Hafidz Cerdik

Reads
71
Votes
0
Parts
7
Vote
by Titikoma

Terperangkap

Setelah berjalan jauh memasuki daerah yang banyak pohon-pohon

besar, sekarang Adnan berada di tengah-tengah bentangan sawah yang

sangat luas. Tampak di depan sudah terlihat satu rumah yang tidak terlalu

kecil dan tidak terlalu besar. Rumah itu terlihat seperti sudah lama tidak

berpenghuni, tapi di depan rumah itu masih banyak terdapat tanamantanaman hias yang terawat, tampak mekar bunga mawar berwarna putih

dan biru, bunga bugenvil dan uniknya terdapat pula beberapa pot yang

terdapat tanaman kaktus.

“Emmm! Emmm!” Adnan berusaha untuk berbicara.

“Hush! Eh bocah, kamu diem saja dulu!” bentak Bang Jono.

“Akhirnya kita sampai juga di sini, Bang. “ Kata Zuki, “tidak ada seorang

pun yang bakalan bisa menemukan kita di sini, Bang. Tenang saja, lagian

mau teriak-teriak sekenceng mungkin nggak ada yang bisa mendengarkan

teriakan kita,” lanjut Zuki.

“Benar, Zuk. Paling juga hanya burung-burung itu yang tahu,” sahut Bang

Jono.

“Ha ahaha hahaha,” tawa Zuki dan Bang Jono merasa puas.

“Cepetan buka pintunya!” suruh Bang Jono.

“Beres, Bang,” jawab Zuki. Setelah pintu terbuka Zuki dan Bang Jono

membawa Adnan masuk ke dalam.

“Waaah, gedhe juga nih rumah, Zuk,” kata Bang Jono.

“Ya, lumayanlah, Bang.” Kata Zuki

“Gimana caranya kamu dapetin nih rumah?” tanya Bang Jono

“Yaelah, Bang. Zuki belum sempat cerita, ya?”

“Kapan kamu cerita ke saya? Curhat saja kamu nggak pernah.”

“He he he hehehe, bener juga. Jadi gini Bang, sebenarnya ini adalah

rumah warisan dari kakek buyut Zuki, memang sih nggak ada yang mau

tinggal sini, lihat saja masak iya mau tinggal sendirian di sini, nggak ada

tetangga satupun. Sebelum ke kota, Zuki sempat tinggal di sini selama

beberapa bulan, saat Zuki sedang patah hati di tolak sama calon mertua

Zuki, jadi intinya sekarang kita masih ada di desa Zuki di mana Zuki dulu

tinggal,” jelas Zuki panjang lebar.

“Wah wah wah. Hebat ternyata kamu, Zuk. Kamu sudah merencanakannya

dengan baik, kenapa nggak bilang-bilang dari kemarin?”

“Bener apa kata Zuki kemarin kan Bang, Bang Jono nurut saja sama Zuki

masalah ini. Sekarang rencana selanjutnya terserah Bang Jono. Apa

rencana selanjutnya Bang?”

“Rencana kita selanjutnya adalah... Kita sekarang harus tidur,” jawab Bang

Zuki sambil cengengesan.

“Hah? Tidur? Yang benar saja Bang?”

“Halah, Zuk. Kamu gak capek? Nyupir dari Jakarta ke sini, setelah itu dari

Paciran ke sini? Aku mah capek sekali Zuk, meski kamu tahu aku hanya

duduk-duduk manis di bangku mobil. Sudah, istirahat dulu, lah. Nih bocah

nggak bakalan bisa kabur dari kita.”

“Baiklah, Bang. Bang Jono benar juga, Zuki mah capek sekali, Bang.”

“Ya sudah, kita tidur di sini saja, nih bocah pasti gak bakalan bisa lepas.

Cepet iket yang kenceng.”

“Beres, Bang. Siap!” jawab Zuki, sambil mendudukkan Adnan di kursi,

kemudian mengikat tubuh Adnan dengan kursi, tangan Adnan masih

terikat dengan erat, kakinya sekarang ikut diikat dengan kursi. Sangat sulit

sekarang bagi Adnan untuk bergerak.

“Sip, selesai Bang,” kata Zuki saat selesai mengikat.

“Bagus,” kata Bang Jono sambil senyum bangga.

“Emmm! Emmm!” teriak Adnan.

“Heh! Diam!” bentak Zuki.

“Emmm! Emmm! Emmm!!”

“Haduh, Bang. Nih anak nggak bisa diem, gimana bisa kita tidur nyenyak

Bang.” Protes Zuki.

“Zuk, pasang lakban lagi ke mulutnya.”

“Sama saja, Bang. Dia masih bisa merengek-rengek.”

“Sudah cepetan tempel lakbannya lagi!”

“Di mana lakbannya, Bang?” tanya Zuki

“Lah, mana saya tahu. Tadi kamu yang bawa Zuk!”

“Masak iya tadi saya yang bawa, Bang. Kan saya lagi nyupir mobil Bang.”

“Emmm!Emmm!Emmm!!” teriak Adnan, sambil mendongak-dongakkan

kepala. Adnan bermaksud menunjukkan bahwa lakban hitamnya ada di

sana.

“Apalagi sih ini anak?!” gerutu Zuki.

“Emmm!Emmm! Emmm!!”

“Diam!” bentak Bang Jono lagi.

“Emmm! Emmm!!”

“Astaga, berisik sekali anak ini!”

“Cepetan Zuki, kamu cari lakbannya!”

“Yaelah, masak Zuki lagi sih, Bang?”

“Emmm!”

“Gagal nih, Zuki tidurnya,” kata Zuki, mulai beranjak berdiri mencari

lakban, setelah melihat di atas meja Zuki tertawa senang.

“Ha ha ha ha, ini dia yang di cari,” bisik Zuki dalam hati

“Lama banget sih, Zuk. Sudah ketemu?”

“Iya Bang, ini juga lagi jalan ah,” kata Zuki. “Nih, lakbannya,” kata Zuki,

sambil menyerahkan lakban hitam itu pada Bang Jono.

“Tempel sekalian!” suruh Bang Jono.

“Duh, tugas Zuki lagi nih, Bang?” tanya Zuki

“Banyak bicara deh kamu, Zuk. Ya, iyalah, siapa lagi?”

“Bang Jono lah,” sahut Zuki, cepat.

“Zuki, Zuki, kamu nggak bisa, ya? Tinggal nempelin di mulut, gitu aja

dibikin ribet,” gerutu Bang Jono.

“I ... i .. iya, Bang.”

“Emmm! Emmm! Emmm!!” jerit Adnan, sambil menggeleng-gelengkan

kepalanya.

“Sssst! Diam kamu!” Bentak Zuki, dengan cepat Zuki menempelkan lakban

hitam itu ke mulut Adnan.

“Emmm! Emmm!!” jerit Adnan, namun suaranya terdengar kecil tidak

sekeras tadi.

“Nah, kalau gini kan saya bisa tidur sejenak dengan tenang.” Kata Bang

Jono.

“Bener, Bang.”

Bang Jono kembali terlelap dalam tidurnya. Begitu pula dengan Zuki,

setelah melaksanakan semua perintah yang telah diberikan Bang Jono, ia

kembali tidur tepat di depan kursi tempat Adnan terikat dengan tali-tali

yang melilit tangan dan kakinya.

Beberapa hari yang lalu.

“Bang, ayo cepetan! Sudah jam delapan, biasanya warnet sudah banyak

yang buka.”

“Iya, iya, ini juga sudah selesai.”

“Ngapain saja sih, Bang? Orang mau ke warnet saja lama banget

persiapannya.”

“Ya, biar nanti orang-orang sekitar gak ada yang curiga sama kita, Zuk.”

“Ntuh sadar, kalau Zuki mah dari dulu tampangnya sudah keren, ganteng

apalagi. Sudah nggak perlu dipertanyakan lagi, Bang.”

“Halah, banyak muji diri sendiri, kecebur selokan baru tahu rasa kamu.”

“Apaan sih Bang Jono, jelek banget ngomongnya, masak iya Zuki

disumpahin masuk selokan. Bang Jono gak lihat tampilan Zuki sekarang?

Keren kan?”

“Keren dari Hongkong,” sahut Bang Jono

“Nah tuh tahu, kalau Zuki kerennya kayak orang-orang dari Hongkong.”

“Astaga, kamu Zuki, kebanyakan menghayal kamu.”

“Lah, sama Bang Jono juga kebanyakan ngayal bisa mendapatkan uang

banyak.”

“Kalau misi ini berhasil, kita pasti jadi orang kaya mendadak, Zuk.”

“Ya, sudahlah, Bang. mendingan sekarang kita langsung cus ke warnetnya,

takut udah penuh!”

“Oke, oke, ayo, berangkat.”

“Inget, Bang. Tampang Bang Jono harus murah senyum, biar kelihatan

ramah.”

“Memangnya kenapa dengan tampang saya?” tanya Bang Jono

“Sedikit, serem!” jawab Zuki, “hi hi he he he” tawa Zuki, “Bercanda, Bang.

Tapi beneran nggak bohong.”

“Dasar, kamu! Awas nanti kalau gagal!”

“Zuki pasti berhasil, Bang Jono tenang saja,” kata Zuki.

Setelah berjalan beberapa menit, tiba sekarang Zuki dan Bang Jono di

Warnet.

“Ayo, Zuk, cepetan! Kamu bisa kan?” tanya Bang Jono

“Sabar lah, Bang.Ini lagi nunggu komputernya nyala dulu.”

“Iya, iya, saya sudah tidak sabar.”

“Sabar saja, Bang. Tenang, Zuki gak pernah gagal.”

“Heleh, gak pernah gagal apanya, kamu di suruh masukin benang ke jarum

saja gak pernah bisa, iya tho?”

“Yaelah, Bang, itu mah beda lagi namanya. Masak iya tinggal buka akun

Twitter saja nggak bisa.”

“Dulu, zaman saya belum ada yang kayak ginian, Zuk.”

“Nah, akhirnya masih bisa di buka, Bang,” kata Zuki, saat berhasil membuka

akun twitternya. “Nih, lihat, Bang. Berita tentang dia masih jadi tranding

topic. Nih, nih, lihat Bang, sebelah sini.” Kata Zuki sambil menunjukkan

kepada Bang Jono di mana letak tranding topic di twitter.

“Anak itu jadi tranding topic di twitter, Bang. Dengan menggunakan hastag

#AdnanSiHafidzCilikIndonesia,” bisik Zuki di telinga Bang Jono.

“Terus, gimana selanjutnya?” tanya Bang Jono

“Kita baca status twit-twit orang-orang ini, Bang,” jawab Zuki, “kita baca,

sampai menemukan informasi penting buat kita.”

“Baiklah,” kata Bang Jono pasrah.

Beberapa menit kemudian.

“Bang, nih, ini pasti bener, Bang.” Teriak Zuki, seraya menunjukkan jari

telunjuknya di depan layar komputer.

“Mana?”

“Ini Bang, baca ...” kata Zuki, sambil kembali menunjuk ke layar komputer.

“Mau mengundang Adnan, #AdnanSiHafidzCilikIndonesia hubungi

nomor 085765435221 atau 082145678554 atau berkunjung langsung

ke rumahnya di Jl. Ikan Duyung Paciran-Lamongan,” kata Bang Jono,

membaca twit yang ditunjukkan oleh Zuki. Orang yang duduk di meja

samping Zuki dan Bang Jono terlihat kaget dan penasaran bahkan curiga

dengan sikap Zuki dan Bang Jono.

“Alhamdulillah, Bang. Akhirnya kita dapat juga Informasi alamat Adnan,

kalau begini kan kita bisa segera mengundang Adnan ke acara khitanan

adik sepupu Bang Jono yang ada di Tangerang,” sahut Zuki sambil

meyipitkan mata.

“Wah, bener juga, Zuk. Cepetan catat, kita bisa menghubungi keluarga

Adnan dengan segera,” kata Bang Jono, menanggapi isyarat dan kata-kata

Zuki.

“Sip, Bang.” Kata Zuki, sambil mengangguk.

“Sudah?” tanya Bang Jono, saat melihat Zuki selesai mencatat alamat dan

nomor teleponnya.

“Sudah, Bang,” jawab Zuki.

“Ayo, kita masih perlu membeli bahan-bahan buat memasak di rumah

dan kita bisa segera berangkat ke Tangerang!” Ajak Bang Jono. Zuki pun

menuruti dan setelah itu Zuki dan Bang Jono bergegas membayar ke kasir

dan cepat-cepat keluar dari warnet.

Di jalan, Bang Jono masih tidak percaya karena setengah dari rencananya

berhasil. Ia raih dengan tepat dan mudah, kini tinggal misi utama

selanjutnya.

“Wah, akhirnya kita dapet juga tuh alamat bocah itu.”

“Benar kata Zuki kan, Bang? Zuki nggak bakalan gagal, apalagi cuman

masalah ginian.”

“Tapi Zuk, Paciran-Lamongan itu di mana? Saya baru dengar, itu kota atau

desa?”

“Bang Jono tenang saja, serahkan itu semua kepada Zuki, percayakan itu

semua kepada Zuki, Zuki sudah menyusun rencananya, dan pasti berhasil.”

“Kamu yakin Zuk? Kamu tahu di mana itu?”

“Iya, Bang. Bang Jono tenang saja, ini pasti berhasil. Tentu karena tahu

di mana itu, Paciran adalah nama Desanya Bang, sedangkan Lamongan

adalah Kota kabupatennya. Zuki tahu jelas di mana tempatnya.”

“Baikalah, saya percayakan kepada kamu Zuki.”

“Siap Bang, besok kita berangkat.”

“Besok?” tanya Bang Jono, kaget.

“Iya Bang, besok. Lebih cepat lebih baikkan, karena lebih cepat kita kaya.”

“Ha ha haha, benar juga kamu Zuki.”

“Zuki, pasti berhasil.” Zuki membanggakan diri. “Bang Jono masih ada

mobil itu kan?” tanya Zuki.

“Tenang saja, urusan mobil beres.”

“Mantap!” Kata Zuki.

“Akhirnya...” desis Bang Jono dalam hati.

“Duk! Duk! Duk!” Adnan, menghentak-hentakkan kakinya.

“Haduh, berisik sekali, siapa sih?” gerutu Zuki.

“Duk! Duk! Duk!”

“Bang, Bang Jono, bangun, Bang. Bang, bangun!”

“Hoaaahm! Kenapa, sih Zuk? Kamu bangunin saya? Saya masih ngantuk,

Zuki. Sudah, kamu tidur sana, lagi.” Bang Jono sambil menguap. Matanya

kembali terpejam.

“Aduh Bang, bangun Bang, kayaknya ada orang di luar, tadi Zuki dengar

ada yang mengetok pintu, Bang.”

“Masak iya, ada orang?” tanya Bang Jono, langsung bangkit dari tidurnya.

“Kata kamu tidak akan ada satupun orang yang bakalan datang. Gimana

sih,” protes Bang Jono.

“Iya Bang, lagian siapa sih yang mau datang ke sini lagian ini sudah larut

malam. Tapi, tadi saya beneran dengar ada yang mengetuk pintu Bang.”

“Duk! Duk! Duk!”

“Nah, itu, Bang. Dengar, nggak?”

“Ya, iya, saya bisa mendengarkan suaranya.”

“Duk! Duk! Duk!”

“Tapi kayaknya itu bukan suara pintu deh, Zuk.”

“Terus, suara apa, Bang?”

“Duk! Duk! Duk!” Adnan terus menghentakkan kakinya, semakin keras.

Seketika Bang Jono dan Zuki, bersamaan menoleh ke belakang. Di lihatnya

Adnan dengan mata terbuka sambil menghentak-hentakkan kakinya.

“Haduh mamae, nih anak ternyata yang mengganggu tidur nyenyak kita,

Bang.”

“Emang dasar, tuh bocah, ya?”

“Emmm! Emmm! Emmm!” jerit Adnan.

“Enaknya kita apakan nih anak, Bang?”

“Zuk, lepas lakbannya sekarang.”

“Kok dilepas, Bang?”

“Sudah, lepas saja, Siapa tahu tuh bocah pengen ngomong sesuatu.”

“Baiklah, Bang,” jawab Zuki pasrah.

Alhamdulillahirabbil’alaamin, kata Adnan dalam hati.

“Sudah, cepetan bebas bicara kamu sekarang!” kata Zuki, setelah melepas

dua lakban hitam di mulut Adnan.”

“Lepaskan saya Bang, apa salah saya, Bang?!” teriak Adnan.

“Wahwahwah, bagus, ya? Kamu mau dilepas, ke mana?”

“Emangnya kamu kambing, mau di lepas?” sahut Zuki.

“Bang, tuh, tahu. Abang-abang tahu kan kalau Adnan bukan kambing,

mangkanya lepaskan dulu ikatan ini Bang, tangan Adnan sakit,” kata

Adnan.

“Banyak ngomong juga ya, nih bocah,” kata Bang Jono.

“Mending, kita tutup lagi saja, Bang mulutnya,” kata Zuki.

“Jangan,jangan, Bang!” teriak Adnan.

“Tidak Zuki, biarkan saja dia berbicara sebebasnya,” kata Bang Jono.

“Tapi, Bang,” elak Zuki.

“Sudah, biarkan saja, lagian sebenarnya sejak tadi saya juga penasaran

apa yang dibawa nih bocah.”

“Apa memangnya, Bang?” tanya Zuki.

“Itu, yang ada di telinganya.”

“Hadset, Bang,”

“Berarti, dia bawa HP bagus dong,” sahut Bang Jono.

“Bukan, bukan, ini bukan HP, Bang,” sahut Adnan.“Tolong, Bang Cungkring

sama Bang Gendut, tolong bebaskan saya,” lanjut Adnan.

“Apa? Zuki, saya gak salah dengar kan? Nih Bocah ngatain saya, gendut?”

“Benar, Bang Jono, dia juga ngatain saya cungkring, Bang,” sahut Zuki.

“Dasar, nih bocah. Heh, dengerin ya! Nama saya Jono, panggil Bang Jono,

jangan panggil, Bang Gendut!”

“Iya, Benar, nama saya juga Zuki bukan Cungkring.” Sahut Zuki.

“Ya sudah, Bang Jono sama Bang Zuki juga panggil saya, Adnan. Itu nama

saya.”

“Astaga, dia memerintah kita, Bang,” Kata Zuki.

“Apa tujuan sebenarnya, Abang-abang ini membawa saya? Apa salah

saya, Bang?” tanya Adnan.

“Hahaha,” tawa Bang Jono.

“Hahaha,” tawa Zuki.

“Berkat kamu, kita akan Kaya,” kata Bang Jono.

“Benar, kamu sudah terperangkap, tunggu saja sampai uang itu datang.

Kita akan kaya raya.” Mereka berdua kembali melanjutkan tawa


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices