
by Titikoma

Dua Belas
Ketika masa lalu perlahan hadir kembali, tak ada jalan lain kecuali memperbaikinya dan bukan hidup kembali di celahnya “Semalam kamu kenapa, Manda? Tante benar-benar dibuat khawatir olehmu,” ungkap Tante Yuni seraya menuangkan segelas air putih ke dalam gelas, lalu memberikannya padaku. Aku tidak langsung menimpali. Setelah menutup pintu, dadaku terasa sesak dan tubuhku merosot ke lantai. Aku tidak bisa mendengar kalimat cemas Tante Yuni saat mendapatiku di dekat pintu. “Saat pesta Bunda Anna, aku melihat Riza, Tante. Dan semalam… dia datang ke sini,” imbuhku dan berharap aku tidak bertemu dengannya lagi. “Manda, berarti kamu belum memaafkannya. Bila kamu sudah tulus melupakan kesalahannya, kamu tidak akan terlihat sakit lagi seperti ini. Kamu tidak akan merasakan jiwamu kosong kembali,” Tante Yuni duduk di sebelahku dan menggenggam erat kepalan tanganku yang dingin. “Aku sedang mencobanya, Tante. Tapi, kenapa dia harus datang lagi dan mengatakan hal yang membuatku rasanya semakin membenci?” pandanganku mulai nanar. Sekuat tenaga kutahan genangan bening ini tidak kembali membuncah. “Terkadang hidup seperti mempermainkan. Tapi, cobalah kau pahami, akan selalu ada pelajaran yang dapat kita ambil darinya. Kejadian ini membuatmu semakin kuat, Manda. Percayalah, kamu akan menemukan kisah akhir yang bahagia,” ujar Tante Yuni menyemangatiku. Aku hanya tersenyum tipis, lalu beranjak untuk menikmati udara pagi di taman halaman rumah. Baru saja daun pintu terbuka setengahnya, sebuah bingkisan yang sama seperti kemarin seperti baru saja tersimpan. Kusebarkan pandangan ke seluruh halaman, berharap sosok misterius itu berhasil kutemui. Sebuah tubuh tegap dengan jaket hitam yang membungkus tubuh, ditambah sebuah topi yang menghalangi wajahnya saat berbalik mendengar teriakanku. “Hei, tunggu!” Sesosok laki-laki yang belum sempat kukenali itu bergegas mengambil langkah cepat menuju pagar. Dengan susah payah kususul laki-laki berstelan hitam itu hingga ke jalan raya. Entah apa yang aku pikirkan, hanya saja rasa ingin tahuku begitu membludak. Jalanan cukup ramai, membuatku sulit mengejarnya supaya mendapat jarak lebih dekat. Hingga akhirnya… BUKK!! Sesuatu yang keras menghantam tubuhku. Beberapa saat masih terdengar riuh banyak orang yang menghampiri. Tubuhku yang sudah terambruk di aspal ingin kubawa bangun. Namun, mendadak rasa sakit menyerang kepalaku dan semuanya berubah gelap. “Tidak perlu khawatir. Nona Manda hanya terkena cedera ringan. empat atau lima hari dirawat di sini dia bisa pulang,” samar-samar kudengar seseorang berbicara saat kelopak mataku perlahan terbuka. “Syukurlah,” timpal Tante Yuni dengan nada leganya. “Aku di mana?” tanyaku dengan suara serak. “Kamu di rumah sakit, Manda. Syukurlah kamu sudah sadar. Kamu tidak perlu khawatir. Kata dokter, lukamu tidak serius. Tapi, kamu butuh istirahat dulu di sini beberapa hari.” Kepalaku kembali terasa sakit. Aku mencoba mengingat kejadian yang membuatku sampai bisa terbaring di ranjang ini. Ingatanku terpaku pada sosok laki-laki yang sedang kukejar. Ya, laki-laki yang membuatku tak hentinya memintal rasa penasaran. “Laki-laki itu… di mana?” Kulihat Tante Yuni terdiam. Aku bisa menebak bahwa dia seolah tahu sesuatu dan mencoba menyembunyikannya dariku. “Tante, Tante tahu kan siapa orang itu?” aku kembali bertanya dengan nada mendesak. “Dia ternyata orang yang selalu mengkhawatirkanmu selama ini. Dia yang selalu menyimpan bingkisan sarapan setiap pagi dengan pesan yang sama. Dia juga yang membawamu ke sini dan sebenarnya ingin ikut menjagamu di sini. Tapi, biarlah nanti dia sendiri yang datang tanpa Tante yang bicara.” Tubuhku terasa membeku. Apa sebenarnya maksud semua ini? Tiba-tiba pintu terbuka. Risa masuk dengan wajah cemas dan langkahnya yang tergopoh-gopoh. “Manda… kamu… tidak apa-apa?” dengan napas tersengal Risa langsung menghampiriku yang masih terbaring kaku. “Aku tidak apa-apa. Bagaimana kamu bisa tahu aku di sini?” tanyaku heran. Tante Yuni keluar, membiarkanku bersama Risa dan menikmati rasa penasaran yang terus menusuk di otakku. “Itu tidak penting. Yang terpenting sekarang, kenapa kamu bisa melukai dirimu sendiri seperti ini? Untung saja kakimu tidak patah,” omelnya. Aku hanya terkekeh dan tiba-tiba teringat sesuatu. “Kamu tidak memberi tahu Dion, kan?” tanyaku berharap mendapatkan jawaban ‘tidak’. Risa tersenyum aneh. Aku mengembuskan napas frustasi. Sudah bisa kutebak bahwa lima menit lagi laki-laki itu akan datang padaku. Benar saja, bahkan belum sampai lima menit laki-laki yang akhir-akhir ini membuatku gelisah datang dengan napas yang memburu. “Manda, kamu tidak apa-apa? Apa lukamu sangat parah?” tanya Dion panik. “Aku baik-baik saja, hanya cedera ringan,” timpalku datar lalu menatap ke arah Risa, “Apa yang sudah kamu katakan padanya?” “Dia bilang kamu tabrakan dan luka parah. Jadi, aku segera datang dan meninggalkan rapat keduaku,” cerita Dion membuat rasa bersalah mengendap di hatiku. “Sepertinya kamu berharap kondisiku sekritis itu!” tudingku pada Risa yang langsung gelagapan. Ah, rasa gelisah kembali menyeruak. Aku berharap Dion tidak kembali mengungkit pembicaraan tempo itu. Pembicaraan yang sang senja hampir mengupingnya. “Tapi, syukurlah… setidaknya kamu tidak terluka parah. Aku sangat khawatir,” ungkap Dion yang terlihat jelas gurat khawatir terlukis di wajahnya yang sedikit pucat. Aku hanya tersenyum samar. Entah apa yang selalu dipikirkan laki-laki dengan senyum khasnya ini tentangku. “Aku baik-baik saja, Di. Tadi kamu bilang sedang rapat, ya? Kamu bisa pergi sekarang,” kilahku seraya menekan getaran yang terpantul dari suaraku. Kulihat laki-laki itu tersenyum seraya menimpali, “Aku akan menunggumu di sini.” “Manda, Tante pulang dulu sambil membawa pakaianmu, ya. Nanti siang Tante datang lagi ke sini bersama Dina. Risa, tolong jaga Manda dulu ya?” ujar Tante Yuni menyembul dari balik daun pintu. Risa menjawabnya dengan mengangguk. “Kalau begitu aku keluar dulu untuk membeli sarapan, mumpung Dion di sini,” Risa lalu beranjak mencoba meninggalkanku dengan Dion yang tidak lepas menatapku. “Kamu istirahatlah, aku akan menelepon kantor dulu. Mungkin Papa sedang mencariku sekarang,” Dion menarik selimut sampai menutupi dadaku, aku membalasnya dengan senyum simpul. Hening merajai setiap ruangan rawat inap yang aku tempati. Hanya suara pelan Dion yang terdengar serta yang kuyakini sengaja supaya tidak menggangguku. Kutatap sosoknya yang tinggi dan tegap. Ada rasa bersalah yang terselip di sudut hatiku untuknya. Rasa bersalah yang tanpa kumau membuat laki-laki itu menjadi seperti ini. Andai Dion tidak bersikap sedekat ini, mungkin semuanya terasa lebih mudah. Ah, sudahlah. Terlalu banyak kepingan kehidupan yang selalu menjadi misteri dan bejibun di memoriku. Aku menutup kelopak mataku, berharap saat terbangun semuanya sudah berubah, tak lagi serumit yang aku pikirkan. Aku terbangun saat seorang perawat mengecek ulang kondisiku. “Manda, kamu sudah bangun? Kamu makan dulu ya, nanti langsung minum obat. Risa dan Dion masih di sini. Tante mau lihat Kafe Cake dulu sambil menjemput Dina sekolah,” ujar Tante Yuni seraya tersenyum lalu menghilang di balik pintu. Aku melirik jam yang menggantung di dinding bercat kuning gading. Hampir jam dua siang, dan Dion masih belum juga beranjak. “Ayo Manda, makan dulu. Aku suapin, ya,” aku mengangguk pelan menerima tawaran Risa. Baru saja suapan pertama, Risa mengeluh, “Aduh, aku harus keluar dulu, lupa ada yang harus aku kerjakan. Dion, tolong bantu Manda menghabiskan makanannya ya?” Bola mataku membulat. Tanpa meminta persetujuanku, Risa mengalihkan pekerjaannya pada Dion yang tentu saja tidak akan menolak. Wajahku kembali memanas. Andai bisa kuputar waktu, mungkin lebih baik aku tidak berlari menyusul laki-laki bertopi itu sampai akhirnya harus mendapati potongan waktu yang seperti ini. Dan saat aku mencoba membuka mulutku, suara kenop pintu kembali terdengar. Kenapa Risa datang secepat ini? Aku mencoba mengintip. Aliran darahku terasa berhenti seketika saat tahu siapa yang datang. Degup jantungku kembali terdengar tak jelas. Riza. Laki-laki itu lagi. Dia tidak sendiri. Apa aku tidak salah lihat? Ada sosok Sophi di belakangnya. Dion langsung kembali menurunkan sendok makan dan beralih berdiri di samping ranjangku. “Manda, kamu baik-baik saja?” sapa Riza dengan sebuket mawar merah di tangannya. Aku tidak menyangka kecelakaan ringanku langsung menyeruak cepat hingga sampai ke telinga Riza—yang sama sekali tidak aku harapkan kehadirannya. Termasuk wanita di sampingnya yang menatap dingin ke arahku. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyaku datar. “Kakakku memaksaku datang bersamanya ke rumahmu tadi, tapi tidak ada siapa-siapa. Menurut orang di sekitar sana, kamu dibawa ke rumah sakit,” tutur Sophi. Jadi, Sophi adalah adik dari Riza? Ah, aku benar-benar baru tahu. “Manda, kamu belum menjawab pertanyaanku. Apa kamu baik-baik saja?” Riza mengulangi pertanyaanya. “Sangat baik seperti yang kamu lihat.” Dari sudut mataku, Dion tampak bergeming. Dia tahu perubahan suara dan sikapku saat Riza dan Sophi datang. Dan mungkin karena itu, Dion tidak beranjak seinchi pun dari samping pembaringanku setelah meletakkan mangkuk makananku. “Sophi, kamu bisa tunggu Kakak di luar,” ujar Riza dan langsung diiyakan oleh Sophi, yang kebetulan seolah sangat jengah berada di ruangan perawatanku. “Kamu, bisakah membiarkan aku di sini berdua bersama Manda? Ada hal penting yang ingin kami bicarakan,” kali ini kalimat Riza ditunjukkan pada Dion. Air muka Dion berubah. Dan untuk kali ini, aku berharap Dion tetap di sampingku. “Sepenting apa itu sampai aku harus keluar?” timpal Dion tenang dengan menekan sedikit emosinya. Aku tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Tenggorokanku tercekat. “Sangat penting, karena ini menyangkut masa depan kami.” Apa?! Masa depan? Tak ada yang perlu dibicarakan tentang masa depan. Sejenak Dion tampak berpikir. Laki-laki yang masih berstelan kemeja dengan dasi itu lalu perlahan beranjak. Dengan cepat kuraih pergelangan tangan Dion dengan tanganku yang terikat infus. Lewat binar mata, aku seolah berkata jangan pergi, aku takut. Dion menatap teduh ke arah bola mataku lalu tersenyum. “Maaf, tapi sepertinya kamu datang di saat yang tidak tepat. Manda tidak bisa diganggu dulu dengan perbincangan-perbincangan yang menurutmu penting itu. Manda tidak dalam kondisi yang baik. Sekarang dia juga harus meminum obatnya dan istirahat. Jadi, sabarlah sampai menunggu Manda pulih,” urai Dion yang langsung memahami maksudku. Aku sedikit bernapas lega. Laki-laki ini memahamiku. “Baiklah. Tapi, kamu siapanya Manda? Kamu bukan pacarnya, kan?” selidik Riza yang membuatku semakin muak melihatnya. Apa pentingnya mengurus kehidupan orang lain? “Entah hubungan apa pun itu, bagiku ini bukan urusanmu,” butiran bening hampir menetes dari sudut mataku. Rasa kesal yang dulu pernah tertoreh untuknya sekarang benar-benar sirna. Dia tidak seperti yang kubayangkan. Dia lebih memahamiku dan perasaannya tidak membutakannya hingga menjadi sebuah keegoisan. Riza menatap Dion dengan tatapan yang tajam. “Baiklah, aku pergi dulu. Semoga lekas sembuh, Manda,” tutur Riza dan berlalu pergi. Aku sudah mencoba memaafkan dan melupakan sakit yang pernah kamu berikan. Tapi, kenapa sosokmu malah hadir kembali saat ini dengan sikap lebih mengecewakan, Za?