Hopeless Cries

Reads
215
Votes
0
Parts
23
Vote
by Titikoma

21. Saatnya Melepasmu

“DIA itu kekasih kakakmu, Dro.”
“Ervina mengatakannya bukan. Tidak lagi.”
Dito menemui Andro di tempat indekosnya, meminta penjelasan soal Ervina.
“Dia sedang berbohong,” ujar Dito.
“Sepertinya tidak. Aku tidak yakin. Kaulah yang sedang berbohong. Aku tidak percaya kau kekasihnya, bukankah kau sudah menikahi Rindra?”
“Dia masih kekasihku, Rindra bukan lagi istriku. Mantan istri.”
Dito menemui Andro di tempat indekosnya, meminta penjelasan soal Ervina.
“Apa bedanya?” selidik Andro.
“Bedalah. Aku tidak mencintai Rindra, cintaku untuk Ervina.”
“Benar-benar serakah. Sayangnya, Ervina perempuan yang pintar. Jadi, dia tidak lagi menganggapmu pacar. Jadi, aku tidak salah kalau memacarinya. Kau bahkan telah memberikan izin untuk itu. Ingat, saat obrolan tempo hari di Bali?”
“Aku pikir mantanku yang kau maksud bukan Ervina.”
“Kenapa tidak kau tanyakan itu?”
“Kau bilang mantanku. Ervina tidak masuk hitungan. Dia masih pacarku.”
“Teruslah kau bermimpi, Dit,” ejek Andro. “Salah kau sendiri, Dit. Terus apa yang akan kau lakukan selanjutnya? Meminta Ervina menjadi pacarmu lagi? Tidak bisa. Dia milikku. Coba kalau kau berani,” tantang Andro.
Dito mendelik kejam. “Berengsek kau. Lihat apa yang akan kulakukan.”
“Boleh. Siapa yang lebih pintar. Kau atau aku.”
Pembicaraan selesai. Untuk sementara Androlah pemenangnya. Dito menjadi seorang pecundang.
***
“Aku sudah mempecundanginya,” kata Andro di sore hari yang mendung. Aku yang tengah nonton tayangan televisi di ruang tengah sedikit terpengaruh dengan membalikkan badan dan mendapati Andro tengah berdiri di ambang pintu yang terbuka. Dia mungkin sudah mengetuk pintu beberapa kali, tetapi tak kudengar sama sekali.
“Mempecundangi siapa?” Kalau ini perihal Dito, berarti aku telah melewatkan informasi penting yang sudah aku tunggu sejak lama.
Andro masuk, mendekatiku, sebelum dia mengenyakkan tubuhnya di atas sofa, mamaku menyapanya dari arah anak tangga yang menuju kamarku. Andro yang baru kali pertama melihat mamaku mengangguk, tidak jadi duduk.
“Kamu tampak kurusan sekarang,” ujar mamaku sembari melangkah mendekati kami. Aku mengerutkan dahi, apa yang dimaksud oleh Mama ‘kurusan’? Kebingungan bukan hanya menghinggapiku, juga menghinggapi Andro.
“Maksud Tante?” Pertanyaan Andro menggantung, dia menoleh ke arahku sebagai tanda minta penjelasan dariku. Aku hanya mengedikkan bahu, sama-sama tidak paham.
“Kamu kurusan, Dit,” ujar Mama.
Aku terkikik dan menyadari bahwa mama salah mengenali orang. Aku paham perihal Mama. Mama—sebagai catatan—terlalu sibuk, tidak pernah ada di rumah saat Andro berkunjung, dan menganggap Andro sebagai Dito. Itu tidak salah, aku sendiri, toh, pernah salah mengenali dua lelaki itu. Mereka mirip satu sama lain, kecuali tinggi dan proporsi tubuh yang sedikit berbeda.
“Oh, ya?” Andro masih belum paham. Aku yakin itu. Situasinya membuat pikirannya menebak-nebak.
“Nanti aku jelaskan,” selaku. Aku menarik tangan Andro untuk segera duduk di sampingku. Mama lewat di depan kami.
“Iya ‘kan, Ervina. Dito sekarang kurusan,” tambah Mama. Aku mengangguk, menjawil pinggang Andro untuk tidak berkomentar. Yang dijawil mengulum senyumnya sebagai artian dirinya sudah memahami situasi. “Lanjutkan ngobrolnya. Mama mau nyiram tanaman,” pamit Mama.
Sepeninggal Mama, kami terbahak satu sama lainnya, menertawakan kekonyolan Mama.
“Aku dikira Dito. Benar ‘kan, Er?”
“Seratus persen iya.”
“Jadi tidak ada alasan kalau mamamu menolakku sebagai mantu.”
“Yey!”
Kami terus terbahak hingga tidak menyadari kalau Mama sudah kembali dan menatap kami heran di depan pintu.
“Apa yang kalian tertawakan?” tanyanya.
Aku yang menjawab. “Tidak, Ma. Cerita Andro lucu.”
“Andro?” Mama termangu. Dia tidak salah dengar. “Maksud kamu dia?” tunjuk Mama ke arah Andro.
“Iya, Ma. Dia bukan Dito, melainkan Andro.”
“Maksud kamu?”
Aku hanya terdiam. Bagaimana menjelaskannya. “Ceritanya panjang, Ma. Kapan-kapan aku ceritakan. Dia itu bukan Dito, Ma. Melainkan Andro,” terangku dengan singkat.
“Mama bingung.”
“Aku juga bingung, Ma,” imbuhku. “Sudah dulu, Ma. Kami akan pergi sebentar,” pintaku. Aku tidak bisa terus-terusan membuat Mama bingung, menghindari dari Mama untuk sementara adalah cara paling jitu untuk saat ini. Kapan-kapan aku akan menceritakannya dengan detail.
***
“Aku memenangi pertempuran untuk merebut hatimu, Er.”
Kami menemukan tempat yang cocok untuk membahas perihal tadi. Andro berbicara panjang lebar tentang apa-apa yang dibicarakannya dengan Dito. Aku menyimak dan menyadari bahwa aku menjadi pusat rebutan dua lelaki ini, dan itu lumayan membuat aku merasa sedikit mual. Seberapa berhargakah aku di mata mereka berdua?
“Aku menyuruhnya mengakui telah kalah, dan menyuruhnya untuk tidak lagi berharap kepadamu. Karena aku pemiliknya sekarang,” jelas Andro.
“Terlalu kekanak-kanakan kalian, seolah aku ini adalah benda mainan,” ucapku sedikit kesal.
“Aku tidak menganggapnya demikian. Itu tidak benar. Aku memperjuangkanmu karena aku mencintaimu. Apa itu salah?”
Tidak. Tidak salah. Itu hanya pikiranku saja. Ketika menyadari bahwa Andro sangat benar dengan cintanya, aku merasakan buih-buih kebahagiaan naik dan meletup-letup dalam kepalaku. Itu artinya, keputusan untuk melepaskan Dito, untuk lalu menyerahkan diri kepada Andro bukan sebuah kesalahan. Peduli setan dengan kekerabatan mereka. Cinta seperti itu, pada kenyataannya. Aku bisa apa, coba.
“Berarti aku sudah utuh menjadi milikmu?”
“Tidak bisa disangkal lagi.”
“Berapa persen?” tanyaku antara serius dan tidak.
“Seribu, atau mungkin dua ribu kalau bisa, atau ratusan juta persen.”
“Masih terlalu sedikit,” godaku.
“Tak terhitung,” ralat Andro.
“Tak terhitung sama dengan tidak pasti. Aku butuh hitungan yang mutlak.”
“Baiklah. Seluruhnya.”
“Seluruhnya?”
“Keseluruhan itu mutlak.”
“Kasihan.”
“Kok?” Andro memberenggut.
“Ya kasihan. Orang-orang bakal tidak kebagian.”
“Haha.”
Kami tertawa terbahak. Menertawakan segala kekonyolan yang kami buat sendiri. Terlalu absurd. Namun, kami menyukainya hingga lupa bahwa malam mulai merangkak naik. Itu artinya kami harus segera pulang. Atau Mama menungguku dengan interogasi yang macam-macam.
***
Dito sudah benar-benar aku lupakan. Lelaki itu tidak pernah sekalipun muncul dalam pikiranku. Ketika untuk kali terakhir melihatnya—ketika sore hari setelah memberi buket bunga, Dito tidak pernah lagi datang berkunjung ke rumahku.
Sementara aku mulai berhubungan dengan begitu intens dengan Andro, aku melupakan sesuatu. Hingga saat ini, Mama masih menganggap Andro adalah Dito, pun dengan Papa Irwan. Mereka tidak mengira bahwa Dito yang mereka maksud sudah bukan bagian dari hidupku lagi.
Suatu kali, ketika mereka—Papa dan Mama, sedang berkumpul—rahasia itu aku bongkar. Mereka terkejut bukan karena merasa terus dibohongi olehku, melainkan mereka kaget dengan kemiripan wajah mereka yang nyaris tanpa cela. Mereka tertawa pada akhirnya. Ketika aku meminta persetujuan kepada mereka, Papa-Mama hanya membuka kedua tangan mereka berdua di depan dada. Itu artinya tidak ada yang harus dipersoalkan.
Kami akan menjalani hubungan yang serius hingga saatnya tiba. Sebelum itu, banyak hal yang harus kami lakukan hingga saatnya benar-benar sudah tiba. Kami bersepakat bahwa kami akan kembali kuliah, menyelesaikan tahun-tahun yang akan datang dengan keseriusan, menambal semester-semester kemarin yang sangat tidak keruan.
Aku sangat bersemangat dengan kuliahku saat ini, pun dengan Andro. Walau pada kenyataannya, Andro memilih pindah kota untuk melanjutkan kuliahnya, sementara aku tertahan di kampus lama. Tidak ada perdebatan perihal ini. Andro punya alasan yang kuat untuk pindah kota. Aku berusaha untuk menerima.
“Kenapa harus takut, Ervina? Bukankah kita sudah saling berkomitmen?” Andro berusaha meminta penjelasan dariku.
“Aku takut sesuatu terjadi pada hubungan kita. Percintaan jarak jauh, sangat rentan.”
“Percaya aku, Ervina. Semua akan berjalan baik-baik saja.”
“Semoga demikian, Dro. Semoga Dito tidak menggangguku lagi.”
“Hai! Dia tidak akan melakukannya. Aku jamin itu,” pungkas Andro.
Hubungan kami baik-baik saja. Itu faktanya. Tahun berselang. Waktu kian mendekat, dan aku harus menyelesaikannya dengan segera. Kuliahku sudah hampir rampung. Skripsi lulus, dan ... setelahnya, Andro kembali dari Yogya sesuai kesepakatan. Hubungan kami akan kembali seperti semula. Itu akan jauh lebih baik lagi.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices