
Permata Keluarga
Susana sore di masjid Ar-Rahman begitu ramai. Masjid itu berada di perumahan Jatiasih Bekasi. Di pengajian TPQ Rabu sore, anak-anak kompleks sudah semua diuji oleh ustadah Ani. Saatnya ustadah Ani mengumpulkan semua anak pengajian.
“Alhamdulillah, pengajian sore hari ini berjalan lancar, untuk terakhir mari kita menghafal surat An-Naba!” Ustadah Ani melanjutkan pengajian TPQ dengan menghafal.
Anak-anak mengikuti perintah Ustadah Ani. Ustadah Ani seorang ibu rumah tangga. Dia selalu aktif berjamaah di masjid komplek, memiliki tiga anak anak laki-laki. Anak sulungnya bersekolah di tingkat lanjutan atas, si bungsu bersekolah di tingkat lanjutan pertama.
“Bismillahirrohmanirrohim!” bersama-sama anak-anak pengajian TPQ menghafal surat An-Naba.
Selang beberapa menit hafalan anak-anak TPQ, Ustadah Ani memberikan eskpresi kegembiraannya. Dia bangga sekali, menjadi pengajar TPQ di masjid Ar-Rahman.
“Alhamdulillah, sudah banyak yang hafal!” seru Ustadah Ani dengan wajah ceria.
Ustadah Ani mengambil beberapa bungkusan, dua bungkusan kecil dan satu bungkusan besar.
“Oke! Yuk, siapa mau menghafal di depan teman-teman sendirian!” Ustadah Ani memberikan dorongan kepada anak-anak pengajian TPQ.
Lima anak berburu cepat mengacungkan jari telunjuk tangan kanannya. Semua mata tertuju pada acungan tangan anak-anak.
“Yang tercepat mengacungkan tangan adalah Faiz! Silahkan, Nak Faiz maju ke depan!” Ustadah menyilahkan Faiz.
Faiz melangkah maju ke depan. Dengan suara lantang, Faiz mulai menghafal surat An-Nabaa. Hening semua mendengar hafalan Faiz. Vertebrata dan avertebrata yang bermukim di masjid semua terpana. Bahkan, beberapa ibu yang menunggu anak-anak mereka, meneteskan beberapa bulir air mata mendengar hafalan Faiz. Begitu pula ibu Faiz, duduk diantara ibu-ibu merasa terharu dan gembira memiliki anak soleh seperti Faiz.
“Alhamdulillah, begitu hafal dan fasihnya Nak Faiz!” ucap Ustadah Ani dengan bangga.
Ustadah Ani menghampiri Faiz. Bungkusan besar siap dihadiahkan untuk Faiz.
“Mohon Nak Faiz mau menerima bungkusan ini, semoga hadiah ini bisa menjadikan Nak Faiz tambah semangat untuk menghafal Ayat-ayat Allah, amin!” doa Ustadzah Ani.
Air mata ibu-ibu menetes beberapa tetes. Keberhasilan Faiz menjadikan bangga ibu-ibu.
“Senangnya punya anak kayak Faiz!” celutuk seorang ibu Nia yang duduk bersebelahan dengan ibu Faiz.
“Iya, ya! Coba kalau kita punya anak seperti Faiz, waah! Menghafal nurut dan cepat!” sambung Ibu yang lainnya.
Ibu Faiz langsung melangkah dengan cepat saat hadiah itu akan diserahkan ke Faiz. Sambil menggendong sikecil, ibu berdiri di tengah lingkaran pengajian TPQ. Adik perempuan Faiz baru berumur 1,5 tahun, bernama Ella. Ella selalu bersama ibu dimanapun.
“Makasih banyak Ustadzah! Berkat bimbingan dan motivasi dari Ustadzah, Faiz semakin rajin menghafal!” Ibu Faiz mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Ustadzah.
“Sama-sama, Ibu! Semoga selalu diberi keistiqomahan dalam mendidik anak,” ujar Ustadah Ani sambil membalas uluran tangan Ibu Faiz.
Faiz, Ella dan ibunya kembali ke tempat semula. Bak awan menutupi semua langit, hati ibu Faiz tentram sekali suasananya. Dingin temperatur hati, menyaksikan anaknya bisa menghafal Kalam Allah di depan umum.
Raut muka Faiz berseri. Dia bisa membuat sesuatu hal yang menjadikan bangga bagi hati ibunya. Hati ibu Faiz berseri-seri, melihat buah hatinya bisa menghafal Kalamulloh.
Sorak-sorai anak-anak TPQ memenuhi aliran udara di dalam masjid Ar-Rahman.
“Senangnya jadi Faiz! Bisa hafal surat An-Nabaa!” seru Jihan, teman bermain Faiz.
Ustadah Ani membacakan lagi untuk tercepat ke-2 dan ke-3.
“Urutan ke-2 adalah Badrun!” seru Ustadah Ani.
Dengan wajah penuh gembira, Badrun melangkah menghampiri ustadah Ani. Tepuk tangan anak-anak TPQ mengikuti langkah Badrun. Badrun langsung melafalkan basmalah. Dengan suara lantang menghafal surat An-Nabaa. Alhamdulillah, Badrun bisa menghafal dengan lancar.
“Badrun menghafal dengan baik surat An-Nabaa, alhamdulillah!”ucap Ustadah Ani dengan bangga.
Ustadah Ani memberikan bingkisan hadiah kepada Badrun.
“Semoga selalu terjaga hafalannya, ya, Nak Badrun!”
“Amin, Ustadah! Makasih,” ucap Badrun sambil menyalami Ustadah Ani.
Tepuk tangan anak-anak TPQ bergemuruh di angkasa masjid Ar-Rahman. Ramai sekali suasana. Dengan tersenyum merekah di bibir, Badrun kembali ke posisi awal di barisan belakang.
“Urutan ke-3 adalah Umi!” panggilan terakhir dari Ustadah Ani.
Umi melangkahkan kaki penuh bahagia, mendekat ke ustadah Ani. Umi langsung dipersilahkan oleh ustadah Ani untuk mulai menghafal.
Ustadah Ani menyerahkan hadiah kepada Umi
Umi bisa menghafal dengan lancar. Gemuruh tepuk tangan anak-anak TPQ kembali terdengar. Subhanalloh, melihat generasi-generasi muda Islam selalu membuat hati semua insan bergetar, mendengar hafalan mereka.
Ustadah Ani kembali ke tengah-tengah pengajian TPQ.
“Alhamdulillah, sudah kumpul semua penghafal Alqur’an di tengah-tengah kita! Anak-anak sholeh dan sholehah, kalian selalu menjaga Allah, semoga Allah akan selalu menjaga kalian, amin!” Ustadah Ani berjabat tangan dengan ketiga anak penghafal Alqur’an.
Senyap suasana sepintas. Semua asyik dengan bayangan otak masing-masing. Tak lama, ustadah Ani menutup pengajian TPQ.
“Waktu hampir mendekati Maghrib, pengajian sore hari ini saya tutup, alhamdulillah! Wassalamu’alaikum warohmatullohi wa barokaatuh!” salam penutup dari Ustadah Ani.
“Wa’alaikum salam warohmatullohi wa barokaatuh!” jawab semua anak-anak TPQ.
Anak-anak berebut jabat tangan dengan ustadah Ani. Mereka juga berebut keluar dari masjid sambil ada yang berlarian.
Awan hitam memenuhi angkasa. Alunan panggilan Allah menyeru berkumandang dari semua masjid, menghentikan aktifitas beberapa orang. Faiz melihat ibunya mengambil air wudhu.
“Faiz, bajunya jangan sampai basah! Ibu tunggu di kamar, ya!” seru Ibu Faiz sembari melangkahkan kaki ke ruang kamar.
“Ya, Bu!” Faiz bersegerah berwudhu.
Faiz buruan mengikuti Ibu ke kamar untuk melaksanakan sholat Maghrib. Ella selalu bisa diajak sholat. Sering sekali ikut-ikutan sholat di depan ibu. Faiz selalu berjamaah dengan ibu setiap kali mengerjakan sholat lima waktu. Faiz mengikuti semua gerakan ibu, dari takbirotul ihrom sampai salam. Saat itu Faiz masih bersekolah di TK B. Lokasi TK di area perumahan Jatiasih. Ayah Faiz bekerja di kantor sebuah Departemen Keuangan, tepatnya di Jakarta Timur. Ayah Faiz setiap hari pulang sekitar jam tujuh, malah sering juga jam delapanan.
Hawa udara panas menyelubungi perumahan Jatiasih. Ibu Faiz sedang mempersiapkan makan malam untuk suaminya dengan memasak lauk mendoan*1. Lauk mendoan adalah khas makanan Purbalingga. Ayah dan ibu Faiz, keduanya berasal dari kabupaten Purbalingga.
Faiz asyik sendiri dengan mainan legonya. Mainan lego baru dibelikan ayah Faiz satu minggu kemarin. Mainan lego bisa membuat otak anak menjadi kreatif untuk berfikir. Faiz membuat berbagai kendaran dari lego, Faiz kelihatan asyik dengan mainannya.
Deru sebuah sepeda motor berhenti di parkiran rumah Faiz. Pintu depan rumah Faiz tidak terkunci.
“Assalamu’alaikum!” seru seseorang dari arah luar sembari membuka pintu depan.
Faiz sepontan menoleh ke arah pintu.
“Wa’alaikum salam! Ayah sudah nyampai!” girang Faiz sembari bangkit dari posisi duduknya berjabatan tangan dengan Ayahnya sambil mencium tangan Ayah.
Posisi ayah jongkok, saling berhadapan dengan Faiz.
“Tadi ikut sholat Maghrib?” tanya Ayah Sambil mengusap rambut kepala Faiz.
“Ikut Yah, Faiz pingin jadi anak sholeh!” celutuk Faiz sambil memeluk Ayahnya.
“Alhamdulillah, anak Ayah sudah menjadi anak sholeh!” wajah Ayah Faiz gembira sekali mendengar pernyataan Faiz.
Faiz selalu menentramkan hati kedua orangtuanya, dengan segala kepatuhannya pada orangtua dan syariat agama.
Bau harum masakan ibu Faiz menyebar ke semua ruangan rumah. Di hidung terasa nikmat sekali aromanya. Faiz dan ayahnya, buru-buru melangkah menuju dapur.
“Wah! Makanan favoritku!” Ayah langsung mengambil satu mendoan yang sudah dimasak oleh ibu, lalu mengambil kursi untuk duduk.
“Aku ikutan, Ayah!” Faiz juga mengambil satu mendoan, lalu duduk di lantai dapur.
Adik kecil juga ikut-ikutan menuju dapur.
“Adik, sini!” ayah mendekati Ella.
Ibu Faiz memandang mereka bertiga sambil tersenyum. Lalu beranjak ke dapur. Ibu Faiz sibuk membereskan sisa adonan bumbu mendoan. Elok suasana keluarga Faiz. Laksana tanaman selalu hijau. Indah di lihat oleh mata.
Sekejap, terdengar suara adzan Isa. Ayah Faiz lekas mengambil air wudhu. Ella yang masih dalam pangkuan ayah, diturunkan dari pangkuannya. Faiz juga berhenti dari aktifitasnya, mengikuti ayahnya.
“Ibu! Berangkat ke masjid dulu ma Faiz!” ijin Ayah Faiz ke Ibu.
“Ya, Yah!” kata Ibu sembari melangkah ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Di masjid, mulai berdatangan para jama’ah sholat Isa. Faiz dan ayahnya mulai memasuki halaman masjid. Imam masjid, bapak Edi sedang menunggu jama’ah datang. Faiz berdampingan dengan ayah menempati shaf paling depan. Selang beberapa menit muadzin mengumandangkan iqomah.
Suasana di malam sabtu menggerahkan. Setelah ayah Faiz mandi dan berganti kemeja kaos, mereka berkumpul di ruang TV. Ayah Faiz mengganti channel TV dengan menyetel CD indahnya kehidupan. CD ini menayangkan kehidupan semut. Faiz dan adiknya menonton tayangan CD dengan asyiknya, sambil makan makanan ringan yang disediakan ibu.
“Bu, asyik ya menjadi semut! Selalu bergotong royong mencari makanan!” ujar Faiz sembari mengambil roti coklat yang berada di toples tupperware merah.
“Ya, Nak! Seekor semut menemukan makanan akan mengumumkan kepada teman-temannya bahwa di sini ada makanan, ketika berjalan seekor semut selalu menyapa teman yang lain, semut selalu memiliki tujuan dalam menggapai sesuatu dan tak pantang menyerah!” kata Ibu.
“Bagus sekali sifat semut! Semoga aku bisa mencontoh perilaku semut, Bu!” impian Faiz.
Malam menyelimuti oksigen di perumahan Jatiasih. Begitu gerah suhunya, keringat keluar dengan deras.
Faiz terbangun di jam lima pagi. Faiz masih duduk di TK B Harapan Sholeh Jatiasih Bekasi. Mata mulai terjaga. Mengamati sekeliling. Udara segar di pagi hari mengurangi atmosfer yang bersuhu tinggi.
Adik masih tertidur pulas.
“Ibu! Aku sudah bangun!” seru Faiz dari dalam kamar.
Ibu berjalan agak cepat menuju kamar tidur.
“Dah bangun ya, Nak? Yuk, ke kamar mandi untuk buang air kecil dan wudhu,” ajak Ibu.
Segera Faiz mengikuti ajakan ibu. Setelah selesai wudhu, Faiz melepas celana pendek yang dikenakan dengan celana panjang, berniat melaksanakan sholat Shubuh. Ayah Faiz sedang menyirami tanaman hias depan rumah. Pintu depan membuka lebar. Pandangan mata ayah Faiz tertuju pada anak laki-lakinya yang sedang melaksanakan sholat Subuh di ruang TV.
Ayah Faiz hampir meneteskan air mata, melihat Faiz begitu taatnya dengan Allah.
“Alhamdulilllah, Nak, kamu anak sholeh!” ucap Ayah Faiz dengan nada pelan sembari menghapus bulir air mata yang akan jatuh menggunakan kedua tangannya.
Ayah Faiz tak henti-henti memandangi Faiz dengan hati bangga. Faiz mengakhiri sholat Subuh dengan salam.
“Assalamu’alaikum warohmatullohi wa barokaatuh,” ucap Faiz dengan suara lantang.
Secerah cuaca pagi hari. Langkah kaki Ayah Faiz mendekati Faiz.
“Ayah bangga padamu, Nak!” seru Ayah Faiz sembari memeluk Faiz.
“Iya, Yah,” jawab Faiz, membalas pelukan ayahnya dengan sebuah senyuman.
Pagi cerah ceria, mengiringi semangat Faiz. Mereka asyik dengan perbincangan.
“Yah, sekarang hari apa?” tanya Faiz.
“Hari Sabtu, Nak!” jawab Ayah Faiz sambil memangku Faiz.
Faiz terdiam beberapa saat. Raut mukanya kelihatan sedang memikirkan sesuatu.
“Ada apa, Nak!” gurau Ayah.
“Boleh Faiz minta sesuatu, Yah?” pinta Faiz.
“Tentu boleh, Nak?” jawab Ayah sambil tersenyum.
“Ayah hari ini libur, kita jalan-jalan ke pantai, yuk?” ajak Faiz.
“O..itu keinginanmu, ya? Oke, kita wujudkan,” Ayah gembira mendengar hal itu.
Bak sebuah pertunjukan, Faiz adalah pemenangnya. Kedua orangtuanya, menuruti keinginan Faiz untuk pergi ke pantai Ancol. Ayah dan ibu segerah mempersiapkan segala yang akan dibawa untuk pihnik.
“Bu, lauknya ditambah! Itu masih kurang!” tegur Ayah ke Ibu.
“Iya, Yah!” sahut Ibu sambil mencuci beberapa potong daging ayam untuk dimasukkan ke kuali.
Ibu mengulek bumbu ayam, biar rasanya bisa maksimal. Ibu Faiz seorang sarjana Matematika murni, lulusan UNS Solo. Dia lebih memilih mengasuh anak sendiri daripada bekerja. Memasak adalah pekerjaan yang wajib dilakukannya tiap hari. Karena Ayah Faiz pulang kantor selalu di waktu malam, sering sekali jadwal masak dibuat dua kali sehari, pagi dan malam.
. Pagi yang cemerlang, secemerlang suasana hati Faiz. Faiz mondar-mandir mempersiapkan diri.
“Yah! Faiz mandi sendiri, ya?” pinta Faiz sambil melepas sendiri kaos dan celana panjangnya.
“Anak Ayah, hebat! Oke, silahkan!” Ayah menyilahkan.
Faiz bergegas mengambil handuk yang berada di dekat dapur.
“Jangan kelamaan, ya, mandinya!” seru Ibu sembari menggendong Ella dari ruang dapur.
“Oke, Bu!” girang Faiz sambil melangkah masuk ke kamar mandi.
Rentang waktu yang dihabiskan Faiz untuk mandi sekitar tujuh menitan, lumayan agak cepat. Selesai mandi, segera melangkah ke kamar untuk mengenakan baju.
“Bu, tolong ambilkan kaos yang warna biru, aku ga bisa ngambail!” seru Faiz dari dalam kamar mandi.
Sambil meletakkan Ella di depan TV, Ibu langsung menuju ke almari pakaian Faiz, mengambilkan kaos sesuai pesan dari Faiz.
“Ini Nak, kaosnya,” kata Ibu.
Pintu kamar mandi terbuka. Sambil melongokan kepala ke luar pintu kamar mandi.
“Makasih, Bu,” balas Faiz.
Kata-kata makasih selalu terucap dari mulut Faiz apabila telah mendapat pertolongan dari orang.
Other Stories
Hold Me Closer
Pertanyaan yang paling kuhindari di dunia ini bukanlah pertanyaan polos dari anak-anak y ...
Hafidz Cerdik
Jarum jam menunjuk di angka 4 kurang beberapa menit ketika Adnan terbangun dari tidurnya ...
Sayonara ( Halusinada )
Raga berlari di tengah malam, tanpa sekalipun menengok ke belakang. Ia kelalahan hingga te ...
7 Misteri Di Korea
Untuk membuat acara spesial di ulang tahun ke lima majalah pariwisata Arsha Magazine, Om D ...
Egler
Anton mengempaskan tas ke atas kasur. Ia melirik jarum pendek jam dinding yang berada di ...
Kepingan Hati Alisa
Di sebuah rumah sederhana, seorang wanita paruh baya berkerudung hitam, berbincang agak ...