Hopeless Cries

Reads
225
Votes
0
Parts
23
Vote
by Titikoma

15.hangover

SAAT aku membuka mata, sesuatu yang salah sedang terjadi pada diriku. Aku terbaring di antara bunyi statis alat pemacu detak jantung. Aku sedang berada di dalam ruangan sebuah rumah sakit. Itu yang bisa kupastikan setelah melihat suasana sekeliling, selang yang jarumnya menancap di pergelangan tangan, tabung infus, juga alat pacu jantung. Aku masih belum memahami apa yang sebenarnya terjadi kepada diriku. Yang kuingat, aku sedang menunggu kehadiran lelakiku di sebuah pub. Aku minum terlalu banyak. Mungkinkah aku mabuk?
Saat aku membuka mata. Kali pertama yang kulihat adalah wajah Andro. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Kelopak matanya yang sedikit menggelambir menandakan bahwa dirinya, semalaman tadi tidak tidur. Aku menangkap keresahan di bola matanya. Ketika aku menatapnya—tidak secara langsung, hanya memicingkan mata—Andro tampak dibekap kegelisahan yang aku tidak tahu.
Sejak kapan dia di sini? batinku.
Ingin aku mengeluarkan suara sekadar bertanya akan apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku. Aku urungkan, sebab matanya yang sipit semakin tampak menyipit, sepertinya kantuk mulai menguasainya. Aku tidak hendak mengganggunya. Maka kuputuskan untuk diam saja sampai waktunya tepat.
Pintu ruangan terdengar dibuka dari luar oleh seseorang. Saat yang tepat untuk membuka mata. Andro sedikit kaget atas bunyi pintu yang dibuka. Dia menoleh. Seorang suster masuk dengan kotak ransum makanku di tangannya, melirik sepintas Andro, lantas mengangguk.
“Anda boleh istirahat,” ucap suster itu. Andro menggeleng pelan. “Baiklah kalau begitu.”
Suster menyimpan kotak itu di atas meja, menatap ke arahku dan tersenyum. “Agak mendingan, Mbak?” Aku mengangguk. “Silakan dimakan, takut keburu dingin,” tambahnya seraya bergegas.
“Aku kenapa, Sus?” tanyaku. Terlambat, suster itu sudah bergegas keluar dari ambang pintu dan abai dengan pertanyaanku.
“Jangan dulu banyak tanya, Non!” ujar Andro yang sedari tadi, tanpa kusadari sedang memperhatikanku.
“Kenapa?” tanyaku.
Andro merengut. “Jangan pikirkan dulu. Makan, lalu istirahatlah biar kau bugar kembali.”
“Aku tidak akan melakukannya bila kau tidak menjelaskan apa yang terjadi padaku.”
“Dasar keras kepala. Aku tidak akan mengatakannya sampai kau mau makan.” Andro mengambil ransum makan itu dan bersiap menyuapiku. Aku menatapnya. Ada ketulusan di bola matanya. Ah! Kenapa aku ini begitu bodoh. Mengabaikannya selama ini adalah kebodohan yang membuatku merasa jadi seorang penjahat.
“Aku tidak lapar,” ujarku.
“Pembohong kecil.”
Pembohong kecil? Lagi-lagi kalimat itu terulang dari bibirnya.
“Ayolah,” bujuknya.
“Baik. Aku mau makan kalau kau pun mau makan juga.”
“Makan apa?”
Aku menunjuk ransum makan itu dengan kerlingan mata.
“Apa?!” Andro pura-pura terkejut. “Ini kan jatahmu.”
“Ya. Nggak apa-apa.”
“Er ... baiklah. Satu suap untukku, satu suap untukmu. Adil, ‘kan?”
Suasana seperti ini semakin membuatku merasa kian bersalah. Andro bukan Dito. Dito pun bukan dirinya. Tetapi, kenapa aku bisa sampai terjebak di antara keduanya?
***
“Dia tidak datang.”
“Aku tahu,” Andro menatapku penuh iba. “Bukankah aku sudah mengatakannya?”
Kekecewaan besar tersirat dari rona wajahnya. “Andai kau tahu apa yang sebenarnya terjadi,” Andro mendesah. “Akan kuceritakan semuanya ... sampai saatnya tiba.”
“Apa yang ingin kau ceritakan?” desakku. “Kenapa tidak sekarang saja?”
“Bukankah sudah kukatakan belum saatnya?”
“Dro, kumohon.”
“Tidak, Er. Biarkan waktu yang akan mengatakannya.”
“Tampaknya sangat serius,” gumamku. Andro menautkan kedua ujung alisnya.
Andro hendak keluar dari dalam ruangan ketika kalimat itu meluncur. Dia hendak pulang. Andari, katanya tadi menghubunginya dan menyuruh dirinya menemui perempuan itu. Aku menyetujuinya. Toh, Andari jauh lebih berhak atas diri Andro.
“Kau mabuk, dan juga pingsan di pub, menunggu seorang lelaki yang harusnya tidak pantas kau tunggu. Memalukan sekali,” ujarnya seraya mencibir. Pukuran telak bagiku.
Menunggu seorang lelaki yang harusnya tidak pantas untuk ditunggu. Baiklah, tingkahku dengan menunggunya adalah memalukan.
“Sampai nanti,” pamit Andro.
“Sampai nanti,” balasku. “Tidak usah ke sini lagi. Aku takut Andarimu akan marah.”
Tidak ada jawaban dari Andro setelahnya. Semuanya hening kemudian. Lalu, rasa sakit itu mengalir kembali dalam diriku.
“Sialan kau, Dito!”
***
Aku sudah merasa baik. Setelah hampir setengah jam berdebat dengan Mama, akhirnya aku yang memenangi peperangan ini: Mamaku menyerah dan mengabulkan permintaanku hari ini. Aku ingin segera keluar dari ruangan membosankan rumah sakit ini. Papa Irwan sedang sibuk, jadi urusan ini menjadi tanggung jawab Mama.
Mama sudah mengemas barang-barang yang sempat dibawanya selama berada di rumah sakit ini. Hampir aku melangkah pergi kalau saja Andari tidak datang.
Di depan pintu, Andari berdiri seolah sedang menunggu.
"Apakah aku terlambat membesuk?" tanyanya. Sementara Mama terus beranjak, aku memutuskan untuk berhenti sementara.
Aku tersenyum. "Sepertinya iya. Aku hendak check out," jawabku.
Andari tampak menyesal atas keterlambatannya. "Maafkan aku. Tadinya kupikir kau akan masih berada di sini hingga beberapa hari ke depan."
"Terlalu membosankan berlama-lama di sini, Andari," candaku seraya terbahak. "Lebih baik di rumah."
"Boleh aku ikut ke rumahmu, Er?" Aku menautkan kedua ujung alisku. Ini permintaan yang menurutku pasti ada sesuatu di belakangnya.
"Dengan senang hati," jawabku.
Selama perjalanan pulang, tidak ada pembicaraan serius di antara kami berdua. Bahkan, Andari tidak sekalipun menyelipkan nama Andro ke dalam perbincangan kami. Aku pikir ini tidak biasanya. Sebenarnya aku ingin menceritakan banyak hal perihal Andro yang kemarin menungguiku. Ketika keinginanku itu hampir terlontar dari bibirku, aku membayangkan kemarahan seperti apa yang akan diperagakan Andari. Aku memutuskan untuk tidak mengatakannya.
***
"Cinta itu butuh pengorbanan, Er," ujarnya tiba-tiba ketika aku sedang berada di atas balkon rumahku sementara Andari berdiri dengan tangan mencengkeram tembok pembatas balkon yang berteralis besi. "Juga butuh berlapang dada."
Aku menatap penuh curiga. Bahasan seperti apa yang ingin dibicarakannya sekarang ini. Apakah menyangkut Andro?
"Maksud kau ... apa?"
Andari mendesah. "Terkadang mencintai orang yang tepat itu sangat sulit. Sekalipun dapat, kita tidak pernah yakin bahwa cintanya bisa seratus persen."
Aku semakin paham akan inti ucapan Andari, tapi belum mau menerka yang dimaksud itu Andro. Siapa tahu bukan menyangkut Andro, bisa saja orang lain?
"Apakah yang kau ingin bicarakan itu soal Andro, Andari? Ada apa dengan dirinya?"
Sekali lagi Andari mendesah. "Iya, ini perihal Andro. Rasa cintanya juga," jawabnya.
"Dia tidak benar-benar mencintaimu?"
"Harusnya aku tahu sejak dari awal."
"Kau yakin?"
"Ya, sangat yakin. Cintanya kepadaku hanya pelarian semata. Aku mengetahuinya karena dia mengatakannya dengan sangat terus terang. Mulanya aku marah, kecewa, dan sakit hati. Setelah kupikir-pikir, ini jauh lebih baik. Kejujuran seorang lelaki jarang aku temui dalam konteks hubungan kami. Sakit hati? Sudah pasti. Namun, cinta tidak bisa dipaksakan hingga seratus persen. Andro mengatakan bahwa dirinya ingin mencintaiku dengan sepenuh hati, tetapi dia tidak bisa melakukannya." Andari menghentikan kalimat panjang-lebarnya. Kedua sudut matanya mengembun.
"Dia mencintai seseorang, yang, dalam segi apa pun, menurutnya sempurna. Aku tidak mau memaksakan diri. Lebih baik sakit sekarang daripada nanti, setelah hubungan berjalan cukup lama."
Aku tidak berani menyela. Takutnya aku salah bicara.
"Pantas saja dia selalu menolak kalau aku ingin jalan bareng di kampus. Pantas saja dia tidak mau datang ketika aku mengajakmu turut serta. Kepantasan yang seharusnya sejak dulu patut kucurigai," lanjutnya. "Andro mencoba untuk mencintaiku. Dia hanya mencobanya. Aku, tentu saja, tidak mau jadi perempuan percobaan. Ketika kutanyakan siapa perempuan yang dia maksud, dia menjawabnya dengan blak-blakan. Sebenarnya, aku sudah tahu siapa perempuan itu. Hanya saja aku ingin mendengarnya langsung dari mulutnya. Perempuan itu ... kamu, Ervina."
Aku sama sekali tidak terkejut atas pengakuan itu. Dari awal dia berbicara, hampir semuanya mengarah kepadaku. Ini sebenarnya sudah bisa kuprediksi jauh jauh hari bakal terjadi. Harusnya Andari marah kepadaku. Karena dia berhak marah atas apa yang terjadi dengan hubungannya dengan Andro.
"Maaf atas kesalahanku," sesalku. "Kau berhak marah kepadaku, jadi lakukan. Aku siap dengan segala kemarahanmu."
Andari menoleh ke arahku dengan embun bening di kedua belah matanya. "Kamu tidak salah. Akulah yang salah, jadi aku tidak berhak marah kepadamu. Kepada Andro pun tidak."
"Jangan pernah menyalahkan diri sendiri, Andari. Semua karena diriku." Jujur, aku merasa menjadi seorang pesakitan di hadapan Andari. Kalaupun vonis yang dijatuhkan Andari saat ini membuatku tersudut, aku akan menerimanya dengan dada lapang.
"Bukan," jawabnya. Dia membalikkan badannya kembali ke arah depan, di mana burung-burung pipit hinggap di ranting pohon angsana, seberang rumahku. "Aku yang terlalu memaksakan diri. Dari semula, Andro tidak benar-benar mencintaiku. Aku mengetahui fakta itu dan mengabaikannya. Andro hanya mencintaimu seorang, tetapi kau mengacuhkannya. Sebenarnya dia mendekatiku sebagai bentuk pelarian. Harusnya aku berontak, nyatanya aku tidak bisa. Aku kadung nyaman dengan Andro. Aku tahu Andro butuh seseorang untuk berbagi kesah, akulah orangnya yang bersedia." Andari menyeka sudut matanya.
"Andro tidak ingin menyakitiku hingga mengatakannya kepadaku sangat awal, katanya dia tidak yakin bisa mencintaiku sepenuh hati selama dirinya memikirkan kau, Ervina. Aku meyakinkan dirinya bahwa Andro bisa mencintaiku dengan perlahan. Nyatanya, itu tidak terbukti. Ini konsekuensinya. Karena kau yang selalu ada dalam pikirannya. Terkadang aku iri padamu, Er. Kau bisa membuat seorang Andro terus berharap."
Aku bergeser dari sisi balkon, mendekatinya, lantas memeluk bahunya lembut. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud ...."
"Sudahlah, Er, jangan terlalu merasa bersalah." Andari ikut memelukku. Kami saling berangkulan. "Jangan sia-siakan Andro. Di tanganmu, dia akan merasa berarti."
"Aku tidak bisa, Andari."
"Harus bisa." Andari melepaskan pelukannya. "Kuserahkan kembali Andro padamu."
"Tapi ...."
"Dito?"
Aku tidak menjawabnya. Andari telah menemukan jawaban atas kegusaranku.
"Andro benar. Ditomu tidak akan pernah kembali."
"Tapi ...."
"Andro lelaki yang baik. Bahkan ketika dia mendengar kabar kau kolaps di pub, dia langsung meminta diri untuk pergi, padahal aku sedang bersamanya. Makan malam. Ini menjadi bukti bahwa kau, jauh lebih berarti dibandingkan aku." Andari mengembuskan napas berat. "Aku tahu apa artinya itu. Jadi, keputusan itu harus aku ambil. Jujur ... aku sangat tidak ingin ... dinomorduakan."
Andari meminta diri untuk pergi. Aku mengantarnya hingga teras.
"Baik-baik ya, Er. Aku pulang," pamitnya. "Dan ingat, setelah kejadian ini, aku tetap sahabatmu. Jangan pikirkan hal lainnya."
"Maafkan aku, Andari."
Andari tersenyum ceria. Padahal, dalam hatinya bisa aku tebak bahwa dia tengah terluka.
"Tidak ada yang harus dimaafkan, Er. Cinta butuh pengorbanan. Aku mengorbankan semuanya demi cinta. Cintamu. Cintaku. Cinta Andro!" teriaknya sebelum masuk ke mobil. Dia melambaikan tangannya.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices