di bawah langit al-ihya
Di Bawah Langit Al-ihya

Di Bawah Langit Al-ihya

Reads
98
Votes
0
Parts
19
Vote
by Titikoma

Hujan Akan Kembali

Kembali hujan menunjukkan pesonanya di bulan Juli. Menjelang hari Raya Idul Fitri ini, Vara ingin meminta maaf pada Amri. Sejak putus darinya, Vara menjadi seorang yang pendiam. Selalu menyibukkan diri dengan diksi-diksi serta lembar-lembar fantasinya. To : Am Qu Minal aidin wal faidzin ya kak, maaf aku selalu membuat kakak sedih dan kecewa, aku harap kakak mau maafin aku. J Nama Amri di handphone-nya tak berubah, masih tetap sama dengan hati itu yang selalu mengeja kata ‘Sayang’ saat ia memanggil Amri dengan sebutan ‘kakak’. Ada rindu yang tersembunyi. Elegi hati yang tak berkesudahan dalam dirinya selalu ia tuangkan dalam bentuk puisi maupun kata-kata. Seperti saat ini ia menuliskan satu puisi, dengan tema dan maksud yang sama. Sebuah rindu yang ia rahasiakan dari siapa pun juga. Termasuk Amri. Diam-diam ia masih mengharap nyanyian hujan menemani hatinya yang sepi. From : Am Qu Iya sama-sama ya, aku juga minta maaf sama kamu. Maaf lahir batin. J ‘Dingin tengah memelukku, hujan merintik di luar sana. Apa kamu merasakan hal yang sama? Namun saat kubaca pesan ini, hangat menyelimuti hatiku, Mas. Aku mengharap hujan kembali, rintiknya dan bau basah yang dapat menenangkanku di sini. Seperti kata-katamu yang selalu membiusku sejak awal perkenalan kita.’  Ramadan telah usai, masih ada kerinduan yang tersisa di balik hati itu. Tentunya hari raya ini melukiskan banyak rasa syukur atas nikmat dari yang Maha Kuasa. Bersama tafsir doa yang dimunajatkan hatinya bersama kilas-kilas cinta. Secara harfiah menjabarkan arti kesunyian adalah ketenteraman hati yang paling hakiki. Bermanja dengan-Nya selalu membuat hati Amri tenang. Amri tersenyum memandang layar handphone-nya, pesan Vara masih dibukanya sejak tadi. ‘Ah kamu selalu dapat membuatku terpesona dengan kata-katamu, Putri Narasi.’ Masih ada keyakinan untuk kembali, ada singgasana cinta di hatinya yang masih setia untuk dipersembahkannya pada Vara. ‘Selamat malam cinta... pernahkah kau menghadirkanku dalam rindumu walau hanya sedetik saja?’ Masih ada ragu dalam hati itu, ‘Bukankah Imran akan melamar Vara, mengapa hingga detik ini belum juga ada undangan atau pun kabar yang kuterima?’ Ada rindu tersimpan rapi yang diselimuti keraguan. Tak terkatakan oleh lisan, hanya hatinya yang menggumam doa, agar harapan masih ada atas takdir sang Maha Cinta. ‘Kusimpan rindu ini hanya untukmu, dan tiada satu pun orang yang tahu selain Dia, Sayang. Kuharap kita masih bisa bersatu, walau kemungkinan begitu kecil. Tapi percayalah takdir-Nya adalah kebenaran untuk kita berdua.’ Kembali ia berdiskusi bersama angin yang berembus lewat celahcelah jendela kamarnya. Gema takbir masih membahana. “Am! Kamu kok di kamar aja sih? Ayo ikut takbiran,” Hafiz kembali mengagetkannya. “Iya, sebentar.” “Kamu lagi ngapain sih? Kangen lagi sama Si Vara?” “Ssssttttt… Jangan keras-keras, Fiz! Kamu mau dihukum lagi?” Seketika Hafiz menutup mulutnya dengan kedua tangannya. “Uups, maaf lupa. Ya kamu juga kenapa sih nggak balikan aja?” “Dia kan udah mau dilamar, mana mungkin ngajak balikan!?”  “Aah, kamu… Nggak mungkin deh Imran melamar Vara. Kamu musti percaya sama aku.” “Maksud kamu?” rasa penasaran terhadap kata-kata Hafiz seketika menjelma menjadi tunas harapan cintanya. “Nanti juga tahu. Eh iya, kamu mau kan ikut aku pulang ke Purbalingga. Pondok kan sepi, santri-santri pasti pulang kampung. Kamu mau sendirian di sini?” “Boleh juga, kapan berangkat?” “Menunggu kita dapat jadwal pulang dulu, sekalian aku ingin ke Gunung Selamet, mendaki lagi. Agustus saatnya Edelweiss sedang berbunga.” “Edelweiss?” Hafiz mengangguk. Amri kembali teringat janjinya pada Vara. “Ehm, boleh. Iya aku ikut aja.” Dulu Amri pernah berjanji akan membawakan bunga Edelweiss untuk Vara. Namun, sepertinya tidak atau dengan Edelweiss, cinta Amri akan tetap abadi. ‘Kamulah Edelweiss itu, Sayang. Aku rindu kamu.’ “Sekarang takbiran, nanti kamu dicariin Ustadz Nur Cholis lagi.” Keduanya berjalan menuju masjid. Seraya kaki melangkah ada harapan yang hampir saja pupus bersama jarak dan waktu. ‘Sayang, dulu kamu bertanya padaku mengapa aku mencintaimu. Kini aku punya jawaban atas segala resahmu itu. Dengarlah, aku mencintaimu karena Allah menitipkan rasa ini padaku dan hanya tertuju padamu. Sabar ya, takdir akan berbicara jika cinta kita ini tanpa rekayasa, tanpa sandiwara. Aku tak pernah berpura-pura dengan rasa yang bernama cinta.’ Seiring gema takbir, hati itu mengucap janji. Di sini, di bawah langit AlIhya, persinggahan suci yang menjadi saksi sebuah cinta yang tumbuh oleh rintik hujan, serta gerimis yang begitu menyejukkan. Di mana sebuah pengorbanan itu terlihat sempurna. Ada cinta dan cita yang harus berjalan beriringan. Dalam hati Amri yakin, semua akan indah seperti yang ada dalam suratan.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices