by Titikoma
Chapter 1
Perjalanan Jakarta - Bali via jalur selatan naik mobil memakan waktu kurang lebih tiga puluh jam jika tanpa hambatan dan nonstop. Aku mulai bosan dengan kemacetan yang tak kunjung terurai di tol Cipali. Canda tawa kami yang sedari tadi pecah sudah berangsur melemah. Frisky bahkan sudah tak sanggup menegakkan kepalanya hingga terkulai ke sisi kanan dan kiri secara bergantian, menuai protes dari Vega dan Gilang.
“Lama-lama kepalanya Frisky gue penggal juga nih,” sungut Gilang kesal.
Aku kebagian mendampingi supir yang kebetulan adalah suamiku, Jay. Di sini aku merasa aman dari kejengkelan yang dialami Gilang dan Vega di bangku belakang. Dosen biologi meminta kami melakukan penelitian biota laut, dan kami memilih untuk meneliti biota laut pantai Lovina, Bali. Lovina merupakan salah satu pantai di Bali yang ombaknya tenang. Wisata Pantai Lovina adalah snorkeling dan dolphin hunting atau berburu lumba-lumba.
Wisatawan akan naik boat sebelum matahari terbit untuk menikmati matahari terbit di tengah laut. Pada sekitar jam sembilan pagi biasanya lumba-lumba mulai bermunculan di tengah laut untuk mencari makan. Momen kemunculan lumba-lumba inilah yang dinantikan oleh para turis lokal maupun mancanegara. Kabarnya, intensitas kemunculan lumba-lumba saat ini sangat jauh berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Inilah yang akan menjadi topik penelitian kami kali ini.
Aku, suamiku, dan ketiga sahabat konyolku dipertemukan di bangku kuliah pada kelas yang sama. Kami memang pecinta trip seperti naik gunung, mengeksplor wisata-wisata alam, dan tempat-tempat keren lainnya di Indonesia. Untuk itulah kami sengaja mengambil tempat penelitian yang jauh dan lebih memilih mengendarai mobil daripada naik pesawat atau
kereta api, karena rencananya setelah selesai penelitian nanti, kami akan sekalian mengeksplor tempat-tempat wisata di Jawa, seperti Jogja, Solo, dan Malang. Persahabatan kami pun terjadi karena hobi kami tersebut. Ini merupakan petualangan kami yang entah kesekian kalinya, namun tetap sama serunya.
Telletubbies adalah nama kompak kami berlima. Tak peduli dengan jumlah anggota kami tak sama dengan jumlah anggota Telletubbies yang sesungguhnya. Vega, si ratu dandan mulai rewel karena make-upnya sudah luntur dan belum memiliki kesempatan untuk touch up. Walaupun ia pecinta trip and travel, ia tak dapat jauh dari perkakas dandannya.
“Gue ini traveler cantik. Nggak selamanya image buluk melekat pada seorang traveler, apalagi traveler cantik sepertiku ini,” katanya tanpa merasa berdosa dulu, saat pertama kami melakukan perjalanan bersama.
Namun semakin sering bersama, semakin kami dapat memahami dan memakluminya. Frisky, sosok pria tampan nan berbalik 180 derajat dengan Vega justru selalu berpenampilan kucel dan dekil, namun anehnya selalu wangi.
“Si Frisky mandi nggak sih? Wanginya masih bertahan aja. Untung wangi, kalau bau, gue nggak akan rela berbagi pundak dengan dia di saat-saat seperti ini.” imbuh Vega seraya menoyor sedikit kepala Frisky agar ia kembali ke posisi semula.
Namun bukannya terbangun, ia malah lunglai ke kanan, lalu Gilang, si pecinta hewan langka, menoyornya ke kiri, Vega menoyornya lagi ke kanan, ke kiri begitu seterusnya sampai mereka bosan mempermainkan Frisky yang makin pulas. Aku tertawa melihat mereka mengerjai Frisky.
“Vie, sini ikutan!” Seru Vega tertawa geli. Ia mendapat mainan baru.
Aku hanya tertawa memandangi mereka. Tak lama kemudian Frisky menggeliat, terbangun dari mimpi indahnya.
“Apa kita sudah sampai?” tanyanya polos. Khas wajah orang baru bangun tidur dengan banyak lipatan di wajah dekilnya.
“Masih di Jakarta.” Jay menyahuti dari belakang kemudi.
“Oh, God. Masih di Jakarta? Padahal gue mimpi kita sudah sampai Amerika. Jam berapa kita akan sampai di Bali?” ujar Frisky kalem.
Gilang dan Vega cekikikan mendengar jawaban Frisky yang paling cerdas diantara mereka, namun bodoh menurut mereka semua.
“Dua puluh empat jam lagi, itupun kalau lo nggak diumpetin sama kuntilanak di Bali nanti,” kata Jay terus menggodanya.
“Mana mungkin kuntilanak suka sama gue yang ganteng ini. Paling juga lo Jay yang bakal digondol genderuwo," tukas Frisky sok cool.
"Ada juga elo. Genderuwo kabarnya cinta makhluk dekil kayak lo," balas Jay datar tapi menusuk.
“Jahat kamu, Yang.” Aku menjawab pertanyaan Jay sambil menahan tawa.
“Biar saja,” sahut Jay puas, tawanya pecah seribu.
Canda tawa kami mengantarkan kami pada jalanan berdebu. Teriknya matahari membuat kulitku terasa melepuh. Dinginnya AC mobil nyaris tak terasa sama sekali. Kami baru saja beranjak lagi dari rest area terdekat untuk sekadar meluruskan badan. Berhenti di pom bensin jadi hobi kami sementara ini, karena perjalanan sangat panjang.
"Tadi malam gue mimpi gue hamil." Aku mengganti topik obrolan lain.
Aku dan Jay baru menikah satu bulan lalu. Mengambil keputusan untuk menikah di tengah-tengah masa kuliah bukanlah hal yang mudah, karena aku takut akan mempengaruhi kuliah kami juga pada awalnya. Namun Jay meyakinkanku, apapun yang terjadi nanti pasti akan jadi hal yang indah jika dijalani bersama.
"Mimpi hamil? Hamil sama siapa?" Celetuk Gilang tanpa dosa.
Pipiku bersemu, kulirik Jay melalui kaca spion tengah, mata kami bertemu. "Nggak tau, yang jelas senang rasanya mimpi hamil," ujarku seraya mengelus perutku yang rata karena rajin ikut club belly dance.
Pikiranku menerawang kembali mengingat- mimpiku semalam. Benar-benar seperti nyata rasanya perutku berisi janin darah dagingku.
“Ya hamil anak gue lah.” Jay memberengut.
"Well, mimpi hamil...coba sini gue liat tangan lo, Vie!" Pinta Frisky.
"Jangan lama-lama pegang tangan isteri gue, ntar lecet," ujar Jay cuek.
"Yaelah, paling juga lecet dikit," cibir Frisky.
Aku mengulurkan tanganku padanya. Frisky memang salah satu yang paling 'aneh' di antara kami berlima. Dream Analyst. Begitu kami menyebut dirinya. Frisky dapat menganalisa mimpi seseorang jika ia mau, seperti yang ia lakukan padaku saat ini. Dengan menggenggam tanganku, ia akan membaca dan menganalisa arti mimpiku semalam.
"Lo lagi menginginkan sesuatu tapi belum bisa lo wujudkan sekarang. Keinginan ini sudah lama lo pendam, tapi lo belum bisa mewujudkannya." Terawang Frisky.
Aku mendengarkan dengan seksama. Keinginan terpendam, ya? Keinginan yang belum terwujud sejak lama. Apa ya? Aku mencoba mengingatnya. Rasanya banyak sekali keinginanku, namun yang saat ini menghantuiku hanya satu.
"Ingin punya anak seganteng Aaron Ashab katanya." Jay menimpali.
Aku terdiam.
"Iya lah, apalagi keinginan Vizara yang belum terwujud selain memiliki anak mirip artis arab itu?" Tukas Vega tanpa basa basi.
"Gue kira lo maunya anak lo nanti mirip sama gue, Vie. Gue juga kan kaya arab-arab gitu. Arab maklum.. Hahaha." ujar Gilang diikuti oleh tawanya yang sumbang.
"Sekarang pilih, lo mau turun sendiri atau gue yang turunin lo, Lang?" Ancam Jay.
Lalu kami tertawa sambil melempari Gilang dengan bantal yang kami bawa.
***
Pembahasan tentang dunia mimpi masih berlanjut hingga berjam-jam. Menjadi pembunuh waktu dan penyurut lelah.
"Jay, lo nggak ngantuk? Gantian sama gue sini." Frisky menawarkan untuk gantian menyetir, padahal ia tidak bisa nyetir.
"Gak usah, Ky. Gue belom capek. Lagian kalo lo yang nyetir ntar lo nyetirnya sambil tidur, terus kepala lo lunglai kiri kanan." Ledek Jay.
Sontak mengundang tawa kami semua. Kupandangi jalanan yang perlahan menjadi gelap. Sorot lampu menyilaukan mataku. Kupasang kaca mata hitam yang harusnya kupakai saat di pantai nanti.
"Kita belum sampai di Bali, Sayang." Jay tertawa melihat tingkahku.
"Silau, tauuu."
"Malam ini kita tetap jalan biar lekas sampai, ya gaes!" seru Gilang.
Gilang akan menggantikan Jay menyupir mobil malam ini agar Jay bisa istirahat, dan kami tetap jalan agar lekas sampai Bali. Kami hanya berhenti untuk istirahat dan makan.
"By the way, gantian dong, Ky. Tolong analisa mimpi gue!" Ujar Vega tiba-tiba.
"Kenapa? Lo mimpiin gue?" Tukas Frisky kepo.
"Ish, pede banget. Gue serius nih. Tadi malam gue mimpi digigit monyet. Kira-kira artinya apa ya?"
Frisky tampak berpikir sejenak. "Sini tangan lo!" Pintanya.
"Lo punya musuh, Vega. Ada orang yang benci sama lo. Dan suatu hari nanti dia akan melakukan sesuatu sama lo," lanjut Frisky serius.
Air muka Vega kontan berubah. Tersirat ketakutan, kekhawatiran, dan kebingungan di wajahnya. Aku berbalik menghadapi mereka bertiga. Jay pun latah ikut berbalik.
"Lagi nyetir jangan liat-liat belakang, Woy!" Seru Vega histeris.
"Lampu merah, Woy!" Balas Jay tepat ketika sebuah mobil mengklakson mobil kami dari belakang.
"Tuh kan, apa kata gue," omel Vega. Jay nyengir menyebalkan.
"Gue nggak punya musuh, kecuali..." lanjut Vega tapi tak melanjutkan kalimatnya.
Entah mengapa kami pun terdiam menanti Vega melanjutkan kalimatnya.
"Liana."
Gadis blasteran bermata biru tersebut adalah musuh bebuyutan Vega dulu.
"Mantan mantan pacarnya si gendut Fadil," konfirmasi Gilang.
Ia tahu betul sejarah kisah cinta Vega zaman dulu karena memang Gilang dan Vega sudah bersahabat sejak kecil. Gilang jugalah yang mengenalkan Vega pada kami semua.
"Mantannya mantan pacar?" Usut Jay penasaran.
"Jadi Fadil itu mantan gue. Waktu dia pacaran sama gue, dia punya mantan, namanya Liana. Nha Liana itu benci banget sama gue, padahal gue nggak pernah usik hidupnya. Dan Fadil nggak gendut." Vega menjelaskan dengan penekanan pada kalimat terakhir yang ia lontarkan.
"Ah, itu kan masa lalu, Ga. Nggak mungkin dia masih benci sama lo. Apalagi lo dan Fadil udah lama putus," kataku menenangkannya.
"May be."
"Tapi dia akan kembali menerormu, Vega. Berhati-hatilah!" ucap Frisky dengan nada serius.
Kami semua menjadi diam. Tak lama kemudian Jay memberhentikan mobilnya di depan sebuah rumah makan. Kami pun turun untuk mengisi perut yang mulai keroncongan.
"Rawon setannya satu mangkuk ya, Bu." Gilang memesan paling awal.
Diikuti olehku dan yang lainnya. Rawon adalah makanan favorit Gilang. Setiap perjalanan kami ke Jawa, ia pasti makan Rawon. Andai di gunung ada yang jual Rawon pun pasti akan ia beli.
"Pengen gudeg, Yang." rengekku pada Jay yang sudah bersiap-siap untuk menyantap semangkuk rawon pesanannya.
"Nanti di Jogja ya, Yang. Di sini mana ada yang jual gudeg. Sekarang kamu makan, biar ntar malem kuat nemenin aku nyetir," katanya.
Tangannya sibuk meracik mangkuk rawonku dengan berbagai bumbu tambahan yang menurutnya enak. "Nih..." ia menyodorkannya padaku.
"Udah nikah aja, masih sok sweet aja lo berdua," Komentar Frisky memerhatikan ‘kesok sweet-an’ kami.
Aku hanya nyengir kuda, tapi Jay selalu punya seribu kalimat untuk menanggapi kegilaan kami.
"Emangnya orang pacaran doang yang boleh sok sweet? Justru kesok sweetan itu harus dipertahankan di jenjang pernikahan,” balas Jay lancar jaya.
“Dengarkanlah permintaan hati yang teraniaya sepi, dan berikanlah arti pada hidupnya yang terhempas, yang terlepas." Jay telak dengan menyanyikan sebait lirik lagu Letto.
"Yee malah nyanyi. Iyee dah, gue tau, Gue terlalu lama sendiri." Katanya kesal lalu menyantap rawonnya dengan kalap. Lagi- lagi tingkahnya mengundang tawa dari kami semua.
***
Jay belum mau digantikan oleh Gilang. Ia bersikeras untuk tetap menyetir malam ini, alasannya agar ia punya banyak waktu untuk mengobrol denganku di depan. Jika Gilang yang menyetir, maka aku dan Jay terpaksa pindah ke bangku belakang. Artinya akan ada Frisky si tukang rusuh yang menggerecoki obrolan kami malam nanti.
"Baiklah, Tuan." Aku menyahuti permintaannya.
Gilang justru senang tak dapat bagian menyetir malam ini. Tampaknya ia lebih senang tidur dengan kepala terkulai seperti Frisky di bangku belakang.
Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Saat kami sudah keluar dari jalan tol, hanya jalanan sepi yang kami lewati. Jalanan gelap dengan penerangan yang sangat minim.
"Ini sudah dekat Solo kan, Yang? Kok lampu jalannya dikit banget ya?" tanyaku heran, mataku menjamahi suasana jalanan.
Biasanya perjalanan menuju kota besar ini selalu gemerlapan. Mataku menyapu seluruh pemandangan gelap di luar sana.
Seperti dugaan kami, trio kwek-kwek di bangku belakang sudah lelap. Bahkan kali ini tak hanya kepala Frisky yang lunglai, namun juga Gilang yang mengangguk-angguk ngantuk.
"Ini belum masuk kota Solonya, Sayang. Masih agak jauh," jawabnya dengan sabar.
Aku hanya ber-oh menanggapi jawabannya. Lalu obrolan demi obrolan mulai mengalir diantara kami berdua. Walaupun kami sudah menikah, kami jarang bersama karena aktifitas pekerjaan yang berbeda.
Jay bekerja sebagai tour guide dan travel leader. Biasanya ia pergi membawa kliennya ke objek-objek wisata. Sedangkan aku bekerja sebagai anggota event organizer yang juga sibuk pada akhir minggu. Sementara senin sampai jumat kami sibuk kuliah pada malam harinya. Waktu yang sempit untuk mengobrol tentang banyak hal. Belum, setidaknya kami belum punya waktu lebih dari ini. Tapi aku janji padanya setelah punya anak nanti aku akan berhenti dari pekerjaanku sebagai EO.
Jalanan yang kami lewati makin malam makin mulus dan lurus, membuat Jay terlena dan membawa lari blazernya lebih kencang. Aku melirik ketiga sahabatku di belakang, mereka makin terlelap.
Dalam keadaan kencang seperti ini aku tak berani berkutik, takut mengganggu konsentrasi Jay.
Brakk!
Tiba-tiba mobil kami seperti melindas sesuatu yang lumayan besar, namun tidak keras. Menurutku itu bukan benda mati. Aku memekik kaget dibuatnya. Jay berhenti.
"Apa itu tadi, Yang?" tanyaku panik.
Kegaduhan barusan membuat Vega terbangun. "Apa barusan?" Tanyanya kalap karena baru bangun.
Jay terburu-buru turun dari mobil. Aku mengikutinya, lalu aku terpekik sekali lagi. "Tenang Yang, jangan takut, ada aku." Jay menenangkan.
Aku berlindung di belakangnya, tak kuasa melihat darah dan daging berceceran di jalanan sepi yang kami lewati.
"Innalillahi..." seru Gilang yang baru bergabung dengan kami.
"Kembalilah ke mobil. Aku yang urus ini nanti," ujar Jay lagi.
Aku mengangguk dan kembali ke dalam mobil. Sungguh kedua lututku menjadi lemas hingga tak mampu berkata-kata. Vega mendesakku untuk menceritakan apa yang terjadi, tapi rasanya bibirku kelu. Akhirnya Vega menyusul mereka untuk mencari tahu. Tak lama kemudian mereka kembali.
"Beres," kata Jay saat kembali ke bangku kemudi.
"Hati-hatilah Jay, untung cuma kucing hitam yang mati, gimana kalo orang?" tukas Gilang.
"Baju kamu mana, Yang?" Aku baru sadar ia kembali tanpa baju.
Ia nyengir, "aku balut bangkai kucingnya. Katanya kalau kita nabrak kucing, kita harus balut dia dengan baju yang kita pakai supaya kita gak dituntut balas olehnya, atau dengan kata lain biar kita nggak sial," jelasnya panjang lebar.
"Itulah yang kutakutkan," kataku lirih.
"Apa?"
"Pembalasan dendam kucing itu."
***
Setelah kejadian tabrak kucing satu jam yang lalu, hatiku jadi tak tenang, galau dan was-was tak karuan. Masih jelas terbayang olehku betapa naas si kucing hitam tadi hingga kepalanya tak berbentuk lagi, matanya mencuat, isi perutnya terurai keluar, dan darah berserakan dimana-mana.
"Lupakan, Yang." Jay seolah membaca isi otakku saat ini.
Aku mengangguk dan mencoba tersenyum padanya. Kulirik jam tangan yang bertuliskan nama kami berdua, jay-vie. Ya ampun, sudah jam dua pagi. Batinku.
"Apa kita nggak istirahat lagi? Mereka sudah lelah banget kayaknya. Kamu juga, Yang." Tanyaku pada Jay yang masih semangat menyetir.
"Biar cepat sampai. Besok pagi aku janji akan istirahat," katanya seolah tak ingin dibantah.
Lagi - lagi aku hanya diam meresapi pemandangan yang hanya hitam. Kacamata hitamku sudah tak kupakai karena mobil-mobil sudah tak sebanyak tadi. Jalanan benar-benar sepi.
Hanya ada beberapa lampu jalan yang dapat memanduku untuk membaca beberapa plank di tepi jalan.
"Kita sudah sampai Solo, Yang, tapi belum sampai di kotanya yang gemerlapan seperti kota besar lainnya," lapor Jay padaku.
"Yang, apa kamu mencium bau gosong? seperti ada sesuatu yang terbakar." kataku tiba-tiba.
Bau gosong menyeruak ke dalam rongga hidungku seketika. Jay menurunkan kecepatan mobil untuk memastikan penciumanku.
"Iya. Bau apa ini ya?"
Mobil blazer yang kami kendarai ini memang mobil tua, tapi masih sangat terawat. Namun aku tetap saja was-was dibuatnya.
Duarr..
Terlihat percikan api dari bagian depan mobil di luar. Aku menjerit karena kaget. Jay yang panik langsung membanting stir ke kiri agar mobil cepat berhenti. Guncangannya membuat Vega turut terpekik dan membangunkan Frisky dan Gilang.
"Ada apa lagi?" Seru Gilang tepat saat mobil berhasil berhenti di pinggir jalan dengan selamat.
Jay melompat dari mobil dan membuka kapnya. Cesss... kepulan asap tanpa api tampak memenuhi pemandanganku di belakang kaca mobil.
"Shit. Mogok. Untung nggak meledak. Overheat," lapor Jay pada Gilang dan Frisky.
Aku dan Vega pun menjadi lemas juga. Bukan lemas karena mobilnya mogok, namun cemas karena posisi kami saat ini masih jauh dari kota. Penerangan jalan masih sangat minim. Para pria mulai beraksi mencoba mengotak-atik mesin di bagian depan, namun sudah satu jam hasilnya nihil.
Vega mulai panik. "Kita harus cari bantuan," katanya seraya memoles bibir tipisnya dengan lipstik andalannya.
Aku mengeluh, di saat seperti ini ia masih sempat berdandan. Huft. Lima menit kemudian ia berhasil membawa seorang tak dikenal untuk membantu kami memperbaiki mobil.
"Wah, Mas. Ini sih udah meledak tangki radiatornya, lalu fannya juga mati, relaynya harus diganti juga. Ndak bisa kalau dikerjakan sekarang di sini," jelas bapak paruh baya yang mencoba membantu kami ini.
Aku makin stress mendengarnya. Bagaimana bisa kami menemukan bengkel di jalanan seperti ini. Aku teringat dengan cerita seorang teman yang kena begal saat mobilnya rusak di jalanan sepi seperti ini.
"Tenang, kita pasti bisa menyelesaikan ini," ujar Frisky menenangkan.
"Di depan sini ada bengkel, Mas, Mbak. Tapi saya ndak tahu Jam segini masih buka atau tidak. Coba saja dorong ke sana. Nanti saya kawal dengan taksi saya." Ia memberi saran seperti itu.
“Oh iya, kenalkan, saya Suryami,” lanjutnya kalem.
Pak Suryamin ini ternyata adalah pengendara taksi yang distop oleh Vega ketika ia melintas di dekat kami. Aku sempat berpikir mana ada taksi malam-malam.
"Saya ini baru pulang antar saudara saya, jadi pulang kemalaman begini. Rumah saya kebetulan ndak jauh dari sini," lanjutnya.
Aku tercekat. Apa dia dapat membaca pikiranku? Entahlah. Jay dan Gilang mengambil keputusan untuk mendorong mobil sampai bengkel yang ditunjukkan oleh Pak Suryamin. Kami berempat ambil bagian di belakang mobil dan mendorong mobil dengan berat entah berapa ton ini ke bengkel.
"Satu... du… a" ucap Frisky terengah.
"Semangat gaes. Itu dia, untung masih buka. Dikit lagi!" Seru Jay dari depan.
"Duh, luntur deh make up princess." Vega mengeluh.
Lima belas menit setelahnya, kami sampai di bengkel tua milik seorang kepala desa ini. Ia menyambut kami dengan ramah, lalu segera melihat kondisi blazer kami yang tak dapat berjalan lagi.
"Wah, ini nggak bisa selesai dalam waktu satu hari karena saya harus cari sparepartnya dulu. Maklum, peretelan mobil ini ka agak susah dicari," ujar si teknisi kalem.
Kali ini kepanikan yang melanda kami menjadi tiga kali lipat dari yang sebelumnya. Bagaimana kami akan melanjutkan perjalanan kalau begini?
"Jangan-jangan kita sial karena nabrak kucing hitam tadi," ucapku lemas.
"Enggak, memang mobil ini sudah agak tua," sahut Jay cepat. "Kalian naik pesawat saja besok pagi. Gue titip Vie ya." Lanjutnya memberi solusi.
"Enggak. Kalau lo nggak pulang bareng kita, maka kita akan tetap berpetualang di sini sama lo. No discuss," Ujar Frisky tegas.
"Begini saja, saya punya rumah di dekat sini, tapi saya tidak tinggal di rumah itu. Mbak -mbak dan Mas- mas ini bisa tinggal di sana sementara waktu," ujar Pak Suryamin menengahi.
Kami saling berpandangan satu sama lain untuk membuat persetujuan. Dua detik kemudian kami mengangguk bersamaan. Begitulah cara kami membuat keputusan bersama. Jika salah satu dari kami menggeleng, maka artinya tidak. Namun kali ini semuanya mengangguk. Artinya kami semua setuju.
Pak Suryamin tersenyum, "Rumahnya masih bagus kok, hanya tidak ditinggali saja." Begitu tuturnya.