Ablasa

Reads
158
Votes
0
Parts
9
Vote
by Titikoma

3. Kapal Misterius

Ical.
Aku, Hans dan Kun baru saja tiba di atas geladak kapal bermuatan kontainer yang kami tabrak. Kapal itu tampak usang.
“Mulai dari sini, lebih baik kita berpencar.” Aku berusaha mengatur napas yang tersengal selepas mendaki dengan susah payah ke atas kapal kontainer. Meski cukup terlatih sebagai petugas lapas, tapi mendaki dinding kapal kontainer yang jauh lebih tinggi dari Kapal Pengayoman yang kami naiki bukanlah perkara mudah. Apalagi kami harus bergelantungan dan mendaki belasan meter melalui jangkar kapal yang dipenuhi karat. Kun bahkan terluka karenanya. Ada luka baret panjang di dekat siku tangan kanannya.
“Kun, kau pergilah bersama Hans ke atas ruang kemudi kapal ini. Sedang aku akan memeriksa bagian bawah. Mengingat saat ini kita hanya memiliki dua buah senter, kurasa berpencar adalah pilihan terbaik.” Tak membantah, keduanya hanya mengangguk.
Aku tahu ada sesuatu yang tak beres di sini. Kapal ini, diamati dari sudut mana pun tampak seperti bangkai-bangkai kapal yang sudah terbengkalai puluhan tahun. Jangkar yang kami daki, dinding kapal, deretan kontainer besi di atasnya, hingga sampai ke anak tangga yang menuju lantai dua, semuanya dipenuhi dengan karat yang begitu tebal. Belum lagi aroma keusangan menguar dari segala penjuru.
Aku sempat berpikir, jika seandainya bangkai kapal ini benar-benar berada di jalur lintasan Segara Anakan yang menuju Pulau Nusakambangan, pastilah sudah terlihat sejak lama, sejak berhari-hari atau bahkan bertahun-tahun yang lalu. Tapi tidak. Aku malah merasa saat ini kami tidak sedang berada di Segara Anakan. Kalau pun benar kami ada di lintasan yang benar menuju Nusakambangan, satu-satunya hal yang mungkin adalah saat ini kami sedang tersesat di dunia lain. Untuk saat ini aku harus mengabaikan logika. Segalanya mungkin saja terjadi di kondisi seperti sekarang ini.
Seragam biru muda yang kukenakan sudah tampak berubah warna lantaran bekas terkena gesekan dengan benda-benda berkarat yang ada di kapal. Memeriksa lorong-lorong di antara deretan kontainer menjadi hal yang pertama yang mesti aku lakukan. Langkah kaki kuatur sedemikian pelan, namun tetap saja menimbulkan gema. Ini pasti karena alas sepatu safety yang kukenakan begitu keras dan berat—ada lempeng besi di dalamnya.
Menempelkan jari ke dinding kontainer, kuendus aromanya. Aku bisa mencium bau karat besi yang menyengat. Belum lagi jika kucumbui aroma yang ada, makin lama makin tercium bau apak berbaur dengan aroma menyengat lainnya—meski aku tak yakin dari mana aroma tersebut berasal.
Berdiri di antara deretan kontainer terakhir, aku bisa merasakan ada yang bergerak di belakangku. Seperti seseorang atau ‘sesuatu’ yang tengah mengintai. Segera aku berbalik dan menoleh. Kusorot dengan cahaya senter ke arah yang kucurigai. Nihil, tak ada siapa-siapa. Namun tetap saja aku merasa masih ada yang tengah mengawasiku dari balik salah satu kontainer.
“Kun? Hans? Kaliankah yang ada di situ?” Pelan, aku melemparkan pertanyaan pada seseorang atau apapun itu yang baru saja lewat. Sesosok bayangan sekali lagi tertangkap jelas melintas di antara lorong-lorong kontainer. Sekali lagi sorotan senterku tak menemui apa-apa. Tak mungkin itu Kun ataupun Hans.
Berpikir tak menemukan sesuatu, alih-alih bantuan untuk kapal kami, aku memilih segera menyusul Kun dan Hans yang ada di dek atas. Baru saja aku hendak melangkah, tiba-tiba terdengar derit salah satu pintu kontainer yang perlahan terbuka dengan sendirinya. Menuruti rasa penasaran, bukannya menjauh, aku malah melangkah mendekati pintu kontainer yang terkuak sebagian itu. Sinar senter kuarahkan ke mulut pintu untuk menambah penerangan selain pencahayaan remang yang berasal dari sisi atas yang mampu menembus gumpalan-gumpalan kabut yang sedari tadi masih tampak pekat—tak sedikit pun tampak hendak memudar.
Menahan napas, kucoba melongokkan kepala ke sisi dalam kontainer. Aroma busuk yang begitu kuat langsung memenuhi saluran pernapasanku. Menarik kembali kepalaku ke luar, aku lantas terbatuk beberapa kali dan nyaris muntah karenanya. Sial, baunya sungguh tak tertahankan. Masih penasaran dengan isi kontainer, kuputuskan untuk melongok sekali lagi ke bagian dalam. Kali ini aku menarik napas lebih panjang dari sebelumnya agar aku tak harus menghirup udara yang ada di dalam kotak besi raksasa itu.
Lampu senter kujadikan alat penyusur. Cahaya kekuningan itu perlahan mulai meneliti sedikit demi sedikit isi di dalam kontainer. Ada tumpukan benda berwarna gelap yang menggunung. Mataku tak dapat melihatnya dengan detail lantaran minimnya pencahayaan. Hanya ada gundukan-gundukan kantong plastik, benda hitam yang berjuntai dan ... belasan tengkorak manusia. Sial!
Baru saja aku hendak meninggalkan kontainer, tiba-tiba pintu kontainer itu tertutup dengan sendirinya. Seperti ada dorongan yang kuat dari luar. Tubuhku yang berada di antaranya mendadak terjepit. Rasanya sakit bukan main. Aku berusaha lepas dari jepitan pintu besi itu, tapi sepertinya sia-sia. Aku merasakan punggungku tertekan dengan amat dahsyat. Dadaku bahkan kini terasa begitu sesak. Aku ... aku tak bisa lagi bertahan. Aku hendak berteriak namun sama sekali tak kuasa. Seperti ada yang menyumpal jalur napasku.
Krek!
Suara itu benar-benar membikin ngilu siapa pun yang mendengarnya. Suara itu berasal dari patahan tulang belakang, juga tulang rusukku. Aku kini bahkan tak bisa lagi merasakan tubuh bagian bawah. Semuanya mati rasa. Kurasa saat ini tubuhku telah terpotong menjadi dua bagian, sebab mendadak bagian dalam kontainer kembali menjadi rapat dan gelap—pertanda pintu besi telah tertutup dengan sempurna. Senter di tanganku jatuh tertelungkup. Aku mencoba meraihnya. Dan tepat ketika senter itu terangkat, cahaya kekuningan itu tiba-tiba saja menangkap gambaran sosok mengerikan tepat di depan wajahku. Sosok berwajah pucat mengerikan. Dari mulutnya tersembur darah hitam pekat yang beraroma bangkai—bahkan memercik mengenai mukaku. Sebelum napasku benar-benar lenyap, meski hancur, aku masih bisa mengenali wajah sosok mengerikan itu.
***
Rebeca.
“Adakah dari kalian yang mau menemaniku ke toilet?”
Aku merasakan kandung kemihku telah dipenuhi dengan cairan yang sejak tadi siang kuteguk. Sebotol air mineral, segelas es teh manis, dan terakhir secangkir kopi hangat yang kuminum di kantin pelabuhan ketika bosan menunggu kapal penyeberangan ini merapat. Saat itu panas terik, entah mengapa aku merasa begitu dehidrasi. Sedang kopi, kujadikan sebagai penawar rasa kantuk akibat terlalu lama menunggu. Tapi nyatanya secangkir kafein itu tetap tak berguna. Toh, ujung-ujungnya aku masih saja terlelap di atas kapal. Begitu bangun, semuanya sudah memburuk seperti saat ini. Sial, bukan?
“Apa kau serius dan masih berpikir hendak ke toilet di saat mencekam seperti ini?” Nindya memandangku dengan tatapan tak percaya, sedang tangan kanannya hanya membolak-balik kartu tanda pengenal wartawan yang terkalung di lehernya.
“Lalu aku harus bagaimana? Apa kau ingin aku menuntaskannya di sini?” Meski masih diliputi ketakutan, tapi untuk saat ini aku benar-benar tak bisa menahannya.
Tanpa menjawab, aku tahu Nindya, Airin juga Pamela jelas tak setuju. Mata ketiganya membulat lebar.
“Lebih baik kau buang air di luar dek sana saja. Toilet terlalu jauh dari sini.” Samuel menunjuk ke arah luar ruang kemudi. Beberapa saat kemudian ia kembali berujar, “Aku akan menemanimu.”
Pintu pembatas ruang kemudi dengan dek penumpang dibuka. Seketika aku ingat bahwa beberapa saat yang lalu bangku-bangku kosong yang berjajar itu nyaris dipenuhi penumpang. Penumpang dewasa, anak-anak, petugas LP, awak kapal, semuanya membaur menjadi satu. Aku bahkan beberapa kali melihat binar kebahagiaan menggantung di sudut mata para penumpang yang hendak menjenguk keluarganya—salah satunya adalah seorang istri yang membawa bayi mungil berusia empat bulan yang hendak menemui bapak kandungnya untuk pertama kali. Barangkali binar itu pula yang tampak di sudut mataku sesaat yang lalu, sebelum aku dikepung kabut-kabut pekat yang terasa menyesakkan ini.
“Berjongkoklah di sudut sana. Aku tak akan mengintipmu. Percayalah.” Membalikkan badan, Samuel menatap ke arah berlawanan.
“Aku percaya, tak mungkin pula kau mau mengintip seorang perempuan paruh baya sepertiku.” Tanpa menghiraukan angin yang menusuk tulang, segera saja kutuntaskan prosesi buang air kecil yang sedari tadi coba kutahan. Di usia sepertiku ini, nyatanya menahan kemih adalah hal yang tak gampang buatku. Apalagi sejak tadi aku dicekam gigil yang tak berkesudahan lantaran ketakutan yang amat sangat. Membayangkan kembali mayat-mayat yang katanya bergelimpangan di geladak, hanya malah membikin bulu kudukku kembali berdiri.
“Kau tahu, kurasa putraku yang tengah mendekam di Lapas Batu usianya tak berbeda jauh darimu. Barangkali dia lebih tua dua atau tiga tahun di atasmu.” Mencoba memecahkan keheningan, aku memancing pembicaraan—termasuk cara untukku mengusir rasa takut.
Mengendikkan bahu, Samuel bersuara. “Bagaimana kau yakin anakmu bukan teroris?”
“Naluri seorang ibu. Naluri yang tak pernah salah.”
“Apa benar demikian?”
“Ya. Anakku adalah anak yang penurut. Pendiam. Ia bahkan tak pernah sekali pun meninggalkan ibadahnya. Aku tak tahu di mana otak para polisi yang menangkap anakku itu berada. Mereka bahkan tak memiliki bukti yang kuat. Satu-satunya yang mereka punyai hanyalah dugaan-dugaan tak masuk akal.” Pedih setiap kali aku mengingat penderitaan anakku yang pastinya tersiksa di dalam sel. “Apa kau punya air untukku membersihkan sisa air seni?” Sungguh aku benar-benar tak mempersiapkan hal kecil ini.
“Tunggu, kurasa aku tadi memiliki sisa air minum di saku tas ranselku. Aku akan mengambilkannya sebentar untukmu. Hanya beberapa meter di bangku penumpang bagian depan.” Samuel mulai beranjak, dan sejak itu aku menyadari kesalahanku. Aku tak seharusnya membiarkan pemuda itu berada terlalu jauh dari jangkauanku di saat-saat seperti ini.
Tanpa pikir panjang, langsung saja kuperbaiki posisi celana dalam dan rok panjang yang kukenakan. Aku sudah tak peduli. Berdiri, hendak kuikuti langkah pemuda berkaus cokelat itu.
“Sam ...,” Belum sempat aku selesai menyebut namanya, dari sisi tangga yang menuju ke arah geladak—yang hanya beberapa langkah posisiku berdiri—tiba-tiba tampak sesuatu yang bergerak-gerak.
Sial! Ada mayat hidup—setidaknya begitulah kalau aku bisa menggambarkannya—merangkak menuju dek. Bagian kepala dan tubuh atasnya bahkan sudah ada di lantai yang kini kupijak. Bagian tubuh itu rusak. Rambut panjangnya berserakan menutupi sebagian tubuhnya. Darah mengucur dari bekas-bekas luka yang menganga, sedang tulang sewarna gading yang ikut memerah menyembul di persendian-persendian yang patah. Ada gemeretak memilukan setiap kali makhluk itu bergerak. Asalnya dari tulang-tulang yang tak lagi berada pada jalurnya, tak lagi berada pada ruas yang benar.
Mulutku sudah terbuka, namun suaraku justru tercekat di kerongkongan. Pita suaraku seperti kelu, seperti tubuhku yang hanya diam membeku. Hitungan detik, makhluk tadi sudah mampu menggapai ujung kakiku yang kaku. Sungguh aku ingin berteriak. Tapi yang keluar hanya embus udara kosong dari bibir. Samuel masih melangkah menuju jajaran kursi paling depan, sebentar lagi ia akan tiba di posisi di mana ia meletakkan sisa air mineral yang sebelumnya kuminta.
“Sam ....” Tak lebih kuat dari sebuah bisikan, suara yang berhasil kuciptakan. Pemuda berkaus cokelat itu masih saja mengikuti ke mana langkahnya menuju. Sedang aku, tubuhku mendadak terasa lemah. Kedua kaki kurasakan tak lagi mampu menopang tubuh yang terlalu berat. Aku limbung seketika. Namun sesaat sebelum tubuhku berdentum menjatuhi lantai dek, sosok remuk tadi menarikku dengan kecepatan yang sungguh tak masuk akal. Kurasakan badanku seperti dilontarkan tenaga yang begitu besar. Aku terempas keras ke arah buritan kapal, hingga kemudian dingin lantai geladaklah yang menangkap tubuh lemahku. Aku mati rasa. Kudengar samar-samar suara Samuel yang memanggilku.
“Rebeca!?”
Itu menjadi suara terakhir yang kudengar.
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices