
by Titikoma

Satu
Sebongkah kepercayaan yang telah berubah menjadi kepingan, tidak akan mampu tersusun sempurna kembali. Kriinnggg!!!! Dering ponsel mengagetkan kesadaranku yang tengah terlelap. Seakan tahu aku mengabaikannya, dia terus saja berisik. Masih dengan mata terpejam, tangan kananku mencoba meraih benda yang berteriak keras itu. Dengan malas aku mengangkat tubuhku dari sarang yang melenakan. Bahuku melorot. Siapa yang mengganggu keindahan pagiku? Baru saja jemariku mengambil ponsel malang itu, sebuah pesan sudah terpampang di layarnya. * Manda, berangkat kuliah aku jemput! Setengah jam lagi kamu harus sudah siap, ok! Don’t late! Aku mengerutkan kening. Mimpi apa aku semalam sampai Risa memberiku ultimatum yang tidak biasanya? Kulirik jam dinding yang menempel tenang di ruang tengah. Hah?! Pukul 07:15? Kukucek kedua jendela mata yang masih mengantuk. Aku tidak salah lihat, kan? Risa mengajakku kuliah sepagi ini? * Ris, kamu ngigau, ya? Ini terlalu kepagian untuk berangkat ke kampus! Kita ada jadwal pukul 10:00. Jam di rumahmu mati, ya? Sent… * Enggak, sengaja berangkat pagi biar kita jalan-jalan dulu. Jangan sarapan di rumah!!! Keningku kembali mengerut. Ada apa dengan Risa hari ini? Tidak seperti biasanya gadis cerewet itu mengajak pergi sepagi ini. Curiga. Pasti ada udang di balik batu. “Kamu ke sini bawa mobil sendiri, apa sama sopir kamu?” tanyaku seraya mencari sweater biru muda di antara tumpukan pakaian dalam lemari. “Enggak kedua-duanya!” ketus Risa yang setahuku tak pernah mau memiliki sopir pribadi seperti yang dikatakan papanya. Dari nada bicaranya, dia seperti kesal padaku. Ya, bagaimana tidak? Aku dianggap manusia yang telah merusak mood paginya hanya dengan telat sepuluh menit. Sebenarnya dari awal juga dia yang telah mengganggu pagiku. “Terus?” “Terus, sekarang cepetan kita berangkat!!” Huh, benar-benar pemaksaan! Belum sampai satu menit, Risa kembali bersuara dengan sedikit berteriak di ambang pintu kamarku, “Bisa cepet sedikit tidak, RUSELLIA ALLAMANDA?!” Oke, dengan menyebut nama lengkapku berarti kekesalannya hampir sampai titik akhir. “Hhh… kerasukan apa kamu pagi ini?” Aku mendengar Risa menggerutu tak jelas tatkala langkahku berbelok ke arah dapur menuju segelas air putih yang belum sempat kuteguk. “Aduh, Manda! Kamu benar-benar membuatku kesal setengah mati. Ayo cepat, dia sudah menunggumu terlalu lama!” tanpa meminta persetujuanku, telapak tangan Risa sudah menarikku menuju pintu. Tunggu! Risa bilang dia sudah menungguku terlalu lama? Alisku mengernyit. “Siapa?” Belum sempat pertanyaan itu terjawab, aku kembali melontarkan pertanyaan baru tatkala pandanganku menangkap sebuah mobil asing terparkir di halaman rumah. “Mobil baru, ya?” “Iya, baru. Baru dilihat olehmu.” Ekor mataku menangkap tawa aneh dari sosok yang sedang berjalan di sampingku. Aku harap kamu tidak sedang membuat rencana gila, Risa. Risa membuka pintu mobil depan dan mendorongku masuk. Entah ke berapa kalinya sahabatku yang berubah aneh ini berulah menyebalkan. Aku kira Risa akan duduk di balik setir dan melajukan kendaraan yang baru kulihat ini untuk segera pergi. Namun, meleset. Sesosok laki-laki—seperti sebaya denganku—bersetelan jeans hitam ramping dan kaos putih yang dibalut jaket berwarna senada tengah duduk manis di kursi kemudi seraya menampangkan senyum terbaiknya—kurasa. “Hai!” sapaan yang dilontarkan sosok itu membuyarkan rasa kagetku. Merasa tak kurespon, dengan lancarnya dia memperkenalkan diri, “Aku Dion. Lengkapnya Dion Ardiansyah.“ Aku terdiam dan disusul beberapa detik kemudian aku menyebut namaku dengan nada datar, “Manda.” Di sepanjang perjalanan, Dion tidak menyirnakan senyum di bibir tipisnya yang terus berceloteh. Aku tidak terlalu berniat untuk mendengarkan lakilaki asing itu secara saksama. Kupalingkan wajahku pada sosok berwajah polos yang tengah cengengesan di jok belakang dengan pandangan tajam seakan berkata yang kamu lakukan sangat tidak lucu. “Bagaimana denganmu, Manda?” pertanyaan Dion sukses mengalihkan perhatianku seketika. “Hm… bagaimana apanya?” aku balik bertanya dengan aksen seperti biasa, datar. Terdengar jelas dari getaran suaraku bahwa aku enggan membuka mulut. “Oh, kamu tidak mendengarkanku, ya?” terdengar rasa kesal terselip dari nada suaranya. “Apakah kamu sudah lama mengenal dan dekat dengan Risa?” aku mengalihkan pembicaraan tanpa melihat sosok yang kuajak bicara. Tidak enak pula rasanya melihat laki-laki di sampingku ini sedikit memasang muka kecewa. “Sudah lama. Risa adalah teman dekatku semenjak masa SMP dulu,” jawabnya antusias dan tanpa melihat pun aku tahu, Dion tengah memamerkan senyuman khasnya. Suasana kembali hening. Aku bersiul-siul kecil dalam hati memandang keluar kaca mobil dan memainkan ujung sweater-ku. Benar-benar situasi yang sangat aku benci. Terjebak di antara orang-orang menyebalkan pagi ini yang telah mempertemukanku dengan laki-laki asing di sebelahku. “Sambil nunggu waktu kuliah, kita ke tempat makan dulu, yuk! Sarapan!” suara Risa memecahkan keheningan. “Oke,” timpal Dion. Aku mengambil napas berat. Aku benci laki-laki. Pintu terbanting dengan keras. Aku yang baru pulang dengan seragam putih abu-abu ku, segera berlari menuju kamar dan menguncinya. Entah ini ke berapa kalinya aku mendengar papa dan mama bertengkar. Kututup kedua telinga dari suara-suara nyaring yang menyakitkan indra pendengaranku. Tidak pernah sekali pun terlintas hal pahit ini harus terjadi di keluargaku. Keharmonisan yang lama terajut perlahan mulai memudar. Semuanya berubah begitu cepat semenjak papa bertemu dengan wanita itu. Ya, wanita yang kutahu adalah simpanannya. Ingin sekali kucabik-cabik wajah nista itu dengan kedua tanganku. Papa mudah sekali naik darah dan dengan ringannya telapak tangan yang dulu lembut itu mendarat di pipi mama dengan keras. Dan untuk pertama kalinya hatiku, perasaanku, membenci orang yang dulu sangat kucintai, kusayangi, dan kuhormati. Aku benci papa! PRAANGGG!!! Suara pecahan guci mengalihkan perhatian papa dan mama yang tengah beradu mulut. Aku hancur ketika butiran bening keluar begitu deras dari kedua sudut bola mata mama. Pandanganku lantas beralih pada papa yang berwajah merah padam dengan tangan di udara. “Apa-apaan kamu, Manda? Keluar!!” Kata-kata papa tak mampu membuatku beranjak seinci-pun. “Manda! Kamu dengar kata Papa? KELUAR!” Dari pandangan nanarku, papa mulai beranjak dan tangan kasarnya mencengkeram lenganku, berusaha menarikku untuk keluar dari ruangan yang dianggap kekuasaannya. Saat sampai di muka pintu, dengan keberanian yang tak pernah hinggap sebelumnya, aku berhenti dan mengibaskan cengkeraman papa. Pancaran mata papa yang menyala-nyala seakan memberiku energi untuk memperkuat emosiku, memancing amarahku, mempererat kebencianku. “MANDA! Apa kamu mau Papa berlaku keras padamu? Jangan ikut campur urusan orang tua! Kamu dengar apa yang…” Dengan cepat aku memotong kata-kata papa, “Bagaimana aku tidak ikut campur? Yang kalian lakukan hanya bertengkar! Aku sudah capek, Pa, aku tidak bisa sabar lagi mendengar teriakan-teriakan kalian! Apa Papa tidak sadar aku harus belajar untuk nilai sekolahku?!” Aku berhenti sejenak dan bersamaan dengan itu telapak tangan papa tertahan di udara. “Silakan Papa tampar aku!tampar aku! Tampar aku jika itu bisa membuat Papa puas dan tidak menyakiti Mama lagi. Papa pergi saja dengan selingkuhan Papa itu!” Plakk!! Aku hampir terhuyung saat telapak tangan papa dengan keras mendarat di pipiku. Dengan setengah tersenyum aku memandang sinis ke arahnya. “Makasih, Pa! Papa sudah menghancurkan kasih sayangku padamu dan membuatku benci. Pergilah dengan wanita yang kini adalah segalanya bagimu. Pergilah! Tinggalkan kami orang-orang yang sudah lama bersamamu, yang kini telah Papa sakiti!” untaian kata-kata itu begitu ringan mengalir dengan pelan. Aku tak mendengar papa menimpali. Tapi, lima detik kemudian daun pintu tertutup dengan keras. BLUG! Aku benci laki-laki itu, aku benci papa. Mama menarikku dalam pelukan dan isak tangisnya. Aku tahu, perasaan mama yang hancur, kecewa. “Ma, aku benci Papa!” “….” “Manda!” goncangan di bahu dan suara Risa membawaku pulang dari memori lama. “Eh, mmm….” kupandangi bergantian dua orang di depanku, Risa dan Dion. “Kamu melamun, ya?” tanya Dion disusul dengan memasukkan sepotong roti ke mulutnya. “Tidak.” “Dari tadi kamu hanya mengaduk-aduk dan menatap kosong sarapanmu. Ada masalah?” entah kenapa firasatku mengatakan laki-laki yang baru kulihat ini begitu khawatir. “Tidak, tiba-tiba saja kepalaku terasa berat,” timpalku dengan senyuman samar. Aku menghirup aroma cappucino yang hampir dingin dan meneguknya. Ah, tiba-tiba rasa kopi favoritku ini berubah tidak senikmat biasanya. Rasa pahit masa lalu terasa ikut melebur ke dalamnya. Tak lama kemudian, aku beranjak dan mengaitkan tas di bahu. “Ayo ke kampus!” tukasku yang membuat Risa dan Dion saling berpandangan heran. “Sekarang?!” timpal mereka bersamaan. “Manda, tunggu! Setidaknya kita habiskan sarapan kita dulu, oke?” pinta Risa yang membuatku semakin tidak bergairah. “Kamu setidaknya makanlah sedikit. Nanti kita bisa pergi ke dokter setelah ini,” tambah Dion. Aku mengambil napas berat. Memang, tak akan pernah ada yang mampu memahami diriku selain aku. “Kalau begitu kalian lanjutkan saja sarapannya, aku akan berangkat lebih dulu!” tanpa ingin mendengar jawaban keduanya, aku segera berlalu. “Manda, kamu itu kenapa? Dari pagi kamu dingin seperti ini terus!” pernyataan Risa yang terdengar di antara celah derap langkah kakiku terdengar miring. Kulalui semua mata kuliah hari ini dengan setengah hati. Ya, ulah Risa yang membawa laki-laki asing itu merusak aura semangatku. Ditambah dengan memori masa lalu yang tiba-tiba saja teringat kembali pagi tadi. “Manda, kamu marah padaku gara-gara Dion?” langkahku terhenti seketika. “Aku harap kamu tidak melakukan hal seperti itu lagi, Risa,” timpalku pelan seraya menatap bola mata teduh itu. Aku mengenal Risa begitu dekat. Tali persahabatan yang terjalin sejak putih abu ini membuat kami seperti saudara. Dan Risa adalah orang yang tahu seberapa pelik jalan kehidupanku. Dia satu-satunya yang tahu bagaimana hancurnya perasaanku yang sampai saat ini masih menyisakan luka menganga. Dan ulah Risa yang entah ke berapa kalinya—setahun terakhir ini—kutahu untuk mencoba menyamarkan masa laluku. “Tapi, Manda, kamu tahu maksudku, kan? Ini sudah setahun lebih semenjak kepergian Riza, dan selama itu pula kamu tak bisa melihat masa depan hatimu. Kamu harus move on, Manda! Kamu harus mencari seseorang untuk masa depanmu. Kamu harus tahu, tidak semua laki-laki seperti Tian, Riza, dan Papamu. Kamu mengerti maksudku, kan?” penjelasan Risa membuat pandanganku sedikit kabur dan degup jantungku semakin keras menahan emosi yang entah dari mana ingin cepat menyeruak. “Terima kasih untuk usahamu, Risa. Tapi, tak mudah bagiku melupakan kesakitan itu. Aku tak percaya cinta. Dan aku tak percaya pada yang namanya laki-laki. Kepercayaanku akan cinta sudah menjadi butiran halus yang tidak mungkin utuh kembali, Risa. Semuanya tak semudah yang kamu kira,” air mataku jatuh tepat pada kata terakhir yang disusul dengan langkahku yang berbalik dengan cepat. Tuhan, andai dulu aku tidak terlalu percaya dan tidak beberapa kali merasakan kepahitan cinta, mungkin aku tidak akan serapuh dan sesakit ini. Sampai aku tak mampu kepakkan sayapku kembali.