
by Titikoma

Delapan Belas
Cinta adalah sebuah penerimaan, ketulusan, dan pengorbanan. Namun, bukan sebuah kesalahan. “Kamu baik-baik saja, Manda?” tanya Tante Yuni. Aku dengan cepat mengangguk. Sebenarnya, tidak ada yang baikbaik saja. Nama Dion selalu saja melayang mengganggu pandanganku. Beberapa kali kuyakinkan diriku bahwa semua akan baik-baik saja. Ini berbeda dengan Riza, terlebih karena aku sedikit peduli dengan perasaan Dion. Aku tidak ingin membuatnya terluka, itu saja. “Ekhem… Manda, kamu dan Juna ada hubungan apa? Kalian…” Tante Yuni menyatukan kedua ibu jari dan telunjuknya hingga membentuk love. “Eh?” aku seketika gelagapan. Semua gara-gara Juna yang menyuruhku menunggunya di rumah Tante Yuni, sedang dia menyelesaikan pekerjaannya. Baru saja aku membuka mulut untuk berkata “tidak”, Juna yang baru sampai di muka pintu langsung menyerobot, “Iya, Tante. Doakan saja supaya dia tak bosan padaku.” “Benarkah? Benarkah Manda menerimamu, Juna? Apa yang sudah kamu lakukan sehingga mampu menaklukan hati Manda? Kalian tidak sedang mengerjai Tante, kan?” “Tidak, Tante. Serius. Nah, Aku dan Manda pamit dulu. Sudah hampir malam. Tapi, ngomong-ngomong Tante benar. Hati Manda sangat sulit ditaklukkan. Aku saja harus menunggu Dewi Fortuna berada di pihakku,” aku langsung mencubit lengan Juna dengan keras lalu membawanya keluar. “Apa hanya aku yang selalu mendapat siksaan fisik darimu seperti ini? Sshh…” ringis Juna seraya mengusap lengannya yang kini terlihat merah. Sepertinya cubitanku memang terlalu keras. Aku tidak menimpalinya, bahkan dengan wajah seolah tanpa dosa aku menarik pintu depan mobil Juna, masuk, dan duduk dengan manis. Semburat jingga sudah terlihat memayungi dari kaki langit Barat. Begitu damai. Kuharap perasaan laki-laki dengan senyum khas itu pun akan sedamai itu nanti. Tanpa berkata apa-apa Juna langsung mengemudikan mobil hitam miliknya. Aku membuka jendela, membiarkan embusan angin menerpa wajah. “Kamu benar-benar akan melakukan ini? Maksudku… kamu tidak akan menyesal karena menolak Dion? Menurutku dia laki-laki yang baik, tampan, dan meskipun masih muda dia sudah mapan. Dilihat dari caranya mencintaimu pun, aku yakin dia tidak akan menyakitimu.” Aku mendengus. “Sudah kubilang, aku yang tidak ingin menyakitinya. Setelah apa yang pernah kualami, aku belum bahkan tidak berani membuka hati untuk perihal perasaan seperti itu lagi.” “Lalu, kamu akan melajang terus selamanya?” Aku membisu. Sejak pertama kali memikirnya, itu bukan hal yang buruk, setidaknya bagiku. “Kamu serius akan melajang selamanya? Ah, aku benar-benar tidak bisa memahami maksudmu. Bukankah semuanya sudah selesai? Bukankah masa lalumu sudah tidak mengganggumu lagi?” “Lalu, apakah dengan itu ketakutan dan luka bisa sembuh seketika?” “Tentu saja, jika kamu memang membiarkan orang lain masuk dan mengobatinya.” “Bagaimana dengan Sophi?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan, mengabaikan kalimat Juna yang sebelumnya. Bukan karena tidak ingin membahasnya, tapi aku benar-benar kehilangan kalimat untuk menanggapinya. Aku selalu kalah. “Yah… tidak mudah seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Bahkan aku khawatir rambutmu akan dijambaknya nanti. Tapi, tunggu, bukankah aku lebih tua dua tahun darimu? Seharusnya kamu memanggilku dengan sebutan Abang, Kakak, Mas, atau dalam panggilan Sunda… Aa.” Aku terkesiap. “Rasanya aneh. Aku lebih enak memanggilmu Pak Dosen.” “Di luar kampus aku bukan dosen. Kamu harus lebih sopan, oke? Coba panggil aku dengan baik!” perintahnya. Aku menggurutu dalam hati sekaligus geli. “Om Juna!” “Hei, kenapa tidak panggil Eyang Juna saja sekalian?!” protesnya. Bibir tipisnya mengerucut seperti ikan koi, sedang kedua matanya memicing kesal. Seketika tawaku pecah. Tawa yang terdengar keras hingga air mataku sedikit merebak. Aku baru tahu dia memiliki sisi yang lucu. “Hei… ka… kamu kenapa? Kamu baik-baik saja, Manda?” tanyanya seraya menepikan mobil. Aku tidak bisa menjawab, tawaku seolah tidak memiliki pedal remnya. “Manda, hei, jangan membuatku takut.” “Haha… kenapa? Aku baru tahu kamu jelek sekali.” Tidak mungkin aku mengatakan dia lucu, bukan? Dia pasti akan langsung mem-bully-ku. “Kenapa? Kenapa menatapku seperti itu?” aku perlahan menormalkan perasaanku saat pandangan Juna menghadap ke arahku, seolah dia sedang melihat sesuatu yang asing. “Kamu tertawa?” Aku mengerutkan kening. “Menurutmu? Apa aku sedang tersedak ikan cumi?” “Sungguh, ini pertama kalinya aku melihatmu tertawa,” wajahnya masih menunjukkan ketidakpercayaan, “Kapan terakhir kali kamu tertawa?” “Entahlah, aku lupa. Rasanya bibirku juga terasa kaku sekarang. Memangnya kenapa? Aku tidak boleh tertawa? Ada larangan keras untukku tertawa?” protesku galak. “Tidak… tidak. Aku hanya memberimu pesan supaya tidak tertawa seperti itu lagi di hadapan orang lain, terlebih lagi di hadapan seorang laki-laki.” “Kenapa? Apa saking jeleknya aku saat tertawa?” “Bukan, karena kamu akan terus meminta bantuanku untuk menolak perasaan mereka.” “Heh?” 118 116 Risa benar, Dion datang tepat lima belas menit setelah aku dan Juna tiba di rumah. Dia memakai kemeja putih lengan panjang yang digulung sampai siku. Celana jeans hitam dan sepatu pantopel berwarna senada. Dia memang terlihat tampan, dewasa, dan berkharisma. Padahal dia lebih muda dariku satu tahun. Ya, aku mulai kuliah setelah dua tahun rehat dari masa SMA. “Ekhem… sebenarnya ada sesuatu hal yang ingin aku sampaikan, Manda,” Dion mulai ke inti pembicaraan setelah basa-basi sebentar. Aku mencoba mengatur desahan napasku, berpura-pura tidak tahu apa-apa tentang maksud kedatangannya ini. Sesekali aku merutuki Juna dalam hati. Laki-laki bergigi ginngsul itu malah sedang asyik di dapur dengan alasan menyiapkan makan malam. Dia seakan lupa bahwa aku membawanya ke sini bukan untuk memasak. Dan lagi, dia sama sekali tak acuh saat Dion datang menekan bel dan sekarang sudah duduk di depanku. Seharusnya aku memang tidak perlu meminta bantuannya yang juga seolah terus meledekku sejak aku tanpa sengaja tertawa di depannya. “Manda,” panggil Dion yang merebut kembali kesadaranku. “Ya?” “Aku yakin kamu pasti tahu alasan di balik sikapku selama ini padamu. Sejak Risa mengenalkanmu, entah kenapa hatiku benar-benar tercuri, dan ini… cinta pertamaku.” Aku tertegun. Cinta pertama? Berarti aku akan melukai perasaan yang baru mengenal apa itu cinta? “Aku berharap kamu tidak berpikir bahwa aku sedang membual. Aku sungguh-sungguh. Selama ini tidak ada satu pun yang benar-benar bisa mengambil hatiku. Namun, pertama kali melihatmu, melihat wajahmu, melihat kecuekanmu, entah kenapa itu membuatku terpesona. Haha… maafkan aku, kedatanganku ke sini juga di luar dugaanku. Aku hanya ingin menyampaikan dan memperjelas semuanya. Aku sungguh-sungguh mencintaimu. Aku ingin membahagiakanmu. Apakah kamu percaya padaku?” Lagi-lagi kedua mataku mengembun. Hatiku terus berseteru. Aku takut dan tidak tega menyakitinya, tapi aku lebih takut lagi untuk membangun kisah cinta. Apalagi dalam ikatan yang serius. Aku benar-benar takut. “Manda…” suara lembut Dion menjatuhkan bulir pertama air mataku. Dari sudut mataku kulihat Dion mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya. Sepertinya aku tahu apa yang dibawanya, maka dengan suara yang sedikit bergetar aku langsung berkata, “Maafkan aku, Di.” Kata-kataku sukses membuat tangan Dion tertahan. “Maksudmu?” “Ekhem… sayangnya aku lebih dulu darimu, Di,” Juna keluar dari arah dapur dan mengambil duduk tepat di sampingku. Aroma parfum yang bercampur dengan aroma masakan menyeruak memasuki indra penciumanku. “Maksudmu?” Dion mengulang pertanyaan yang sama, terlihat jelas bagaimana terkejutnya dia saat melihat sosok Juna. “Bukankah kamu sudah dijodohkan dengan Sophi?!” “Kata siapa? Tidak. Perjodohan itu hanya gosip semata. Aku tidak menyukainya, Bunda juga begitu. Aku hanya menyukai wanita dingin ini. Aku mengerti jika kamu juga mengakui pesona Manda. Tapi, maafkan aku, Di. Dia adalah milikku sekarang,” Juna lalu menatap hangat ke arahku. Seolah teringat sesuatu, dia merogoh sesuatu di balik saku celana jeans biru tuanya. Sebuah kotak beludru berwarna merah hati. “Maafkan aku karena yang kemarin kamu kurang suka. Yang ini kamu suka, kan?” Aku hampir kehilangan kesadaranku saat sebuah emas putih melingkar dingin di jari manisku. Adegan seperti ini tidak pernah dibicarakan sebelumnya. Menurutku Juna terlalu berlebihan. “Hah?! Apa aku tidak salah lihat? Ap… apa?! Aku tidak percaya dengan semua ini,” raut kecewa terlukis di wajah Dion. Kedua matanya terlihat sedikit mengembun. Maafkan aku, Di. “Tidak. Kuharap kamu mengerti, Di,” ungkap Juna dengan nada serius. Aku tidak menyanggah ataupun mengiyakan semuanya. Pipiku memanas. Degupan jantungku berada di atas batas normal, ditambah pula dengan desiran halus yang mengalir di seluruh syarafku saat cincin bermata bening itu disematkan Juna di jariku. Lima menit berlalu dengan hening, yang terdengar hanya desahan napas Dion yang kasar. Wajahnya menunduk, ditutupi oleh kedua telapak tangannya. Dia kecewa, sudah pasti. Tapi aku lebih takut lagi membuatnya semakin kecewa. “Manda, apa kamu memang mencintai Juna?” tanyanya serak. Aku menggigit bibir. Aku tidak suka dengan sebuah perasaan yang saling mengecewakan seperti ini. Hanya ada luka, air mata, dan pudar lukanya pun akan terasa sangat lama. “Ya.” Dion tertawa hambar. “Padahal aku sudah berencana untuk melamarmu malam ini. Kenapa kamu harus mendahuluiku, Juna?! Andai ini bukan kamu, rasanya ingin kuremukkan tulang-tulangmu sekarang juga.” “Bukankah kita tidak bisa menyalahkan takdir? Rusellia Allamanda adalah takdirku dan aku adalah takdirnya. Its simple.” Tunggu, bagaimana Juna tahu nama lengkapku? Dion balik menatap Juna bingung. “Astaga, kamu bahkan tidak tahu nama lengkap wanita yang ingin kamu lamar? Ah, kamu memang masih bocah, Di. Aku paham. Lagipula kamu tidak perlu tahu juga. Aku lebih suka tak ada orang lain yang menyebut nama lengkapnya,” Juna tertawa. Lagi-lagi aku hanya bisa memasang wajah polos. Aku seolah benar-benar tidak tahu sosok sebenarnya lakilaki yang kujadikan kekasih palsuku ini. “Ah, sudahlah. Memang benar cinta pertama selalu berakhir patah,” sesal Dion. “Tapi, setidaknya kamu sudah mengungkapkannya, bukan? Itu sedikit melegakan. Manda juga menghargainya tanpa pernah berniat menyakitimu. Tidak mungkin dia memilih atau meninggalkan kita berdua.” “Lalu, kenapa kamu tidak mundur dan mengalah padaku?” Buk. Bantal sofa dilemparkan Juna sehingga mendarat di wajah Dion. “Aku orang paling egois untuk urusan memiliki.” “Ya… ya, aku juga menghormati keputusan Manda. Ini resiko jatuh cinta, aku tahu,” Dion balik menatapku, “Setidaknya aku berterima kasih padamu karena telah membuatku merasakan apa itu cinta sebenarnya. Kalau kamu memang mencintainya, aku menerima. Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu, Manda. aku kecewa, tapi kebahagiaanmu lebih utama dari segalanya.” Aku membaca ketulusan dari bola mata cokelat Dion saat mengucapkan kalimat itu. Tak ada kebohongan dan itu cukup membuatku menangis haru. Ah, aku baru sadar akhir-akhir ini kedua mataku mudah sekali menangis. Aku belajar banyak darinya. Cinta bukanlah sebuah keegoisan, bukan pula sebuah kesalahan, melainkan sebuah pengorbanan dan keikhlasan. Sebuah senyum terukir di bibirku. Aku bahagia. Aku juga lega Dion menerima semuanya, mungkin ini juga karena Juna masih saudara dengannya. Juna, untuk laki-laki itu, dia memiliki banyak sisi yang mampu mengubah orang di sekitarnya. Ya, bahkan dia membuat Dion sedikit lebih tenang. “Terima kasih, Di, untuk semuanya. Aku juga minta maaf jika selama ini membebanimu,” ucapku mengakhiri semuanya. “Tidak perlu, Manda. Juna, awas kalau kamu menyakiti Manda! Tidak hanya Manda yang akan kuambil, jantungmu juga akan kuambil!” “Haha… memangnya aku terlihat tipe laki-laki semacam itu? Sudahlah. Aku sudah menyiapkan makan malam. Kamu mau ikut?” tawar Juna yang langsung ditampik Dion, “Kamu mau aku menjadi obat nyamuk kalian? Aku harus pergi untuk mengobati lukaku karenamu.”