Hopeless Cries

Reads
223
Votes
0
Parts
23
Vote
by Titikoma

14. Sebuah Rahasia

SAAT siang menjelang, dering telepon membuyarkan lamunanku. Tanpa kuduga, telepon itu berasal dari Andro, yang sudah beberapa hari ini tidak ingin kutemui. Dia meminta waktuku untuk nanti malam. Dia mengajakku makan malam di Oriental Cafe. Katanya, ada satu hal yang ingin dibicarakannya.
Fakta bahwa Andro adalah kekasih Andari, membuatku mencoba untuk menolak. Perasaan seperti apa yang dirasakan oleh An-
malam bersama seorang perempuan lain selain dirinya. Aku tidak ingin Andari marah kepadaku dan menganggapku sebagai seorang perempuan penggoda.
Ketakutanku sepertinya terbaca oleh Andro. Dia menegaskan, sebelum dirinya meneleponku, dia telah membicarakannya terlebih dahulu kepada Andari. Perempuan itu memberikannya izin untuk bertemu denganku. Andari tidak keberatan.
“Bahkan aku tahu pasti siapa lelakimu itu.” Andro menatapku penuh iba. Dia mengajakku makan malam untuk membicarakan lelakiku yang sedang kutunggu kehadirannya. Tanpa kusangka, ternyata Andro mengetahui hubunganku dengan Dito sudah sejak lama. Aku sangat terkejut karenanya.
“Lelakimu tidak cukup baik untukmu. Ketika lelaki itu menghilang, aku memutuskan bagaimana pun caranya aku harus bisa mendekatimu,” terangnya. “Aku menyukaimu semenjak lama, itu faktanya. Lelaki itu satu-satunya penghalang yang harus bisa kusingkirkan. Sekuat tenaga aku berusaha untuk bisa memilikimu, meskipun kutahu, hatimu hanya untuk lelaki itu. Aku mencoba bersabar dan menunggu, hingga matamu bisa terbuka lebar bahwa yang benar-benar ingin mencintaimu aku. Bukan lelaki itu.”
Aku semakin tidak mengerti apa arti dari semua ini. “Apa maksudmu, Dro?”
“Aku mengenal lelaki itu seperti aku mengenali diriku sendiri. Kau mungkin akan terkejut bila mengetahui kebenaran itu. Aku tidak ingin mengatakannya sekarang, Ervina. Mungkin suatu saat nanti, ketika waktunya sudah sangat tepat.”
“Hentikan! Aku semakin tidak memahaminya!” bentakku. Penjelasan Andro yang panjang lebar membuatku pusing tidak keruan. Siapa sebenarnya Andro? Dan ada hubungan apa antara Andro dengan Dito?
“Ya. Tentu saja aku akan menghentikan semua omong kosong ini. Semakin aku menjelaskan, tampaknya kau akan semakin tidak memahaminya. Namun, kelak kau akan memahami dengan sendirinya.”
Aku bangkit dan mencoba bergegas pergi. Perbincanganku dengan Andro terlalu absurd. Ini hanya membuang waktuku saja. Aku ingin pulang, tertidur pulas, lantas melupakan semua pembicaraan ini.
Aku hampir mendekati pintu keluar kafe ketika tangan Andro menarik pergelangan tanganku. Ini sangat kasar. Aku ingin menamparnya kalau saja tidak sadar kalau Andro temanku, dan aku sempat menyukainya.
“Dengarkan aku, Ervina. Ini yang terakhir.”
Inginnya aku berontak. Namun, tidak kulakukan.
“Dito. Lelakimu bernama Bramantio Anindito, bukan?”
Aku terkejut. Dari mana Andro tahu nama lelakiku dengan sangat lengkap. Bahkan, aku tidak pernah sekalipun menyebut namanya di depan Andro, apalagi membahasnya.
“Tahu dari mana?”
“Aku tahu semuanya,” ujarnya. “Sampai nanti. Terima kasih atas kesediaannya memenuhi undanganku, Er.”
Aku mematung, memikirkan akhir kejadian barusan. Andro berlalu dari hadapanku.
“Tunggu!” teriakku. Sayangnya, Andro sudah hilang dari pandangan.
***
Aku ingin merokok, lagi. Bahkan, aku ingin mabuk bila memang bisa.
Bulan Mei akan segera berakhir. Itu artinya, tinggal dua hari waktu tersisa untuk sebuah kejelasan untuk hubungan percintaanku. Dito telah mengatakannya bahwa dia akan menemuiku. Harusnya aku bahagia. Sebaliknya, perasaanku dibekap oleh kecemasan.
Apa-apa yang dikatakan oleh Andro di Oriental Cafe tidak henti membuatku gelisah. Aku terlalu mengira-ngira bahwa Dito dan Andro adalah dua orang yang saling mengenal. Bisa saja mereka berteman atau bersaudaraan atau kembar.
Sepanjang hari aku dilanda rasa cemas. Sebagai pelarian, aku memikirkan hal-hal yang sebelumnya tidak aku pikirkan: merokok salah satunya. Aku berpikir bahwa merokok bisa membuatku jauh lebih tenang.
Rokok lagi?
Pertahanan diriku akan hal yang satu ini bobol. Aku memutuskan kembali untuk merokok. Tidak ada yang mengetahuinya termasuk Lisa, juga mamaku.
Aku mengurung diriku di dalam kamar seharian penuh. Ketika Mama memanggilku dan meminta aku turun untuk sekadar makan, aku hanya bisa menolak.
“Aku belum lapar,” jawabku.
Mama mengetuk pintu kamar. Aku tidak bisa membiarkan mamaku masuk ke dalam kamar, sementara asap rokok bergulung-gulung selayaknya ada kebakaran. Aku hanya melongokkan kepala dan berkata: sedang diet, Ma. So, jangan biarkan dietku gagal. Mama sama sekali tidak curiga. Beliau bergegas menuruni anak tangga satu demi satu. Aku mengembuskan napas lega.
Kuliahku berantakan. Beberapa kali dosenku marah dan memberikan surat peringatan. Masa bodoh! Aku tidak lagi peduli.
***
Dito membuatku kecewa. Dia benar-benar tidak datang. Seharian tadi, aku hanya bisa duduk termenung sementara orang-orang datang dan pergi bergiliran. Dito mengatakan, kala itu, bahwa setelah semua urusannya selesai, dirinya berjanji untuk datang menemuiku, apa pun yang terjadi. Dito ternyata seorang pembohong besar.
Aku sangat kecewa. Apa yang kutakutkan selama ini terbukti. Dito melakukannya lagi, dan itu untuk kali kedua. Betapa berengseknya seorang Dito. Andai aku mau lebih berkompromi dengan hati kecilku, kejadian seperti ini harusnya tidak terjadi.
Seandainya aku melupakannya di saat kehilangan dirinya pada kali pertama. Seandainya ... seandainya ... aku pikir tidak ada seandainya bila aku lebih tegas dengan diriku sendiri.
“Lelakimu tidak cukup baik untukmu.” Kalimat Andro masih terngiang di pendengaranku. Aku baru tahu dengan apa yang dimaksud olehnya.
“Dia tidak akan pernah benar-benar datang menemuimu. Percaya aku, Er.”

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices