Kucing Emas

Reads
92
Votes
0
Parts
14
Vote
by Titikoma

Berpencar

Doa mereka semalam dikabulkan Tuhan. Hari ini Kersik Tuo cerah. Matahari dengan leluasa mengakses bumi bagian Kerinci dengan kehangatannya. Kebun teh nan hijau membentang luas. Di kejauhan Gunung Kerinci setinggi 3.805 meter gagah berdiri menyangga birunya langit. Bu Olive sudah mengkondisikan murid-muridnya untuk berkumpul di halaman rumah panjang. lokal—termasuk di antaranya tetua adat—terlihat sedang bercakapcakap, sesekali juga diiringi seringai tawa. Akhirnya, hari itu siswa-siswi kelas 11 IPA SMA Kartini, Jakarta, berkesempatan untuk benar-benar melakukan penelitian setelah dua hari tertahan di penginapan. Segalanya sudah siap, perlengkapan penelitian, perlengkapan keamanan, juga beberapa perlengkapan lainnya untuk antisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Pukul tujuh mereka semua berkumpul, menunggu mobil-mobil yang akan membawa mereka ke Pintu Rimba. Menaiki mobil dipilih karena jarak dari penginapan ke Pintu Rimba lumayan jauh, jadi bisa menghemat waktu tempuh. 10 menit berselang, mereka berangkat dengan 4 mobil pickup kecil yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Sejauh mata memandang, hamparan kebun teh dan ladang warga menjadi hal menarik selain penampakkan Gunung Kerinci yang semakin lama semakin kentara dan lantas tak terlihat. 20 menit menumpang mobil, mereka berhenti pos penjagaan Taman Nasional Kerinci Seblat. Ki Eten, Bu Olive dan dua orang lain yang dibawa Ki Eten mengurus administrasi terlebih dahulu di sini, sebelum melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki menuju Pintu Rimba. Suasana berbeda langsung terasa ketika mereka sampai di Pintu Rimba. Suasana hutan tropis sudah bisa dijumpai di sana. Dari tempat itulah titik awal pendakian. Dari Pintu Rimba di ketinggian 1.692 meter, mereka berjalan menuju pos 1 yang rencananya menjadi tempat penelitian. Perjalanan menuju pos 1 adalah jalan dengan kontur yang landai, berpayung pepohonan nan rimbun. Kara sangat menikmati perjalan itu. Senandung suara alam nan merdu seolah memanggil-manggil namanya, memintanya untuk medengar lebih banyak, merasakan lebih banyak nikmat Tuhan yang diberikan kepadanya melalui alam. Venus berjalan bersisian dengan Key. Tak ada percakapan antar keduanya, mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tidak tahu Key tengah memikirkan apa? Mungkin dia sedang sibuk memikirkan jawaban atas pertanyaan, Bagaimana caranya Tuhan membuat alam seindah ini? Entahlah, yang jelas berbeda dengan orang di sebelahnya. Ya, Venus sedang fokus pada masalahnya dengan seseorang yang berjalan tepat di depannya—Kara. Venus pikir masalahnya dengan Kara harus diselesaikan. Namun dia sendiri tidak begitu paham, mengapa dia bisa berpikir demikian. Venus tidak pernah berbuat seperti ini sebelumnya. Dia tidak akan mengaku salah walau sebetulnya dia salah. Tapi semenjak kejadian istirahat waktu itu, semua berubah. Bahkan lucunya, kejadian dua hari lalu tidak mengurungkan niatnya sama sekali. Malah dia termotivasi, dan menyesali dirinya di hari-hari yang lalu. Menyusuri lantai hutan yang lembab selama 40 menit, akhirnya mereka sampai di pos 1. Di sana terdapat sebuah pondok berbentuk seperti pendopo sederhana yang layak untuk berteduh. Bu Olive membiarkan beberapa anak yang mulai kelelahan menyusuri hutan. Mereka bersepakat, istirahat 10 menit sebelum penelitian dilakukan. Suara alam semakin mengaum indah tatkala Kara, Key, Venus, Faris, Iqbal, Rega yang didampingi satu orang penduduk yang dikenalkan Ki Eten sebagai Pak Nor. Setelah tiba di Pos 1 dan beristrirahat sejenak, mereka dikumpulkan dalam masing-masing kelompok. Selain didampingi mahsiswa yang dibawa dari Jakarta, mereka juga akan didampingi satu orang Jagawana. Nah, Pak Nor inilah Jagawana yang mendampingi kelompok Kara. Lelaki itu lebih muda umurnya jika dibandingkan Ki Eten, mungkin sekitar 40 tahunan lebih sedikit. Garis mukanya halus, rambutnya ikal dan hidungnya mancung. Jika dilihat, parasnya seperti lelaki keturunan sunda.  Setelah mereka di-briefing Bu Olive tentang aturan main penelitian, maka tibalah bagi para Jagawana mengantar mereka ke lokasi-lokasi yang biasanya disatroni para Paok Schneider. Pak Nor si Jagawana untuk kelompok Kara membawa mereka ke arah barat dari pondok pos 1, menerobos kerapatan hutan yang didominasi pohonpohon besar. Mata-mata mereka dipaksa awas meliat apa saja yang ada di sekitar. Selain kemungkinan Paok Schneider, mereka juga harus awas melihat akar-akar pohon yang bisa saja membuat mereka terjatuh. Lembabnya hutan tidak menyurutkan langkah keenamnya untuk bisa menemukan burung ekor pendek nan elok itu. Pak Nor kadang berhenti sejenak, memainkan suara dari mulutnya, berusaha menyerupai suara cicitan burung. Matanya nyalang memandang tiap jengkal hutan tropis itu. “Aduh, Pak Nor. Bisa berhenti sebentar, tidak?” Key yang terdengar mengeluh. Pak Nor dan yang lainnya berhenti, memandang Key dengan tanya, ada apa? “Ada apa, Nak?” Pak Nor bertanya. “Anu, Pak. Saya kebelet,” kata Key. “Ya sudah, kita jalan sebentar lagi. Ada pos pengamatan di depan,” kata Pak Nor. “Sebentar lagi ada tanah yang agak lapang. Tahan sebentar,” tambahnya. Key mengangguk. Mereka pun kembali meneruskan perjalanan. Sekitar 8 menit kemudian, mereka tiba di tempat yang dimaksud Pak Nor. Di tanah lapang itu terdapat pos kecil yang dikamuflase dengan rerumputan. Di depan pos itu terdapat tanah yang luman lapang tempat biasa Paok Schneider terlihat. “Yasudah, kamu bisa ke balik pohon itu untuk buang air,” kata Pak Nor. “Ayo, aku antar!” Rega, si mahasiswa mengajukan diri. “Biar aku saja, Kak.” Kara menyelak.  “Yasudah, hati-hati,” kata Rega. Kara dan Key pun berjalan ke samping, ke arah sebuah pohon yang cukup besar, sekitar 20 meter dari pos. Venus, sempat melirik sebentar ke arah Kara yang sudah berjalan berdampingan dengan Key. Tekatnya sudah bulat, dia harus segera minta maaf. Hanya tunggu momen yang tepat saja, pikirnya. Kara berdiri, mematung di bawah pohon, menunggu Key yang sedang buang air kecil di balik pohonnya. Matanya yang ke sana-ke sini memperhatikan rapatnya hutan tak sengaja menangkap sebuah pergerakan. Cepat, dan menimbulkan suara gerasak yang cukup keras. Sebuah tiang kayu teracung ke atas. Kara menghampiri ke sumber suara dengan hati-hati, berjalan 5 meter dari posisi awalnya. Seekor kucing hutan tergantung di atas kayu, kakinya terikat jerat hingga mengakibatkan luka sobek di pergelangan kaki kucing itu. Kara langsung bergegas berusaha melepas jeratan itu. Dia mengambil sebuah cutter kecil dari dalam tasnya kemudian mengiris tali, dan terlepaslah jerat yang membelit kaki kucing itu. Kara terduduk berusaha memangku dan mengelus kucing hutan itu, memberinya rasa aman. Melihat luka sobek yang masih mengeluarkan darah, Kara kembali membongkar isi tasnya dengan tangan satunya, mencari-cari botol minum, tisu dan alkohol. Dengan cekatan Kara membersihkan luka itu dengan air, melap darah yang masih menempel di kaki kucing tersebut. Kemudian Kara menuangkan alkohol ke atas tisu, hendak mengusapnya pada luka si kucing. Namun pada saat bersamaan, kucing dipangkuannya tersebut kabur, berlari cepat masuk ke hutan. Kara hanya bisa melongo melihatnya lari jauh melesak masuk ke hutan. “Ada apa, Ra?” Key bertanya. Dia sudah selesai dengan urusannya. “Ada hewan kena jerat,” jawab Kara. “Terus?” Kara memasukkan kembali botol alkohol dan air minumnya ke dalam tas seraya berkata, “Ya kabur setelah aku selametin.”  “Ya sudah, namanya juga hewan liar.” Kara bangkit berdiri, kemudian mereka kembali ke pos pengamatan. Selama berjalan dia berusaha mengingat-ingat rupa kucing tadi. Dari tanda-tandanya, Kara seperti diingatkan sesuatu. Semalam, Ki Eten menceritakan perihal Kucing Emas. Mungkin, kah? Pikir Kara. Gadis yang selalu mengikat rambutnya satu kebelakang itu terlihat ragu. Satu setengah jam mereka sabar menunggu kemunculan Paok Schneider. Dua lensa kamera yang dipegang Iqbal dan Venus sudah sejak tadi bersiaga, bagai harimau memburu mangsa. Harapan kemunculan burung itu untuk sekedar keluar sebentar mencari makan, lama-lama mengendur sudah. Iqbal dan Faris mendengus kesal beberapa kali. “Kita harus sabar.” Untuk kesekian kalinya kata itu yang diucapkan Pak Nor, tiap kali dia mendapati dua anak muda—Iqbal dan Faris—di sampingnya mendengus kesal. “Tapi ini sudah satu setengah jam, Pak Nor. Apa masih mungkin mereka keluar?” Key yang bertanya. Agaknya dia juga mulai kesal menunggu. “Atau ada tempat lain lagi untuk pengamatan? Siapa tahu apa yang kita cari ada di sana?” Lengang sejenak, semua mata tertuju pada Pak Nor. “Baik-baik, setengah jam dari ini ada pos lain. Kalau kalian masih kuat berjalan aku akan antar,” kata Pak Nor akhirnya, setelah menimbangnimbang. “Nah, kenapa tidak dari tadi, Pak. Siapa tahu memang mereka semua sedang ada di sana,” Key menyahuti antusias. “Tapi, bagaimana kalau sebentar lagi paok itu muncul di sini?” Kara memotong saat mereka bersiap pergi. “Ya lo aja nunggu di sini, kalau gitu,” Iqbal menyahuti. “Lho, lho, lho … kita semua harus ke sana. Tidak boleh pisah-pisah,” Pak Nor segera menengahi. “Tapi benar apa yang dibilang Kara, bagaimana kalau paok itu tiba-tiba muncul di sini ketika kita pergi?” Rega ikut menanggapi.  “Kita berpencar saja. Biar efektif, kita buat dua kelompok lagi. Satu di sini, dan satu lagi ikut Pak Nor ke lokasi satunya,” kata Kara. “Aku tunggu di sini. Terserah siapa lagi yang mau di sini,” tambahnya. Kembali lengang pos pengamatan itu. Nampaknya Iqbal, Faris dan Key tidak mau menunggu di sini. “Biar aku yang di sini, Kak Rega, Pak Nor. Kebetulan kamera satunyakan ada di aku,” kata Venus memecah keheningan. “Lo sama gue, Ra,” tambahnya, yang kali ini ditujukan pada Kara. Pak Nor dan Rega si mahasiswa terlihat sedang menimbang-nimbang. “Yasudah, kalian boleh tetap di sini. Tapi ingat, jangan ke mana-mana. Kami akan kembali dalam waktu dua jam,” kata Pak Nor. “Tetap ikuti aturan main,” Rega menambahkan. “Ini alam liar!” Venus mengangguk pasti. Sedangkan Kara masih terdiam, dia masih belum percaya kalau idenya untuk tetap di sini disetujui Venus, itu berari dia akan berdua di tempat itu bersama Venus yang adalah orang yang tengah ia hindari. “Eh, gimana? Jangan bikin lama!” Hardik Key. Akhirnya Kara mengangguk, mengiyakan—walau hatinya sendiri merasa ragu. Setelah itu Pak Nor mulai meninggalkan pos pengamatan bersama keempat orang lainnya. Mereka berjalan ke timur, semakin masuk ke dalam lembah. Punggung orang terakhir—Faris—hilang di balik pohon sesaat kemudian. Tinggalah di pos pengamatan kecil itu, dua anak manusia yang sedang berkelit hatinya satu sama lain. Keduanya saling diam, dengan detak jantung masing-masing yang berpacu labih cepat dari pada seharusnya. Diiringi nyanyian lembah Kerinci yang semakin indah mengaum, maka jadilah harmoni yang begitu ganjil, penuh misteri, namun butuh disingkap. Setengah jam sudah sejak kepergian Pak Nor, Rega, Key, Faris dan Iqbal. Suasana pos kecil berbentuk segi empat yang saru dengan hutan itu masih lengang. Dua anak manusia di dalamnya masih sibuk dengan hati masingmasing. Mereka hanya fokus mengamati tanah lapang di hadapan mereka melalui celah kecil dari pos itu. Kara yang memegang note kecil dan pulpen entah mencatat apa. Beberapa kali pulpennya bergerak-gerak di atas kertas, menulis apapun yang bisa menghilangkan perasaan canggungnya. Sementara Venus masih sibuk dengan kameranya di tengah pengamatan. Dia belum berhasil—lebih tepatnya belum mau membuka pembicaraan dengan Kara. Hanya ekor matanya saja yang sesekali tertangkap basah sedang memperhatikan gadis kuncir kuda itu. Kalau diperhatikan dari tingkah dua anak manusia itu, tak salah lagi, tingkah mereka layaknya remaja yang sedang jatuh cinta—malu-malu kucing. Dalam hati keduanya sungguh mereka ingin bicara atau sekedar menyapa “Hai!”, namun nampaknya, ego keduanya belum mau kendor juga. Maka malanglah mereka yang hanya bisa bicara atau merutuki hatinya sendiri. Untuk beberapa saat sejak detik ke 1800 berlalu, suasana pos pengamatan itu masi lengang. Tiba-tiba perut Venus terasa sakit, ada sesuatu yang mendesak keluar. Baru hendak beranjak dari pos, suara itu tak terbendung, mencelos keluar begitu saja. Mampus gue, rutuk Venus dalam hati. Mendengar suara itu, Kara mengerutkan kening, tak habis pikir. “Sorry,” ucap Venus canggung. “Masih manusiawi gue, Ra,” katanya lagi sambil tersenyum canggung. Tak ada jawaban, pikiran Kara masih berkecamuk untuk sekadar tertawa atau menanggapi pernyataan si bule bermata cokelat itu. “Lo masih belum bisa maafin gue, Ra?” Venus memecah keheningan. Hatinya mencelat, tak menyangka otaknya bekerja memberi intruksi mulut untuk bicara. Kara melirik ke arah Venus sejenak, lalu mengembalikan pandangannya ke luar. “Kara.” Venus memanggilnya lagi. “Amati saja. Siapa tahu paok itu tiba-tiba muncul. Kamu dan kameramu pasti tidak maukan, kalau menunggunya kita di sini sia-sia?” Kara  menanggapi dingin. “Tapi, Ra.” “Lupakan saja, aku sudah maafin.” Akhirnya kalimat sederhana itu muncul. Venus tersenyum samar. “Terima kasih,” katanya. Ya, hanya sesederhana itu untuk mengembalikan semuanya. Ego itu menguap juga. Ada kelegaan di palung hati keduanya, meski setelah itu, suasana canggung masih sedikit kentara. Itulah, dalam kasus tertentu hanya memerlukan buang angin sebagai solusinya. Lembah Kerinci masih mengaum indah setelahnya. 


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices