti ikut Kakak pulang,” dalam hati itu bertanya, inikah keseriusan Amri terhadapnya? Karena sebelumnya tidak ada laki-laki yang membahas tentang masa depan, tentang kemauannya. Vara tergugu mendengar kata ‘pulang’ yang baru saja ia perjelas lewat kata-kata yang keluar begitu saja. “Sehabis kuliah, nanti Kakak mau kerja di mana?” “Mungkin jadi guru bantu dulu. Kalau kamu nanti masa depan kita maunya seperti apa?” “Aku ingin mengajar les lagi, dan juga bimbingan menulis di rumah, lanjutin CV kita, Kak. Gimana?” “Dan tetap jadi penulis ya,” Amri tentu saja tersenyum mendengar rencana masa depan Vara, dia adalah wanita yang sayang dengan keluarga. Sebagai anak pertama, Vara menggantikan ayahnya untuk bekerja. Awalnya dia menjadi karyawan di sebuah outlet pulsa, namun kecintaannya terhadap dunia literasi membawanya untuk terjun langsung menjadi direktur sebuah penerbitan. Itulah Vara, akhwat[1] tegar dengan penuh cinta terhadap sesama, meski hidupnya sendiri tak mudah, namun dia selalu berusaha menyenangkan hati orang lain, bahkan termasuk orang yang membencinya. “Kak, mau masak dulu ya, bantuin Bunda. Nanti aku sms ya.” “Iya Sayang,” Amri pun senyum-senyum sendiri mengucapkan kata ‘sayang’. Antara romantis dan kejahilannya kambuh. Vara hanya tersenyum seraya mengucapkan salam dan mematikan teleponnya. [1] Sebutan perempuan dalam Islam.