
by Titikoma

Episode Rindu Ii = I Will Be Stay Here
‘Izinkan aku menjadi bayanganmu, dan berjalan sejajar di sampingmu. Karena aku belum dapat ada di hadapanmu.’ Ada beberapa kata mutiara yang ia tuliskan dan ia pajang di steroform yang ditempelkan tepat di samping meja editingnya. Ungkapan cintanya untuk Amri yang belum dapat terkatakan hingga saat ini. Vara menatapnya lekat, semua isi hatinya ada di sana. Hanya untuk Amri semua harapan ia gantungkan setinggi langit cinta-Nya. Tak ada ragu karena ia sedang menjalani takdir yang telah tertulis. ‘Kisah ini ada karena tiga hal, yakni Aku, Kamu, dan Allah.’ Ia teringat saat pertama mengenal Amri tanpa sengaja, lewat cerpen Amri yang berjudul ‘Lelaki Hujan’, secara tidak langsung berhasil merebut perhatiannya yang saat itu dalam masa move on, melupakan Imran. Amri adalah teman curhat yang baik, ia bisa menjaga rahasia, dan sampai suatu ketika dari kedekatan itu muncul benih-benih cinta. Jikapun mencintai Amri adalah suatu kesalahan, maka inilah kesalahan terindah yang pernah Vara buat dalam hidupnya. From : Am Qu Sayang, buka fb kamu yach, ada sesuatu buatmu… Tanpa membalasnya terlebih dulu, Vara langsung membuka laptopnya. Log in facebook. Notification : Muhammad Amri Fadillah tagged you in a post. Klik. Ada sebuah artikel di sana, bisa lebih dikenal dengan sebutan cerita mini atau fiksimini, berjudul Sands of Times. … Aku pun pernah berjanji, setelah wisudaku nanti, aku akan menemuimu lagi. Menyatukan kembali Sands Of Time yang sempat terpisahkan. Menawarkan kembali renjana yang bertakhta di istana jiwa. Akan kubangunkan singgasana untuk keabadian cinta kita. Agar tak ada lagi gelak tanpa tawa, dan tak ada lagi tangis tanpa air mata bahagia… Vara tentu saja terharu dengan diksi yang ia baca, ini adalah karya spesial Amri untuknya. Bagaimana hati itu tak jatuh hati, terhadap Amri yang sangat dicintainya dari awal perkenalan yang tak disengaja, hari ini dia mengulanginya. Memakai namanya dalam tulisannya. Kali ini benarbenar dari hati, sebuah ungkapan kerinduan yang mendalam di antara kedua hati mereka. Vara Isnaini Fauziah’s comment : Terima kasih, Sayang. J Aris Rahman Yusuf’s comment : So sweet… hehe Kapan nikahnya? :-P Waty’s comment : Ah, kalian bikin saya ngiri, mana undangannya… hehe :-D Dst… Begitulah Vara dan Amri, selalu kompak dalam berbagai hal. Ada yang bilang bahwa bukan dilihat dari lamanya kita mengenal seseorang, untuk menyatakan kita dapat mengertinya. Namun, niatlah yang memudahkan kita untuk mengenal seseorang tersebut. Vara memeluk guling kesayangannya, serasa ia berada dalam dekapan Tuhan. Jemari lentiknya kini beradu dengan tombol-tombol keyboard laptopnya. Ia menuliskan judul ‘I Will be Stay Here’ dalam fiksimininya. ‘Ini adalah balasan untuk kerinduanmu, Kak Am. Aku akan selalu setia menantimu hingga maut menjemputku.’ Dengan lincah bahasa hati itu dituangkan dalam bentuk narasi, tak salah teman-temannya memberinya sebutan ‘Putri Narasi’, dan tentu saja seorang yang menjadi pasangannya adalah Amri, yang ia sebut sebagai ‘Pangeran Diksi’. Karena diksi yang dirangkai Amri dalam puisinya selalu dapat membius hati Vara. I Will be Stay Here oleh Vara Isnaini Fauziah. Di bawah langit yang sama, menunggu ikhwan yang sama pula. Saat ini, mendung menyaput langit, apa hujan akan datang? Hati membiru, tepatnya lebam karena aku jatuh di hatimu. Masih terpatri dalam ingatanku, senja di Teluk Penyu setahun yang lalu. Terucap janji setia, gemuruh ombaklah saksinya. Dan benda yang kupegang ini adalah sebentuk kenangan yang takkan habis termakan waktu. Di sini, masih kugenggam erat Sands of Time darimu, namamu terukir jelas di sana. -Dan kuyakin kepingan yang lain masih kaujaga, seperti hatimu yang selalu menjaga cinta pada bentang saujana yang menghalang netra.- “’Percayalah,Vara... aku akan segera menjemputmu. Baik-baik di sana, tunggu aku di batas kota’,” Kuterima pesan ini tiga hari yang lalu. Tahukah kamu, Am? Aku mempercayaimu, dan kutahu cintamu bisa kau pertanggungjawabkan kepada-Nya. Karena memang cinta kita karenaNya. Aku selalu menyebutmu Lelaki Hujan, karena memang setiap untaian kata darimu selalu dapat menenangkanku. Layaknya rintik itu yang membasahi bumi, dia tahu saat yang tepat untuk meredakan panas yang meradang daratan. Pekat, membunuh malam. Kini sendiri menyepuh rindu, terpaku menerjemah sunyi yang membelenggu. Kudengar rintik masih saja merinaikan rinduku. Ah, apa kau merinduiku? Kau pernah bilang kala kita berdua menghabiskan waktu, sebelum kau kembali ke pondokmu. “Aku akan jadi hujan, Vara. Kau akan merasa aku hadir saat rintik menyapamu.” “Dan bila kemarau panjang, apa hujan akan datang? Mustahil.” Ucapku teramat lugu, karena aku merasa tak bisa jauh darimu. Takut kehilangan lebih jelasnya. Dengan tegas kau kembali meyakinkanku, “Apa kau meragukan-Nya?” pertanyaanmu membuatku yakin cinta kita akan tetap menyatu karenaNya. Aih, rintik mereda. Padahal rindu ini masih menggebu. Dan ketika kumerindu seperti saat ini, ingin rasanya kupanggil hujan ‘tuk samarkan tangisku. Agar aku selalu menyatu denganmu kala rintik berjatuhan, menebar wangi petrichor, seharum kasturi rindu. Berlabuh dan berserah pada arus ombak yang membawaku terdampar di Teluk Penyu. “Ini tanggal berapa?” tanyaku padamu saat kita terhubung di line telepon sore itu. “Tiga belas Mei, Sayang. Ada apa?” aku yakin kau berpura-pura tak merespons pertanyaanku. Tiga puluh detik kita berdiam. “Aku pasti menemuimu, setelah wisuda. Sabar, ya, sayang” Lanjutmu dengan suara tergetar, jelas aku mendengar isak rindumu, Mas Amri. Napasku tertahan, sesak kembali meradang. Kugenggam erat Sands of Time, bulir hangat menitik di senja yang terbalut rindu. “I will be stay here, Dear.” Bisikku. “Berjanjilah, untuk sabar menunggu, percayalah Vara... aku akan segera menjemputmu. Baik-baik di sana, tunggu aku di batas kota,” kau mengulangi janjimu kala itu. Rintik tiba-tiba menyapa, ah benarkah ini Mei? Serasa September ada di depan mata. Gemericik air kudengar tegas seiring derasnya rindu di antara kita. “Aku sayang kamu.” Ucapmu pelan, di tengah hujan. Dan kusadari hujan masih teramat setia... Vara tersenyum puas, ‘Inilah hatiku, Mas. Aku telah jatuh di hatimu, jangan biarkan aku keluar lagi, dan biarkan aku terperangkap di dalamnya hingga aku tua dan mati.’ Dipandangnya foto Amri dan menciumnya. Kembali rindu itu menyeruak, membakar hatinya. Am Qu call… “Assalamu’alaikum,” “Wa’alaikumsalam, hei… kok nangis?” “Aku, aku makin sayang… sama kamu, Kak…” Kejujuran yang membuat Amri juga semakin mencintai Vara, kedua hati itu saling merindu, yang tak tertahan lagi. “Syukron[1] Ukhti… Aku juga, sabar ya. Kakak harus menyelesaikan kewajiban Kakak dulu di sini, mohon tunggu apa pun yang terjadi ya.” “I’ll be stay here, aku sudah posting balasan buat Kakak ya, semoga suka.” “Iya, Sayang. Sudah hampir jam sebelas, kamu tidur ya. Jangan terlalu dipaksakan kerjanya, nanti dampaknya pada kesehatan kamu, jangan sampai sakit.” “Iya Sayang, sebentar lagi aku tidur, Kakak juga ya.” Lima menit berikutnya percakapan berakhir, bagaimana bisa Amri merelakan segala romantisme ini? Sedang bulan dan bintang saja iri melihat kemesraan mereka, seringkali bulan bersembunyi bahkan mengintip saat Vara dan Amri tengah bercakap, seperti yang baru saja terjadi. Seperti saat ini, hujan selalu ada merinaikan cinta mereka berdua. Namun, tanpa Amri ketahui ada sepasang telinga yang tak sengaja mendengar percakapannya dengan Vara dari balik gelap. Ia tak sengaja lewat, ini sebuah kebetulan yang mengancam keberadaannya, sungguh Amri dalam masalah besar kali ini, karena Furqon mengetahui Amri melanggar aturan pondok lagi. Furqon berniat mengabarkan hal ini pada Annisa, Putri Kyai Irsyad. Furqon sangat tahu bahwa Annisa sangat mencintai Amri dari dulu. Ia mengetahui alasan Annisa kembali adalah demi Amri, dan sekarang posisi Amri terancam. Serba salah oleh cinta yang harus dipertahankan atau cita-cita dan harapan orang tuanya yang harus dipertaruhkan. Sementara itu, Amri yang tak mengerti apa yang akan terjadi keesokan harinya, masih terjaga memikirkan Vara kekasihnya. Ada ribuan kata yang ingin diungkapkan secara langsung. ‘Jangan pernah hatimu berpaling, karena aku di sini pun merindukan saatsaat kita nanti bersama.’ Amri mencoba memejamkan matanya, berharap ia bertemu dengan kekasihnya walau hanya dalam mimpi. [1] Terima kasih